Minggu, 21 Desember 2008

30 TAHUN REFORMASI CINA

Empat belas tahun lalu saya meninggalkan Shenzhen, dan baru minggu lalu kembali ke sana. Saya hanya terkesima: kota itu sekarang berpenduduk 12 juta, dengan pendapatan rata-rata US$ 3000. Fasilitas kota ini terbilang aduhai. Dalam empat belas tahun itu Shenzhen membangun kereta api bawah tanah, membangun gedung konser yang anggun, mendirikan perpustakaan umum yang megah, tentu saja gedung dan jalan yang serba mulus. Kota itu bersih, tidak ada sampah, tidak ada baliho iklan yang berceceran di mana-mana dan mencemari pemandangan. Jangan lupa dua taman kebudayaan yang luas, "Window of the World" (taman kebudayaan dunia) dan "Zhongguo minyu wenhua cun" (taman kebudayaan Cina)

Shenzhen memang pantas dipakai sebagai ujung tombak reformasi Cina karena mulai dari Shenzhen kapitalisme masuk Cina. Sekaligus juga Shenzhen merupakan model pembangunan Cina yang berciri "state-led". Dan tentu saja Shenzhen adalah eksperimen sukses Cina mengadakan "zona ekonomi khusus." Kalau Shanghai sering dianggap sebagai "icon" keberhasilan pembangunan Cina, Shenzhen benar-benar adalah "legenda" model pembangunan Cina karena, berbeda dari Shanghai yang punya sejarah gemilang di tahun 1930-an, Shenzhen mulai dari sebuah desa nelayan berpenduduk 3000 orang. Tidak salah kalau KBRI di Cina mengadakan seminar “30 tahun reformasi Cina” di kota yang amat historis itu.

Sumberdaya manusia

Selama diskusi untuk menguak keberhasilan Cina, orang cenderung untuk menunjuk kepada keberanian Deng Xiaoping untuk memasukkan sistem pasar dan dengan demikian memasukkan kapitalisme. Tanggal yang biasa ditunjuk adalah 30 Desember 1978, ketika Sidang Pleno III Komite Sentral Partai berakhir dan mengesahkan rencana “reformasi dan keterbukaan”. Sejak saat itu orang menyaksikan akselerasi perubahan dari sistem ekonomi komando ke sistem ekonomi pasar. Tidak heran kalau orang segera menyatakan bahwa keberhasilan reformasi Cina karena Cina menjalankan sistem kapitalisme! Seolah-olah kapitalisme menyelamatkan Cina!

Yang banyak orang lupa adalah bahwa reformasi Cina tidaklah mulai dari nol. Antara 1949-1978 (30 tahun), Cina telah mengadakan pembangunan fisik yang mengagumkan. Meskipun mengikuti model Uni Soviet, industri berat maupun ringan di Cina telah terjadi. Peleburan bijih besi ataupun produksi baja telah ada di Cina sejak tahun 1960-an. Minyak telah disuling di Cina juga sejak tahun 1960-an. Di bidang industri manufaktur, Cina telah menghasilkan sendiri bahan pakaian yang cukup untuk 700 juta penduduknya. Infrastruktur yang hancur lebur selama perang juga dibangun pada masa 30 tahun itu, terutama kereta api.

Namun yang lebih penting adalah pendidikan. Pemerintah komunis di mana-mana mempunyai komitmen yang sangat kuat untuk meningkatkan pendidikan warganegaranya. Hal ini terjadi juga di Cina. Walaupun terjadi perdebatan sengit tentang hakekat pendidikan (elitisme!), pendidikan tidak pernah ditelantarkan di Cina. Wajib belajar telah diterapkan sejak tahun 1950-an. Maka tingkat “buta huruf” (illiteracy) di Cina pada masa Mao sangat rendah, kurang dari 7%. Untuk mendukung usaha ini, Pemerintah Cina pada waktu itu giat memperkenalkan aksara yang sudah disederhanakan, dalam arti mengurangi jumlah guratan dibanding yang dipakai pada masa kekaisaran.

Kecuali pendidikan, Pemerintah Mao mampu meningkatkan kualitas hidup, life expectancy meningkat dari 35 tahun (sebelum 1949) sampai ke 70 tahun (1978). Ini berkat sistem kesejahteraan sosial yang diterapkan di Cina – juga sejak 1950-an – yang menyediakan secara amat murah pelayanan kesehatan, perumahan, listrik, air. Buruh bekerja delapan jam per hari, enam hari seminggu. Selama setahun buruh berhak mendapatkan seminggu libur dan tetap digaji, di samping tiga minggu untuk kunjungan keluarga! Di pedesaan sistem irigasi sudah berjalan, pabrik-pabrik kecil sudah tersebar di komune-komune.

Dari sudut sumber daya manusia, Cina pada awal reformasi sudah memiliki modal yang amat besar. Ketika reformasi dimulai 30 tahun yang lalu, Cina dapat memobilisasi semua ini. Misalnya, perusahaan-perusahaan tidak menghadapi kendala dalam hal kemampuan baca dan berhitung dari mereka yang melamar kerja. Ketika universitas-universitas membuka pintu lagi pada 1979, tidak banyak pemuda-pemuda Cina yang terhambat dalam proses belajarnya karena buta huruf. Para lulusan universitas ini, pada gilirannya, dapat mengisi kebutuhan produksi ketika investor-investor asing masuk ke Cina. Seandainya Cina pada masa Mao tidak peduli dengan pendidikan (terutama dasar dan menengah), pada masa awal reformasi, pertumbuhan ekonomi Cina pasti mengalami bottle neck yang tak terkirakan.

Pertumbuhan ekonomi Cina pada masa Mao (1952-1978) sebenarnya cukup bagus, sekitar 6 persen (Barry Naughton, 1995). Masalah utama yang dihadapi di Cina pada awal masa reformasi adalah bahwa tenaga produktif di Cina terkekang oleh sistem ekonomi komando. Lulusan universitas, misalnya, tidak bebas mencari pekerjaan tetapi ditempatkan oleh negara, dan sangat sering tidak sesuai dengan bakat maupun keinginan si mahasiswa. Dibubarkannya sistem ekonomi komando, dalam arti sesungguhnya “membebaskan” tenaga produktif itu. Terjadilah semacam “ledakan” enerji yang dengan tepat disalurkan, sehingga proses produksi di Cina mengalami percepatan luar biasa. Dengan dibebaskannya tenaga produktif itu, pertumbuhan ekonomi dipercepat, malah seakan-akan menjadi tidak terkendali.

Bukan sumberdaya alam

Cina pada hakekatnya adalah negara yang miskin sumberdaya alam, sebagian besar wilayahnya berupa padang gurun yang tandus. Dibandingkan dengan Indonesia yang sedemikian kaya sumberdaya alam di darat maupun di laut, Cina sungguh-sungguh miskin. Dubes RI di Cina, Sudradjat, dengan tepat menunjuk kepada keberhasilan Cina di bidang pendidikan sebagai kunci terpenting reformasi Cina, terutama pada tahap awalnya. Cina memiliki sumberdaya manusia yang berkualitas untuk mengatasi keterbatasan sumberdaya alam. Ketika reformasi memasuki tahap yang lebih tinggi, Cina dapat dengan lebih mudah mengembangkan sumberdaya manusia itu. Akan halnya kekurangan sumberdaya alam, Cina dapat menutupnya dengan memperolehnya (impor) dari negara-negara lain. Yang terjadi di Indonesia, justru kebalikannya. Kekayaan alam dieksploitasi sampai habis, sementara pengembangan sumberdaya manusia diabaikan. Barangkali ini dapat menjelaskan mengapa reformasi Indonesia selama 30 tahun (selama Orde Baru) tidak sustainable, dan ketika reformasi kedua setelah 1998 diadakan juga memperlihatkan kecenderungan yang sama.

Jumat, 10 Oktober 2008

BELAJAR DARI CHINA (LAGI)

Kompas, 10 Oktober 2008

Oleh I Wibowo

Gonjang-ganjing susu dari China telah merembet ke seluruh dunia. Globalisasi bukan hanya di sektor keuangan, tetapi juga susu! Susu dari China—entah apa pun mereknya—telah berputar ke seluruh dunia, baik ke negara kaya maupun miskin.

Bukan hanya susu, juga semua produk yang dicampur dengan susu dari China, roti, kue, es krim. Globalisasi susu tidak kalah menakutkan dibanding globalisasi keuangan! Badan kesehatan PBB, WHO, terpaksa ikut turun tangan.

Konon susu tercemar itu sudah dideteksi sejak lama di China, ada yang mengatakan sejak Maret 2008. Perusahaan pun sudah mulai menarik beberapa produknya. Namun, baru bulan September orang di China mulai panik. Mungkin setelah terbukti ada bayi yang mati karena minum susu beracun dan banyak lagi yang gagal ginjal.

Salah satu tafsiran yang mengemuka adalah pemberitaan tentang susu ini sengaja dikeluarkan sesudah Olimpiade Beijing agar tidak menimbulkan kekacauan dalam persiapan pesta olahraga itu. Ada juga yang mengatakan, perusahaan tidak mau rugi sehingga menunda-nunda sampai akhirnya tidak dapat ditunda lagi dan meletus pada bulan September. Apa yang sebenarnya terjadi?

Kegagalan regulator

Berbagai ulasan yang muncul mengatakan, di China tidak ada sistem pengawasan yang serius. Negara tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Pegawai pemerintah yang bertanggung jawab atas makanan, ada sedikitnya 10 organ pemerintah yang mengurus soal keselamatan makanan di seluruh China. Mereka dituduh lalai dan tidak menjalankan tugas. Pemerintah China juga mengambil tindakan memecat sejumlah pejabat. Namun, rakyat tidak puas dan marah, kendati Perdana Menteri Wen Jiabao telah meminta maaf.

Jadi, yang dipersalahkan adalah regulator. Apa pekerjaan para pejabat itu? Para pejabat itu seharusnya memeriksa setiap produk, bahkan memeriksa dengan amat ketat. Dalam hubungan ini, yang dipersalahkan juga media di China yang tidak bebas. Memang media massa di China kini tidak lagi di bawah pengawasan ketat seperti pada masa Mao, tetapi tidak sebebas di Indonesia. Maka media yang di bawah negara juga kena getahnya. Seandainya negara tidak mengendalikan media, berita susu tercemar pasti sudah diketahui lebih awal dan tak menimbulkan korban yang mengerikan itu.

Pada saat bersamaan juga terjadi kegagalan regulator di belahan bumi lain, di AS. Krisis subprime mortgage sudah diketahui sejak Agustus 2007, beberapa bank sudah bangkrut sejak Januari 2008. Pertanyaan sama: mengapa Pemerintah Federal AS tidak berbuat apa-apa, menunggu sampai Lehman Brothers ambruk?

Media AS yang terkenal bebas mengapa terlambat mengangkat masalah ini? Tetapi yang menarik, solusinya juga sama, negara harus ambil tindakan. Selain menyiapkan dana talangan 700 miliar dollar AS, Pemerintah Federal juga berjanji akan menerapkan pengawasan yang lebih ketat pada bank-bank, terutama bank investasi.

”Self-regulating market”

Baik China maupun AS sebetulnya menghadapi persoalan yang mirip: terlalu percaya akan self-regulating market. Setelah lama dicengkeram negara, China pada dasarnya masih pada tahap bersukaria merayakan kebebasannya. Salah satu eskpresinya adalah self-regulating market. Prinsip ini dipeluk dan dipuja oleh pelaku pasar maupun pemerintah. Pasar yang mampu mengatur dirinya akan menjalankan tugasnya dalam hal produksi, distribusi, maupun konsumsi. Negara tidak perlu campur tangan.

Diyakini, pasar dapat menimbulkan kontrol sendiri atas produknya. Albert Hirschman, misalnya, mengatakan ada tiga sikap yang dapat diambil konsumen, exit, voice, loyalty (1971) Para pengusaha amat waspada jika ada banyak konsumennya exit. Begitu pula setiap voice (kritik atau surat pembaca) akan diperhatikan. Tetapi, masalahnya ada pada loyalty, mayoritas konsumen yang menunggu sampai terjadi perbaikan. Mereka menonjolkan keutamaan sabar untuk menghadapi kemerosotan sebuah produk kesayangannya. Sebagian besar konsumen yang bersikap seperti inilah yang membuat informasi tidak mengalir lancar. Mereka tetap membeli barang itu dan tidak ikut mengkritik.

Begitu terjadi musibah, segalanya sudah terlambat. Beruntunglah orang sudah exit sejak awal, mungkin juga mereka yang voice. Informasi tidak lancar karena berbagai kendala. Salah satunya adalah kebudayaan. Biro konsultasi Access Asia di kota Shanghai mengatakan, perusahaan Selandia Baru, Fonterra, yang menjadi rekanan Pabrik Sanlu, sebetulnya sudah tahu cukup awal, tetapi mereka tidak mau membukanya kepada masyarakat. Mereka khawatir membuat ”rekan lokalnya kehilangan muka”.

Kebudayaan ”takut kehilangan muka” telah menimbulkan distorsi dalam hal informasi dan dalam hal ini mekanisme pasar tidak mungkin mengubah karakter kebudayaan bangsa China.

Pemerintah China memang mempunyai seperangkat besar regulasi, tetapi saat ini Pemerintah China sedang bersemangat untuk menerapkan small government (yang amat mungkin dipelajari dari AS). Pasar diberi kebebasan luas untuk beroperasi. Persis sama dengan yang terjadi di AS terkait financial market. Setiap campur tangan Pemerintah, juga demi alasan kesehatan, selalu dicurigai sebagai ”intervensi negara” yang harus ditolak. Akibatnya pejabat negara lebih suka membiarkan pasar bergerak sesuka hatinya.

Belajar dari China lagi

Jelas, pasar tidak mungkin berjalan tanpa regulasi dari negara. Benar kata seorang profesor dari Institut Teknologi Beijing, Hu Xingdou, ”Selama ini tidak ada usaha untuk meletakkan ekonomi pasar pada sebuah landasan moral.”

Prof Hu meminta pemerintah untuk mengubah cara berpikir dan mengubah sistem (ekonomi) daripada menghukumi orang-orang. Pemerintah bahkan harus ikut campur tangan guna meyakinkan masyarakat maupun pelaku pasar untuk berpegang pada moral, tidak hanya mengejar keuntungan.

I Wibowo Ketua Centre for Chinese Studies FIB Universitas Indonesia

Source : Kompas, October 10, 2008

Selasa, 26 Agustus 2008

Setelah Olimpiade Beijing

Kompas, Selasa, 26 Agustus 2008

Oleh I Wibowo

Olimpiade Beijing 2008 telah selesai! London dan penduduknya pun menjadi pusing: apa yang akan mereka tampilkan setelah Beijing berhasil menggelar semua kemewahan yang serba superlatif itu? Pusing karena biaya yang selangit, tetapi juga karena tingkat kreativitas yang mencapai titik setinggi itu.

Situasi ini juga akan membayang-bayangi kota-kota yang akan menyelenggarakan olimpiade setelah London. Atlet-atlet yang pernah mengikuti Olimpiade Beijing 2008 pasti akan membandingkannya dengan kehebatan Olimpiade Beijing itu. Ratusan juta pemirsa televisi di seluruh dunia pasti juga akan membandingkannya penyelenggaraan pesta olahraga paling megah itu.

China atau Beijing telah mematok sebuah standar penyelenggaraan olimpiade yang sangat tinggi. Ada hal lain yang berhasil ditancapkan China, yaitu kehebatan China secara keseluruhan. Semua pengamat mengakui bahwa sukses China menyelenggarakan Olimpiade Beijing 2008 ini merupakan panggung pementasan sukses reformasi China yang dimulai persis 30 tahun yang lalu (tepatnya Desember 2008). Baik bagi yang datang ke Beijing maupun yang tidak, ada satu pertanyaan besar yang menggantung di awang-awang: bagaimana China mencapai semua ini?

Hasil kerja keras

Negara maju memang sering memakai istilah yang sangat menggurui: ”keajaiban”. Seolah-olah apa yang terjadi di China bukan hasil kerja keras, tetapi sebuah kerja simsalabim! Sukses China terdiri dari dua elemen yang digabung: politik yang iliberal dan pasar yang semiliberal. Kombinasi cantik dua hal ini kini diterima sebagai ”rahasia sukses” China untuk mengembangkan ekonominya dan meraup kekayaan yang melimpah sehingga dapat menyelenggarakan olimpiade yang tiada tara itu.

Politik iliberal artinya politik itu dijalankan di bawah kepemimpinan Partai Komunis China (PKC). Layaknya partai komunis, PKC melandaskan dirinya pada prinsip-prinsip Leninis, yang tidak mengizinkan munculnya partai-partai. Kalau orang mau menyalurkan pendapatnya, ia harus memakai saluran yang disediakan oleh PKC. Ada ”Dewan Konsultasi Nasional” yang menampung dan mengolah pendapat golongan yang tidak mau masuk PKC. Kepala desa dipilih lewat pemilihan umum di pedesaan, tempat 70 persen rakyat China hidup, tetapi media massa, juga internet, masih diawasi oleh partai. Hal ini menyebabkan timbul pendapat bahwa partai masih memaksakan pendapatnya. Namun, perbaikan dalam sistem hukum selama 30 tahun terakhir ini merupakan petunjuk bahwa partai lebih tanggap terhadap tuntutan masyarakat. Anggota partai kini bisa dituntut di pengadilan, apalagi yang terlibat dalam korupsi.

Sistem pasar yang semiliberal berarti bahwa negara masih menjalankan serangkaian intervensi dalam perekonomian yang sejak tahun 1978 melepaskan diri dari sistem ”terencana oleh pusat”. Akibat diterapkannya sistem pasar bebas ini berhasil melambungkan pertumbuhan ekonomi China menjadi seperti sekarang. Peran pengusaha swasta—asing maupun nasional—memainkan peran yang bebas. Meskipun demikian, seperti diketahui oleh semua pengamat, negara tetap menjalankan intervensi lewat empat bank terbesar milik negara, mengandalkan lebih dari 100 badan usaha milik negara (BUMN), mengatur sektor-sektor investasi asing, dan yang paling penting menjalankan kontrol atas devisa.

Dengan sendirinya, dua hal di atas bertabrakan dengan ideologi ”globalisme” saat ini yang berisi pasar bebas dan demokrasi. Globalisasi dengan ideologi globalisme seperti yang ada sekarang sedemikian gencar dipropagandakan di seluruh dunia oleh Amerika Serikat dan organisasi internasional yang didirikannya (Dana Moneter Internasional/IMF, Bank Dunia, dan Organisasi Perdagangan Dunia/WTO). Akibatnya, di seluruh dunia saat ini dibanjiri oleh wacana pasar bebas dan demokrasi. (Manfred Steger, Globalism, 2005) Semua negara di dunia ”harus” menerapkan pasar bebas dan demokrasi tanpa kecuali. Kalau tidak, ia akan berada di luar lingkaran yang dibangun oleh AS itu dan akan kena sanksi yang sepadan.

Deng Xiaoping bukan Mao Zedong yang dengan garang melawan AS. Bahkan, Deng sejak awal tidak mempunyai rencana atau garis besar bagaimana menjalankan reformasi ekonomi di China. Pedomannya hanya satu: tidak peduli kucing hitam atau kucing, yang penting kucing yang bisa menangkap tikus. Sangat menarik bahwa pragmatisme seperti ini malah menghasilkan bangunan politik yang iliberal dan pasar yang semiliberal. Semua ini bertentangan dengan ideologi globalisme yang dipromosikan oleh AS, dan dengan demikian Deng Xiaoping dan pengganti-penggantinya akhirnya secara tidak langsung telah menjalankan kebijakan anti-AS.

Arah globalisasi bergeser

AS tentu saja tidak mau menyerah begitu saja. Pertentangan dua wacana ini sangat kentara sebelum dan selama berlangsungnya olimpiade. Presiden Bush pagi-pagi sudah mengkritik tiadanya kebebasan beragama di China. Media yang dikendalikan oleh AS dengan gencar mengejek dan mengkritik China yang mengontrol mereka. China membalas secara frontal dan menolak kritik maupun ejekan itu. ”Kalau Anda ingin keamanan, polisi dan tentara harus dibiarkan untuk menjaga Anda,” kata mereka.

Setelah Olimpiade Beijing 2008, globalisasi dengan nilai-nilai yang American oriented telah berubah atau bergeser. ”Globalisasi dengan ciri khas China” kini muncul di horizon, menempatkan China sebagai acuan bagi dunia. China kini menjadi contoh atau model pembangunan yang berhasil. Secara diam-diam banyak negara sedang berkembang percaya bahwa model China itu pantas mereka tiru. Wacana seperti ini, yang dikenal dengan nama ”Beijing Consensus” merambat cepat ke seluruh dunia. Bukan pasar bebas dan demokrasi yang menggoda mereka, juga bukan politik totaliter atau pasar tertutup, tetapi yang ada di antaranya.

I Wibowo Kepala Centre for Chinese Studies, FIB Universitas Indonesia

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/08/26/00374272/setelah.olimpiade.beijing

Minggu, 25 Mei 2008

Tibet dan Empat Dilema China

Kompas, Rabu, 23 April 2008

Oleh I Wibowo

Saat ini, China sedang gencar-gencarnya mengembangkan soft power, dan pesta olahraga akbar Olimpiade, yang diharapkan menjadi momentum penting yang akan membuat China semakin terpandang dan dihormati. Inilah kesempatan emas setelah 100 tahun China dapat memamerkan ”kedigdayaan”-nya kepada seluruh dunia.

Dalam Kongres Ke-17 Partai Komunis China bulan Oktober 2007, keinginan membangun soft power itu ditegaskan oleh Hu Jintao. Namun, China tiba-tiba harus berhadapan dengan Tibet, yang sejak 10 Maret 2008 terus bergolak dan mencapai titik didih yang menakutkan.

Dilema sulit

Meledaknya kerusuhan anti-China di Tibet menyebabkan China terjebak dalam dilema-dilema sulit.

Dilema pertama, di satu pihak, China harus mampu memperlihatkan sikap positif, lebih baik lagi, sikap suka berdamai. Persoalan Tibet hanya bisa diselesaikan lewat dialog dan perundingan, dan hal tersebut sudah disadari oleh Pemerintah China.

Namun, di lain pihak, kalau cara ini dilakukan dengan Tibet, China harus juga melakukannya dengan gerakan kemerdekaan Xinjiang, maupun dengan Taiwan, bahkan gerakan-gerakan lain yang sampai kini masih ”tidur”. Hal ini dengan sendirinya akan membangkitkan semangat mereka untuk juga merundingkan ulang status mereka.

Dilema kedua, berhubungan dengan yang pertama. Seandainya Pemerintah China bersedia duduk berunding dengan gerakan-gerakan kemerdekaan itu, mayoritas rakyat China tidak akan mendukungnya. Selama pembangunan ekonomi yang mencengangkan dunia, Pemerintah China secara efektif memakai kartu nasionalisme untuk menggerakkan rakyatnya untuk membangun negara.

Saat ini, rakyat China pada dasarnya sedang bermimpi akan mengembalikan ”kebesaran dan kejayaan China” (fuqiang zhongguo) sedemikian rupa sehingga rakyat China rela bekerja keras, siang-malam, berkorban demi kebesaran negara.

Propaganda ”pendidikan patriotisme” (aiguozhuyi jiaoyu) telah sangat berhasil, tidak hanya di kota-kota, tetapi juga di desa-desa. Maka, rakyat China pasti akan marah dan murka kepada pemerintahnya jika menolerir gerakan yang ”menghina” bangsa China dan ”memecah belah ibu pertiwi”.

Komplikasi ideologis

Dilema ketiga berhubungan dengan ideologi komunisme. Berdamai dengan Dalai Lama, yang adalah pemimpin tertinggi agama Buddhisme Tibet, sekalipun ini dapat diterima dari sudut strategi politik, akan menimbulkan komplikasi ideologis.

Sejak Partai Komunis China berkuasa di Daratan China pada 1949, Pemerintah China selalu bersikap antiagama. Berbagai strategi telah disusun untuk mencegah berkembangnya agama kendati ada kelonggaran akhir-akhir ini.

Secara efektif, Pemerintah China berhasil menanamkan keyakinan di kalangan rakyat China bahwa agama adalah ”takhayul feodal” (fengjian mixin), yang akan lenyap seiring dengan kemajuan ekonomi dan teknologi. Sangat sulit bagi Pemerintah China berunding dengan pemimpin agama apa pun, termasuk dengan Dalai Lama, karena hal ini bertentangan dengan keyakinan ideologis resmi saat ini.

Dilema keempat, Pemerintah China sadar bahwa ia memerlukan dunia internasional, terutama dalam membangun citra sebagai negara yang ramah dan bersahabat. Ini sangat tampak dalam pengumuman setiap pejabat China bahwa China tidak akan menjadi ancaman dan akan ikut membangun dunia yang damai dan bebas dari konflik. Di mana saja, mereka menjual slogan ”dunia yang harmonis” (hexie shijie) yang sebelumnya dirumuskan sebagai ”bangkit dengan damai” (heping jueqi).

Jika China terus memakai kekerasan di Tibet, dunia akan kehilangan kepercayaan terhadap kata-kata itu. China akan tampak sebagai unsatisfied power sehingga timbul gambaran China ”ancaman” bagi dunia. Baiklah dicatat bahwa saat ini sedang beredar China Threat Theory yang merugikan dirinya. Kalau tetangga-tetangga terdekatnya melihat China sebagai naga yang memperlihatkan taringnya, China pasti akan mengalami pengucilan lagi, seperti pada masa Perang Dingin.

Ujian besar

Tibet benar-benar menjadi sebuah ujian besar bagi China. Pemerintah China sudah didorong oleh banyak pemimpin dunia untuk mengadakan perundingan dengan Dalai Lama. Namun, menurut catatan, China telah gagal menghindarkan pemakaian kekerasan. Tentara Pembebasan Rakyat telah dikerahkan masuk ke Tibet dan terlibat dalam konflik dengan demonstran sehingga terjadi penembakan dan jatuh korban.

Sementara itu, Pemerintah China terus-menerus mengecam dan mengutuk pengikut-pengikut Dalai Lama dengan kata-kata yang makin pedas, bahkan menuduh Dalai Lama—seorang tokoh agama yang sangat dihormati di dunia—sebagai dalang semua kekerasan itu.

Sementara itu, dikabarkan bahwa di kalangan rakyat, api nasionalisme sudah berkobar besar. Mereka marah kepada orang Tibet dan mendukung pemakaian kekerasan terhadap Tibet. Dalam situs-situs di China terpampang caci maki terhadap orang Tibet. Mereka mengecam semua gerakan demonstrasi yang muncul di London, Paris, dan San Francisco.

Sebagai balasan, muncul seruan boikot terhadap Carrefour di seluruh China karena aksi demonstrasi di Paris itu dan juga karena Presiden Prancis berencana tidak hadir dalam upacara pembukaan Olimpiade. Seruan boikot ini bahkan juga sampai ke Indonesia lewat SMS!

Pemerintah China benar-benar terperangkap dalam dilema, dengan risiko gagal mengembangkan soft power. Di dunia yang makin mengglobal ini, setiap gerak-gerik negara akan dipantau oleh ratusan juta manusia, yang tidak semuanya bersimpati dengan nilai-nilai perjuangan China.

Tayangan media massa internasional dan nasional mempunyai peran penting. Amerika Serikat yang telah menggenggam soft power yang sedemikian tinggi saja bisa dikritik dan dikecam, apalagi negara yang tengah membangun soft power-nya.

I Wibowo Ketua Centre for Chinese Studies FIB Universitas Indonesia

China and the Global Civil Society

Jakarta Post, 15 May 2008


When the demonstrations by the monks of Tibet erupted on March 10, 2008, leading to the violent repression by the Chinese military, why were there no comments from state leaders around the world? Every single leader held their tongues tight. The French president could be considered an exception.

In East and Southeast Asia there was even greater silence, no statement by state leaders either on the repression itself or on the coming Olympics in Beijing. As China was taking control in Tibet, there was less and less voice of concern from the world leaders.

The silence of the state leaders around the world was alarming. Nevertheless, it did not stop global civil society from expressing concerns. Their voice came out in coincidence with the rally of the Olympic torch first in London, then in Paris, San Francisco and many other major cities.

Of course they knew the Tibet issue could not be linked with the Olympics, but this was the best stage for them to attract the attention of the world. In Indonesia, a similar demonstration, albeit of a much smaller scale, was reported. The mass media -- printed and electronic -- played an important part both in spreading the news from various cities where the demonstrations took place. The world saw the protests around the world, and the unfortunate violence of some protesters.

This phenomenon is very much in line with the action of global civil society to protest the ministerial conference of the World Trade Organization (WTO) in Seattle in late 1999. The big turnout changed the nature of the demonstration, such that it was eventually called "the Battle of Seattle".

The global civil society -- a network of various NGOs around the world -- so far has been active in voicing concern every time the IMF, the World Bank and the WTO hold meetings any place in the world. These people come from all corners of the world, ignoring their differences of race and religions, being united to the cause that was neglected by the states.

Our world has indeed displayed a strange configuration where states collude with other states to undermine the interest of their people. The states in the world are now kowtowing China, perhaps out of reverence, but most of the time out of fear of retaliation by the mighty China.

The same is true with the attitude of the states towards the IMF, the World Bank and the WTO; state leaders shut their mouths in face of the plight of their people. The term "constituent", for these leaders is no longer relevant, perhaps already moribund.

In both cases, the state (leaders) act independently, simply protecting their private interest at the expense of the interests of the people.

Can the state control global civil society? Hardly possible. Democracy grows hand in hand with global civil society; the more democratic one country become, the stronger the civil society.

In Europe and in the United States, where democracy has taken deep root, the civil society was more active and expressive than in Indonesia or other countries in Asia. Indonesia is the home of thousands of NGOs, local and international, and it is understandable that protests also erupted.

The Indonesian state could only protect the torch from being extinguished, and wisely enough, it carried out the march of the torch in a closed stadium in Senayan. The global civil society cannot be prevented from voicing their concern for human dignity.

James Mann, in his book The China Fantasy (2007), tries to show that, at the moment, there is a clear trend where state leaders avoid criticizing China. "Over the past 15 years, the discussion about China in the United States and in many other countries have settled into a familiar pattern.

"Whenever someone voices alarm about events or developments in China, that person is offered a soothing response that urges a more 'enlightened' understanding."

Mann, however, should not be too pessimistic because the global civil society will be taking the responsibility over to speak up on concerns about the plight of their fellow human beings.

Just as global civil society stands up against the IMF, the World Bank and the WTO, so do they speak for all sorts of social problems existing in countries around the world. Tibet is one, and Darfur is another.

China, actually, is not alone. So many countries, including Indonesia, are under daily close scrutiny by various groups of NGOs with headquarters spread all over the world.

It is high time for China to live in peace with the global civil society, along with the state actors and the global business actors. This is not impossible as civil society in China is also growing fast.

The writer is head of the Centre for Chinese Studies at the Department of Cultural Sciences, University of Indonesia. He can be reached at iww@indo.net.id

Selasa, 25 Maret 2008

CHINA, TIBET AND RELIGION

The current bloody clash in Tibet open the eyes of the world to the stark reality of China, namely religion. Since the start of the communist regime in China in 1949, China has taken a tough stand against religions. The government only acknowledges five religions: Daoism, Buddhism, Islam, Protestant Churc hes, and Catholic Church. By formally acknowledging these five religions, the state also has the right to intervene in the religions by forming “association” or “organizations.” The situation is very similar to Indonesia during the “New Order” when the state acknowledged five religions and created organizations for each religion. It is, therefore, very difficult for China and Indonesia during “New Order” to accommodate religions outside the “five formal religions,” and easily suppresses them for reason of breaching the regulations.

Of course, it is the right of a regime that claims to be holding the ideology of communism. Religion, in Marx’s words, is opium to people as it makes them to forget the oppression by the capitalists. But, religion will fade away as science and scientific method take hold among the people. To combat religions, accordingly, is one of the main tasks of the state to protect the people. First, the state should carry out a policy that limit the operation of religion (as it has to limit the spread of drugs and narcotics); secondly, the state should also develop science and scientific outlook. The Chinese state is tirelessly campaigning that religion is “not scientific” and that it is the remnant of “feudal superstition.”

During Mao’s time, basically, the activities of the religions were put to a halt. Although the state guaranteed the freedom of religion, it also promoted the freedom of “not believing in religion.” This latter clause became the foundation of the state policies to forbid the activities of religions to develop their followers (“proselytization”). At the height of the Cultural Revolution (1966-1969), all religious buildings and religious symbols were attacked and destroyed by the Red Guards, an act of vandalism that caused grave damages to churches, temples, and mosques, many of them were of historical and cultural values. Religions were nearly erased from China, only in clandestine did they survive.

Along with the advent of “Reform and Openness” in 1978, China also liberalizes its policies towards religions. People go the worship places again, and the number of the religious followers also increased significantly . The Chinese government goes even further as far as providing funds to rebuild the damaged churches, temples and mosques, even places for educating their ministers. There is indeed a breath of freedom in the air.

Nevertheless, China still keeps the law that acknowledges only five religions, including the government-sponsored organizations of religions. The suspicion against religions are still firmly in place. Going beyond the deep hatred to religions, however, they are now holding a milder attitude, arguing that religion is only a temporary phenomenon that will fade away as material progress and science are taking root in China’s soil. Perhaps, they argue that at the “early stage of socialism,” as capitalism is allowed to survive, the typical capitalist character of capitalist society (religion as opium) is also given room.

The clash in Tibet cannot be fully understood without referring to the Chinese attitude to religion. Unlike the other five official religions, Tibet Buddhism occupies a territory, and that it has its own leader both in religious and political matters. The Tibet people, being a faithful and loyal follower of their religion, is more readily to show their allegiance to Dalai Lama, more so than to the Chinese president. It is indeed a unique situation in China. In the eyes of the Chinese leaders, Tibet is not an ordinary religion (like the other five religions), but one that could pose threat both to the credibility of Marxist ideology and to China’s political unity.

The Chinese government simply could not swallow a situation where there is a territory in Chinese soil under the rule of a religious leader that has the desire to exert its autonomy in China. China does give autonomy to “minority groups”, but they do not have “religious leaders.” The invasion of China into Tibet (1959) can be interpreted to make Tibet like other “autonomous regions.” But China could not achieve this end, even after it could force the Dalai Lama flee Tibet. Dalai Lama is still regarded as leader and continues to be the symbol of unity of the Tibet Buddhism and Tibet people.

True to its believe in Marxism, China has made a series of efforts to introduce modernity to Tibet, especially by bringing in modern economy. Two years ago the Chinese government has connected Tibet to Beijing and other parts of China by building a railway, a technology feat that drew praise from around the world. Tibet, in Chinese parlance, is to be led along the path of science and scientific outlook, with a hope that it will eventually mitigate the power of religion and delegitimize the Dalai Lama. The current protest by Tibet people is a testimony of a failed policy.

Evidently, China is still struggling to cope with a traditional but always modern phenomenon, namely religion. Not only did China find difficulty to manage Tibet, it also has to find sophisticated ways how to face the other religions such as Islam, Catholic Church and Protestant Churches. Islam in Xinjiang still needs a special attention, and Protestant churches across China also need a degree of accommodation. There is a progress with regard to Beijing’s approach to Vatican recently, but China is still suspicious of the Vatican. All of these only emphasize the fact China is still stuck to an old paradigmatic view on religion.

I.Wibowo, Head of the Centre for Chinese Studies, FIB, University of Indonesia.

Rabu, 27 Februari 2008

Wawancara dengan KOMPAS

Kompas, 10 Februari 2008

Oleh Ilham Khoiri

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.02.10.03352888&channel=2&mn=21&idx=21

Masyarakat keturunan China yang berdatangan ke Nusantara sejak
berabad-abad silam adalah bagian penting dari sejarah bangsa
Indonesia. Namun, sejak zaman kolonial, kelompok etnis ini kerap
menjadi sasaran prasangka, diskriminasi, bahkan kekerasan. Baru lima
tahun terakhir bertiup angin segar kebebasan.

Menurut Dr I Wibowo Wibisono (56), Kepala Centre for Chinese Studies,
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, proses
pembebasan terjadi akibat desakan Reformasi, dan terutama dipicu
Tragedi Mei 1998. Proses itu, secara kebetulan, bersamaan dengan
kebangkitan Republik Rakyat China (RRC) sebagai kekuatan ekonomi di
kawasan Asia dan dunia.

Ditemui di rumahnya di kawasan Kramat, Jakarta Pusat, Selasa (29/1)
siang, Romo Wibowo " begitu ia disapa" terlihat santai. Ia menyebut
kondisi kelompok masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia yang
membaik ini sebagai proses "liberalisasi."

Kondisi sekarang relatif lebih bebas setelah sejumlah peraturan yang
mengekang mereka tidak diberlakukan lagi, seperti Instruksi Presiden
(Inpres) Nomor 14 Tahun 1967, yang melarang pertunjukan seni budaya
China di depan umum. Istilah pribumi dan nonpribumi sudah dihilangkan.
Tahun Baru Imlek ditetapkan sebagai salah satu hari raya dan hari
libur nasional dan dapat dirayakan secara terbuka dengan pentas
seni-budaya China yang meriah, seperti 7 Februari lalu.

Lima tahun terakhir tumbuh berbagai organisasi orang Tionghoa. Ada
yang berbasis klan, asosiasi atas dasar provinsi asal, serta muncul
banyak yayasan sosial. Bahasa Mandarin terbuka dipelajari siapa pun,
sejajar dengan bahasa asing lain, seperti bahasa Inggris.

Reformasi dan Tragedi Mei

Reformasi menyusul Tragedi Mei 1998 adalah sejarah besar yang mengubah
konstelasi politik di negeri ini. Setelah Soeharto lengser, media
massa langsung menyoroti Tragedi Mei yang sebagian korbannya adalah
masyarakat keturunan Tionghoa. Masyarakat langsung turut bersimpati.
"Itu seperti blessing in disguise," ujar Wibowo.

Peristiwa pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa memicu
kesadaran tentang kekerasan terhadap perempuan dan kemudian menguakkan
berbagai fakta mengenai peristiwa serupa di Tanah Air, khususnya di
berbagai wilayah yang ditetapkan sebagai daerah operasi militer.

Peristiwa pemerkosaan yang terjadi bersamaan dengan kerusuhan Mei itu
sangat mudah dikaitkan isu rasisme meski banyak pihak menolaknya.
Namun, apa pun latar belakangnya, peristiwa itu bergema ke seluruh
dunia, di New York, Los Angeles, London, dan Hongkong, dan menyebabkan
Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Masalah Kekerasan
terhadap Perempuan, Radikha Coomaraswamy, berangkat ke Indonesia untuk
melakukan investigasi dan melaporkan peristiwa itu dalam sidang PBB.

"Seandainya Tragedi Mei tidak terjadi, mungkin proses liberalisasi itu
akan lambat sekali," Wibowo menambahkan, "Persoalan China akan dapat
prioritas belakangan. Yang diprioritaskan tentu perkara politik,
konflik agama, dan Timor Timur."

Setelah itu?

Presiden Habibie dipaksa mengakui dan meminta maaf atas Tragedi Mei
1998. Presiden Gus Dur melakukan inisiatif luar biasa. Begitu
terpilih, dia pergi ke China, lalu mencabut Inpres tahun 1967 yang
mengekang ekspresi masyarakat China. Presiden Megawati menetapkan
Imlek sebagai hari raya nasional.

Bagaimana masyarakat Tionghoa menyikapi Tragedi Mei?

Kalau menggunakan teori ahli politik ekonomi AS, Albert Hirschman, ada
tiga respons yang paling dimungkinkan, yaitu exit, voice, loyalty.
Kelompok pertama, exit, pergi keluar, ke Singapura, Hongkong, atau
Thailand.

Kelompok kedua adalah kumpulan voice. Mereka melakukan protes, antara
lain dengan menulis di koran, internet, atau bicara di radio dan
televisi. Sebagian mendirikan organisasi dan lewat institusi itu
menuntut keadilan. Ada yang mendirikan Partai Tionghoa Reformasi,
organisasi nonpemerintah, dan organisasi massa seperti Perhimpunan
Indonesia-Tionghoa (Inti).

Kelompok besar lain, yaitu loyalty, diam, menunggu, apakah ada
perubahan atau tidak. Kalau lebih buruk, mungkin akan lari juga. Kalau
tidak, ya ditahan-tahan. Mereka ini mencakup kelompok pengusaha,
pedagang, dan orang biasa.

Jumlah orang Tionghoa di Indonesia lebih kurang tiga juta. Kelompok
yang exit sekitar 10.000 orang, voice sekitar satu juta. Dua juta
lainnya termasuk loyalty. Selama ini yang menonjol kelompok voicesaja,
seperti Edi Lembong atau Ester Yusuf.

"The rise of China"

Liberalisasi masyarakat Tionghoa di Indonesia, menurut Wibowo, sedikit
banyak juga dipengaruhi faktor internasional, yaitu kebangkitan
ekonomi-politik RRC pada akhir tahun 1990-an, the rise of China. China
punya peran dan pengaruh politik yang semakin besar di Asia dan dunia.

Olimpiade akan diselenggarakan di Beijing tahun ini. China menawarkan
Free Trade Agreement (FTA) dengan ASEAN tahun 2006. Jika ingin bergaul
di dunia internasional, terutama di bidang perdagangan, Indonesia
harus punya hubungan baik dengan China, yang sama-sama menjadi anggota
World Trade Organization (WTO).

Apakah orang Tionghoa di sini bisa dikaitkan dengan RRC?

Pemerintah China mengatakan, orang-orang berdarah China yang bukan
warga negara RRC disebut Huaren. Sementara orang China yang jadi warga
negara China disebut Hoakiao.

Pemerintah China tidak mengurusi warga keturunan China di negara lain,
orang Huaren itu, karena memang dianggap bukan warga negara RRC. Harap
dicatat, saat Tragedi Mei 1998, Kedutaan Besar China di Jakarta tidak
mengambil komentar apa pun. Pemerintah China menganut kebijakan
non-intervensi.

Diskriminasi

Liberalisasi kelompok etnis Tionghoa menunjukkan terjadinya perubahan
penting jika dihadapkan dengan diskriminasi pada masa Orde Baru.

Politik asimilasi yang diterapkan Pemerintah Orde Baru menimbulkan
trauma bagi sebagian orang Tionghoa. Banyak yang terpaksa mengganti
nama dengan nama "Indonesia." Mereka tak boleh tinggal di tingkat
kabupaten ke bawah sehingga terpaksa menetap di kota-kota saja.

Banyak lapangan pekerjaan ditutup untuk kelompok China, seperti tak
boleh jadi pegawai negeri, jadi tentara, atau menteri. Mereka akhirnya
mengembangkan perdagangan, dan banyak yang menjadi kapitalis. Padahal,
dalam tradisi Konfusian, strata masyarakat China yang nomor satu
justru sarjana, petani, perajin, baru pedagang.

Diskriminasi Orde Baru terlacak dari pemakaian kata "Tjina" untuk
menyebut masyarakat keturunan China. Wibowo mengungkapkan dokumen
tertulis hasil kesimpulan Seminar Pertama Angkatan Darat Republik
Indonesia di Bandung, bulan Agustus tahun 1966.

Catatan itu menyatakan, "...untuk menghilangkan rasa inferior terhadap
bangsa kita sendiri serta menghilangkan rasa superior pada bangsa
Tjina, maka kami memutuskan untuk kembali memakai penjebutan Republik
Rakyat Tjina dan warganegara Tjina dari Republik Rakyat Tiongkok dan
warga negaranya..."

Seberapa kadar diskriminasi itu sekarang?

Harus pakai skala. Kalau skalanya 1-10, skala diskriminasi pada Orde
Baru mencapai 10. Sekarang mungkin tinggal empat. Tetapi, masih ada
ganjalan, misalnya soal SBKRI (Surat Keterangan Bukti Kewarganegaraan
Republik Indonesia) yang sudah dicabut, tetapi dalam praktiknya masih
berlaku di mana-mana.

Diskriminasi pada akar rumput masih terjadi. Itu tak terelakkan. Yang
penting, state-nya tak lagi diskriminatif, tidak mendukung rasisme.
Bahwa di dalam masyarakat masih terjadi diskriminasi, ya memang butuh
pencerahan lama. Namun, diskriminasi juga terjadi antar-anggota
masyarakat dari etnis yang sama, termasuk etnis Tionghoa, atas dasar
kelas sosial karena faktanya masyarakat Tionghoa itu tidak tunggal.

Di AS pun sampai sekarang kulit hitam masih diperlakukan
diskriminatif. Juga di Eropa. Bagaimanapun, kodrat manusia itu rasis.
Butuh pencerahan dan pendidikan agar tak rasis.

Apakah proses integrasi di sini sudah maksimal?

Sebagai perbandingan, sekarang kelompok etnis China di Malaysia tidak
mau memakai Bahasa Melayu pada etnis Melayu. Kebijakan politik
pemerintah di sana adalah segregasi. Di sini integrasi dalam bahasa
sudah terjadi. Semua orang, termasuk orang Tionghoa, sama-sama
menggunakan bahasa setempat, mau bahasa Jawa, Betawi, Surabayan,
Semarangan, apa saja.

Dalam perkawinan memang belum terlalu lebur. Di Amerika, yang
kesadaran akan kesetaraan sudah begitu tinggi, orang kulit hitam tetap
kawin dengan kulit hitam, orang kulit putih dengan kulit putih.
Mungkin hanya 10-20 persen orang hitam yang mau dengan orang putih.
Itu pun biasanya yang laki-laki kulit hitam, yang perempuan putih. Di
Eropa juga sama.

Apa yang mengkhawatirkan dari proses liberalisasi?

Kalau orang Tionghoa menjadi eksklusif lagi, itu akan berbahaya karena
menimbulkan sekat-sekat. Tetapi, kemungkinan itu kecil. (Jimmy S
Harianto/ Maria Hartiningsih)

Jumat, 08 Februari 2008

CINA SEBAGAI KIBLAT KEBUDAYAAN DI ASIA TIMUR


I. Wibowo

Centre for Chinese Studies, FIB, Unversitas Indonesia

Sebetulnya, dua kali Cina “mengalami kebangkitan” dan pada kedua kesempatan itu Cina menimbulkan kegoncangan. Yang pertama pada tahun 1949, ketika Cina di bawah pimpinan Mao Zedong berhasil memperoleh kemerdekaannya dan mengumumkan diri sebagai negara komunis. Seluruh dunia, termasuk Asia, goncang dengan munculnya Cina yang kuat. Amerika Serikat perlu mengerahkan kekuatan bersenjatanya untuk mengepung Cina dan menjalankan containment policy. Dari tahun 1950-an hingga tahun 1990-an dunia harus hidup dalam suasana ketakutan akan Cina sebagai negara komunis yang ganas.

Pada tahun 1990-an, seiring dengan berakhirnya Perang Dingin, dan kemajuan pesat perekonomian Cina, muncul juga kegoncangan di seluruh dunia. Kali ini bukan karena Cina mengancam dengan ideologi komunismenya, melainkan dengan kekuatan ekonominya yang dahsyat. Seluruh dunia goncang karena banjir ekspor produk dari Cina yang murah, yang menghancurkan industri domestik banyak negara. Amerika Serikat kali ini tidak mampu berbuat banyak kecuali berteriak-teriak keras, mengritik Cina. Begitu juga banyak negara lain.

Kebangkitan Cina yang kedua ini berbeda dari kebangkitan yang pertama karena Cina tidak hanya bangkit di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang-bidang lain. Pada saat ini, di samping produk ekspornya yang murah, Cina juga dikenal lewat prestasi olah-raganya yang mencapai tingkat dunia. Yao Ming, dan disusul oleh Yi Jianlian, telah berhasil menembus klub elit bola basket Amerika Serikat, NBA. Hanya di bidang sepak bola Cina belum bisa bicara banyak. Film-film Cina dihargai di festival-festival internasional, bahkan memenangkan berbagai hadiah yang amat prestisius. Begitu pula banyak pemain musik (a.l. Liu Siqing, biola, Lang Lang, piano) yang mendapat sambutan meriah di aneka gedung kesenian di seluruh dunia. Pelukis-pelukis Cina (a.l. Fang Lijun) juga telah menghiasi banyak pameran di galeri-galeri terkenal di dunia dan diburu oleh para kolektor lukisan. Lewat karyanya Gunung Sukma (灵山), pengarang Gao Xingjian, memenangkan hadiah Nobel Kesusasteraan 2000. Pada tahun 2003 Cina berhasil melontarkan satelit yang membawa manusia yang mengorbit di luar planet bumi, negara ketiga di dunia yang bisa melakukan hal ini (sesudah Rusia dan Amerika Serikat).

Catatan singkat di atas disampaikan untuk sekedar menggambarkan kebangkitan Cina yang lebih luas. Semakin Cina mampu mengembangkan kebudayaannya, semakin besar pula power yang dimiliki. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Joseph Nye yang membuat analisis kekuatan yang dimiliki oleh Amerika Serikat. Negara ini menjadi superpower tidak hanya karena kekuatan kerasnya (hard power), tetapi juga kekuatan lunaknya (soft power). Apa yang terjadi di Asia Timur di masa depan tidak dapat dilepaskan dari kebangkitan Cina dalam hal soft power ini. Kalau Cina terus menanjak seperti sekarang, di segala bidang, dapat dibayangkan bahwa Cina akan menjadi kekuatan yang luar-biasa. Hal ini yang harus diperhitungkan sejak sekarang.

Dalam makalah ini akan diperlihatkan bagaimana Cina telah mengembangkan faktor kebudayaan yang dipakainya untuk mengembangkan soft power. Sesudah itu akan dibuat beberapa assessment dan akan dilanjutkan dengan memperhitungkan implikasi yang muncul dari situ.

MENGEMBANGKAN KEBUDAYAAN

Cina saat ini dengan sadar mengembangkan kebudayaan (culture) dalam rangka usahanya untuk menyebarkannya ke seluruh dunia. Menurut Direktur Informasi, Zhao Qizheng (2006), Cina saat ini mengalami “defisit kultural” yang serius, artinya Cina tidak mempunyai cukup kekuatan di pasar kebudayaan dunia. Harus segera dilakukan usaha untuk membalikkan situasi ini, katanya. “Cina tidak akan memnjadi kekuatan kebudayaan sampai Cina menguasai pangsa pasar kebudayaan di pasar kebudayaan dunia. Hanya jika Cina mampu menjadi adidaya kultural, maka Aina akan menjadi sebuah kekuatan adidaya di dunia.” (Xu, 2007). Hal yang serupa dikatakan oleh Liu Changle (2005), seorang direktur eksekutif sebuah stasiun TV. Dia melihat meskipun penduduk Cina merupakan 20% penduduk dunia, tetapi 80% media dunia dikuasai oleh media berbahasa Inggris. “Media non-Barat, termasuk media Cina, tersingkir dari arus utama dunia, dan kami ada di posisi yang lemah.” (Liu, 2005).

Kesadaran ini segera mendorong Pemerintah Cina untuk menyusun sebuah rencana strategis pengembangn kebudayaan untuk mendorong ekspor kebudayaan Cina dan memajukan kebudayaan Cina di luar-negeri. (Xinhua News Network, 2006). Rencana ini didasarkan pertimbangan bahwa kebudayaan memainkan peran menentukan dalam pertarungan internasional, terutama untuk mengukur kekuatan kompetitif sebuah negara secara komprehensif. “Kekuatan kebudayaan makin menjadi tolok ukur untuk mengukur kekuatan nasional secara menyeluruh. Di panggung internasional, Cina tidak hanya memerlukan kekuatan di bidang ekonomi, sains, teknologi, dan pertahanan, tetapi juga kekuatan kebudayaan yang tangguh di gelanggang persaingan internasional.” (Xinhua News Network, 2006). Ditekankan bahwa Cina harus secara nyata meningkatkan saluran-saluran untuk terjadinya tukar-menukar kebudayaan, menyebarluaskan media berbahasa Cina di luar negeri, serta menaikkan daya saing serta dampak dari produk-produk kebudayaan Cina.

Dalam kesempatan sebuah konferensi para seniman dan sastrawan pada bulan November 2006, Hu Jintao, Kepala Negara dan sekaligus juga Sekretaris Jendral Partai Komunis Cina, membuat sebuah pernyataan yang tajam: “Pokok paling penting untuk dibahas adalah bagaimana mendefinisikan arah yang benar bagi perkembangan kebudayaan negara kita, bagaimana menciptakan sebuah kebudayaan nasional yang baru dan megah, bagaimana meningkatkan daya saing internasional dari kebudayaan negara kita, dan bagaimana memperbaiki kekuatan lunak nasional” Pandangan ini sekali lagi dikemukakan dalam kesempatan Konggres Partai Komunis Cina ke-17, Oktober 2007.

Data-data yang berhasil dikumpulkan menunjukkan betapa Cina telah benar-benar melaksanakan rencananya itu. Data dari UNESCO, misalnya, memperlihatkan produk kebudayaan Cina telah berkembang cepat dalam kurun waktu sepuluh tahun. Pada tahun 1994 Cina hanya menguasai pangsa pasar 8,3% dari produk kebudayaan Amerika Serikat, dan pada 2003 angkat itu telah meningkat menjadi 30,8%. Dari data itu juga nampak bahwa produk kultural Cina menduduki peringkat-peringkat tinggi. Cina adalah nomor satu sebagai eksportir media audi-visual, nomor 2 dalam kesenian visual, nomor 7 dalam ekspor buku dan barang cetakan lainya. Cina mengekspor lebih banyak daripada mengekspor, sehingga Cina menjadi negara peringkat atas yang neraca perdagangannya positif di bidang produk kultural. Data UNESCO itu memang memperlihatkan Cina termasuk eksportir besar dalam hal perdagangan barang kebudayaan.

Produk kebudayaan yang menarik untuk disimak adalah televisi. CCTV (China Central Television) dapat dikatakan memiliki pemirsa paling besar di dunia. Ia merupakan stasiun TV yang mempunyai jaringan paling luas dan ditonton oleh 95,9% penduduk Cina. Di tingkat internasional CCTV dipancarkan melalui satelit selama 24 jam dan 7 hari per minggu, dan dapat disaksikan di lebih 100 negara di dunia, dengan pemirsa sebanyak 65 juta orang pada akhir tahun 2006. CCTV 4 yang didirikan pada tahun 1992 merupakan saluran internasional pertama, dan sasaran utamanya adalah orang-orang Cina diperantauan dan mereka yang paham bahasa Cina. Bahasa yang dipakai adalah Mandarin dan Cantonese, diselingi dengan bahasa Inggris. Konon penontonnya berjumlah 15 juta di seluruh dunia. CCTV 9 merupakan saluran internasional berbahasa Inggris yang mulai pada September 2000. Sasaran pendengarnya adalah mereka yang tidak bisa berbahasa Mandarin. Tercatat 50 juta pelanggan di seluruh dunia. Pada tahun 2004 CCTV memulai siaran dalam bahasa Prancis dan Spanyol, keduanya berhasil merebut pemirsa sejumlah 2 juta orang. (China Radio and TV Yearbook, 2006). Meskipun sangat mahal mengoperasikan siaran lewat satelit selama 24 jam, Cina tidak memungut bayaran untuk siaran-siarannya.

Di samping itu, para pemirsa internasional juga menapatkan akses ke CCTV dan juga program TV lokal Cina (stasiun TV Shanghai, stasiun TV Hunan, stasiun TV Yunnan, dsb. ), lewat layanan domestik mereka masing-masing. Hal ini bisa terjadi lewat penerima TV satelit atau lewat jaringan TV satelit, ataupun perusahaan TV kabel. Di kota-kota besar di dunia, seperti Washington, DC, New York City, Los Angeles, San Francisco (AS), Sydney (Australia), London (Inggris), tempat tinggal orang Cina imigran yang besar, CCTV dapat diperoleh lewat stasiun TV lokal. Raksasa media di Barat berebut pangsa pasar di Cina. Hal ini dimanfaatkan oleh Cina dengan menjalin kerja sama dengan Time Warner, News Group (AS), Sky TV (Inggris) dan sebagai tukarnya menyediakan TV dalam bahasa Cina ke dalam jaringan mereka. Meski demikian, Pemerintah Cina tetap menerapkan kendali ketat dan sensor atas media Barat yang masuk ke pasar kebudayaan di Cina.

Bidang pendidikan pada umumnya dipakai sebagai wahana penyebaran nilai-nilai. Negara-negara Barat menyebarkan nilai-nilai modern lewat beasiswa untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi mereka. Sejak seratus tahun ratusan ribu mahasiswa dari seluruh dunia datang ke Eropa dan Amerika Serikat untuk menuntut ilmu di sana. Cina pernah mengalami masa seperti ini pada abad ketujuh ketika banyak mahasiswa, terutama dari Korea dan Jepang, datang ke kota Zhang’an untuk mempelajari kebudayaan Cina. Saat ini Cina juga didatangi lagi oleh mahasiswa-mahasiswa dari seluruh penjuru dunia. Empat universitas yang selalu menjadi tujuan mahasiswa adalah Universitas Beijing, Universitas Tsinghua (keduanya di Beijing), Universitas Fudan dan Universitas Jiaotong Shanghai (keduanya di Shanghai).

Pemerintah Cina ikut mengambil inisiatif untuk menarik mahasiswa asing datang ke Cina. Mereka mengadakan berbagai seminar untuk menarik mahasiswa. Misalnya pada tahun 1999 diselenggarakan seminar di Jepang, Seminar Memperkenalkan Studi di Cina” (留学说明会) Seminar yang serupa diadakan di Korea pada tahun 2000. Sementara itu Pemerintah Cina juga menawarkan beasiswa kepada mahasiswa asing yang ingin belajar di Cina. Pada Desember 2006 , misalnya, Menteri Pendidikan menyediakan 11.000 beasiswa kepada mahasiswa asing yang ingin belajar pada tahun 2007. Pemerintah daerah, universitas daerah, juga perusahaan-perusahaan, menawarkan dukungan finansial kepada mahasiswa asing. Pada tahun 2006 tercatat 162.695 mahasiswa asing, kenaikan tiga kali lipat dibandingkan tahun 2000 yang Cuma mencatat 52.150 mahasiswa. (Education Yearbook of China, 2001-2006)

Sebuah usaha untuk menyebarkan kebudayaan Cina secara lebih aktif ditempuh oleh Pemerintah Cina dengan mendirikan sekolah bahasa Mandarin. Hal ini sudah dimulai pada tahun 2002. Pada tahun 2004 Pemerintah Cina memperkenalkan sebuah rencana yang ambisius, yaitu mendirikan 500 Institut Konfusius (孔子学院) di seluruh dunia pada tahun 2010. Sampai Mei 2007, jumlah Institut Konfusius telah mencapai 155 dan tersebar di 53 negara di seluruh dunia. Ini berarti satu Institut Konfusius setiap empat hari! Institut Konfusius didanai oleh negara dengan tujuan untuk mempromosikan bahasa Mandarin karena lewat bahasa diharapkan banyak orang di seluruh dunia tidak hanya belajar bahasa tetapi juga adat-kebiasaan serta alam pikiran Cina. Di Indonesia kini sudah ditandatangani empat Institut Konfusius di Pulau Jawa.

Yang kini semakin disadari adalah menyebarnya “model pembangunan” yang ditempuh Cina. Seiring dengan kemajuan ekonomi Cina yang spektakuler, orang juga memperhatikan model pembangunan yang sedang ditempuh oleh Cina. Bagaimana mungkin Cina bisa maju padahal Cina tidak menerapkan prinsip pasar bebas secara penuh, dan sekaligus juga tidak menerapkan demokrasi? Pertanyaan ini semakin bergema kuat, dan menjadi tantangan serius bagi model pembangunan yang dipromosikan oleh negara-negara Barat. Kapitalisme atau pasar bebas ternyata tidak usah diiringi dengan demokrasi, bahkan kombinasi setengah pasar bebas dengan setengah otoriter bisa menghasilkan “keajiban ekonomi.” Seorang peneliti di London, Joshua Cooper Ramo, memperkenalkan istilah “Beijing Consensus” untuk dipakai menjelaskan rahasia kemajuan pembangunan yang terjadi pada Cina saat ini.

Pemerintah Cina sendiri tidak mau menanggapi munculnya “Beijing Consensus,” bahkan agak menjauhkan diri. Meski demikian, “Beijing Consensus” telah terlanjur menjadi bahan diskusi dan perdebatan di berbagai kalangan intelektual. Negara-negara di Afrika dan Amerika Latin dengan antusias menyambut model pembangunan ini. (Zhang, 2006) Mereka diyakinkan bahwa untuk menjalankan pembangunan tidak perlu mengikuti “Washington Consensus,” sebuah istilah yang menggambarkan model pembangunan yang didasarkan atas tiga pilar, yaitu privatisasi, deregulasi, dan perdagangan bebas. Selama ini mereka menyaksikan betapa besar biaya yang harus dibayar ketika menerapkan “Washington Consensus.” Baik di Afrika maupun di Amerika Latin, ekonomi mereka semakin terpuruk setelah menerapkan tiga pilar itu. “Beijing Consensus” dipandang sebagai sebuah alternatif yang nyata, bahkan dapat dipandang sebagai sebuah cara keluar dari cengkeraman negara-negara kaya.

Dengan ini Cina kini telah menjadi sebuah “kiblat” bagi negara-negara sedang berkembang, bahkan juga negara-negara maju. Di Asia Timur (termasuk Asia Tenggara) posisi Cina sebagai kiblat juga makin dirasakan. Dalam sebuah jajak-pendapat yang diadakan oleh Chicago Council on Global Affairs yang bekerja sama dengan Lowy Institute, orang Korea Selatan ditanya mengenai perasaan mereka terhadap Cina. Untuk itu dipakai skala termometer untuk mengukur panas yaitu dari 0-100. Orang Korea ternyata memberikan angka 57 (orang Australia memberi angka 61 untuk pertanyaan yang sama). Kalau mengukur dengan jumlah mahasiswa yang belajar di Cina, statistik menunjukkan pada tahun 2006 tercatat 74,33 persen mahasiswa asing di Cina berasal dari Asia, dan di antaranya 50 persen berasal dari Korea Selatan. (Education Yearbook of China, 2007) Sementara itu Cina saat ini juga menjadi sumber bantuan keuangan bagi banyak negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dengan ini negara-negara penerima bantuan terikat dengan rasa “hutang budi,” yang besar. Pepatah Indonesia mengatakan: Hutang budi dibawa sampai mati!

Pada akhirnya catatan tentang orang keturunan etnis Cina (sebutan resmi “huaren” 华人). Terutama di Asia Tenggara, tetapi juga di Asia Timur (Taiwan, Jepang) orang keturunan etnis Cina merupakan komunitas yang besar. Dalam uraian di atas sebenarnya perlu ditanyakan apakah produk-produk kebudayaan tersebut dikonsumsi oleh orang keturunan etnis Cina. Pemerintah Cina tentu tidak berharap bahwa produk kebudayaannya hanya dikonsumsi oleh keturunan etnis Cina. Meski demikian, kalau memang jumlah mereka cukup besar, tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka menjadi konsumen terbesar dari produk kebudayaan dari Daratan Cina. Masih perlu penelitian yang teliti dan mendalam untuk hal ini. Sambil menunggu hasil penelitian tersebut, sudah dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa kelompok ini – dengan atau tanpa produk kebudayaan dari Cina – akan berperan penting dalam hubungan dengan Cina. Kedekatan kebudayaan (cultural affinity), walaupun bukan jaminan pasti, tetap menjadi faktor penting dalam membangun hubungan yang dekat dengan pihak di Daratan Cina.

Indonesia yang mempunyai sejarah kelam di bidang hubungan dengan keturunan etnis Cina ini, perlu memikirkan dalam-dalam mengenai hal ini. Baru sepuluh tahun yang lalu Indonesia mengalami tragedi besar ketika harta-milik orang keturunan etnis Cina dijarah dan dibakar. Sementara ini telah dicatat banyak kemajuan besar, baik di tingkat atas maupun di tingkat bawah. Kalau kecenderungan ini bisa dipertahankan, bahkan dikembangkan, Indonesia sebenarnya mempunyai “asset” yang luar biasa untuk mengadakan hubungan dengan Cina. Cultural affinity yang mereka miliki dapat dimanfaatkan sebaik mungkin untuk membinan hubungan dengan Cina, baik pemimpin politik, pelaku bisnis, maupun civil society pada umumnya.

BIBLIOGRAFI

Liu, Changle.

2005. “Have Chinese Media’s Voices Heard in the World.” Speech at the Advanced Forum of the Chinese Media Development. Di akses dari

http://academic.mediachina.net/academic_zjlt_lw_view.jsp?id=4528

Nye, Joseph

2004 Soft Power. The Means to Success in World Politics (New York: Public Affairs)

Wibowo, I.

2007 “China’s Soft Power and the Neo-Liberal Agenda in ASEAN,”makalah untuk seminar, “The Rise of China and Its Soft Power,” diselenggarakan oleh S.Rajaratnam School of Internasional Studies, Nanyang Technological University, Singapore, 18-19 October 2007.

Xu, Suqin.

2007 “Rejuvenation of Chinese Culture and Enhance Our Soft Power,” dlm. Jinyang Netowork, Agustus 22, 2007, diakses dari http://www.ycwb.com/myjjb/2007-08/22/content_1592212.htm

Zhao, Qizheng.

2006. "How China Becomes a Major World Power: Four Major Elements." Wenhui Daily (March 15, 2006) diakses dari
http://www.zsr.cc/ExpertHome/ExpertAttention/200603/12959.html

Zhang, Weiwei,

2006 “The Allure of the Chinese Model,” International Herald Tribune (November 1, 2006)

Kamis, 07 Februari 2008

INVESTASI CHINA

Kompas, 11 September, 2005, hlm. 6

I. Wibowo

Money can buy everything,” kata sebuah pepatah. Tidak demikian yang terjadi pada perusahaan minyak China, CNOOC. Mereka telah menyediakan uang sebesar US$ 18,5 milyar, jauh lebih besar daripada saingan mereka, tapi perusahaan itu pada 2 Agustus 2005 terpaksa mengumumkan pengunduran diri. Gara-garanya Konggres Amerika memberi tahu kepada Presiden George Walter Bush untuk mewaspadai pembelian ini karena pembelian ini dapat mengancam national energy security. Sebelumnya di media Amerika ramai dipergunjingkan soal ancaman ini.

Peristiwa ini tentu saja mengagetkan banyak orang. Bukankah CNOOC mengikuti prosedur jual-beli yang ada? Sesuai dengan prinsip pasar bebas, mestinya tidak ada masalah sejauh transaksi itu sungguh “rasional.” Namun sekali lagi, muncul faktor “ancaman” terhadap keamanan bangsa. Dengan kata lain, nasionalisme mengalahkan bisnis, politik mengatasi ekonomi. Siapa bilang nasionalisme sudah mati?

Konggres Amerika melihat dua hal. Pertama, CNOOC memang sebuah perusahaan asing, yang berasal dari China. UNOCAL memang bukan perusahaan minyak terbesar di Amerika, tetapi dikuasainya UNOCAL oleh perusahaan asing dapat menimbulkan ancaman pada keamanan enerji mereka. Kedua, CNOOC dalam pandangan anggota Konggres bukan perusahaan biasa, bukan perusahaan swasta. Perusahaan ini adalah perusahaan milik negara. Mereka tahu betul bahwa campur tangan negara sangat besar di situ. Tapi “negara” yang dimaksud di sini adalah negara yang dikuasai total oleh Partai Komunis China, sebuah partai tunggal yang tidak demokratis. Yang terakhir inilah merupakan isu paling mencengkam di kalangan anggota Konggres.

***

Di Cina dibedakan antara “perusahaan milik negara” (guoyou qiye), “perusahaan milik kolektif” (jiti qiye), “perusahaan milik individu” (geti qiye) dan “kategori ekonomi lainnya” (qita jingji leixing qiye). Perusahaan milik negara bisa berada di tingkat pusat, provinsi, kabupaten atau kecamatan. Pada umumnya tersebar di wilayah perkotaan. Tidak ada angka statistik yang akurat tentang berapa jumlah perusahaan milik negara, tapi diperkirakan berjumlah di sekitar 100.000. Ada sekitar 2000-3000 perusahaan milik negara yang ada di bawah pemerintah pusat, dan ini perusahaan milik negara yang sangat besar.

Di masa lampau PMN (seterusnya: PMN) memang seratus persen merupakan usaha milik negara, sesuai dengan prinsip-prinsip komunisme. Akibat diperkenalkannya sistem pasar, PMN mengalami goncangan besar karena dipaksa harus menghadapi kompetisi dari perusahaan swasta, baik swasta dalam-negeri maupun swasta luar-negeri. Beberapa PMN, terutama yang berukuran kecil dan menengah, mengalami kebangkrutan.

Reformasi PMN telah dimulai sejak tahun 1979. Pertama, manajemen PMN diubah dengan menerapkan “sistem tanggung-jawab.” Manajer memikul tanggung jawab, tapi sekaligus juga memiliki kebebasan yang tidak dimiliki oleh manajer di masa Mao dulu. Yang kedua, mereka dapat mencari modal di pasar modal. Tapi pada kenyataannya saham mayoritas tetap dikuasai oleh Pemerintah.

Manajer di PMN Cina bekerja seperti manajer-manajer lain di dunia. Bedanya, selain bertanggung jawab kepada rapat pemegang saham secara eksternal, secara internal ia juga bertanggung jawab kepada “orang dalam” (insiders). Dilaporkan meskipun dalam struktur kepengurusan terdapat Board of Directors dan juga Supervisory Board, mereka tidak efektif karena seorang manajer tidak bisa lepas dari berbagai macam kantor pemerintah dan organisasi Partai. (Jie Tang dan Anthony Ward, The Changing Face of Chinese Management, London: Routledge, 2003, hlm. 55)

Yang kedua, diperkenalkan strategi zhua da, fang xiao: yang besar dipertahankan, yang kecil dilepaskan. Peter Nolan mengamati bahwa Pemerintah China menetapkan 120 kelompok perusahaan untuk dijadikan “Tim Nasional”, yaitu perusahaan-perusahaan yang dianggap “mempunyai nilai strategis.” Perusahaan-perusahaan itu bergerak di berbagai sektor: listrik (8), batu bara (3), otomotif (6), elektronika (10), besi dan baja (8), mesin (14), kimia (7), material untuk konstruksi (5), transportasi (5), ruang angkasa (6), obat-obatan (5). Semua PMN ini mendapat berbagai macam fasilitas negara, termasuk mendapat proteksi dengan tarif impor yang tinggi. Fasilitas paling menentukan adalah kemudahan untuk mendapat kredit dari bank-bank (yang juga milik pemerintah).

***

Sikap hati-hati dari Konggres Amerika ini tentu saja menuai kritik. Bagaimana mungkin sebuah negara yang selalu mengkhotbahkan pasar bebas, malah melanggarnya sendiri. Namun mereka tetap bergeming. Pada saat ini dan seterusnya, Pemerintah Amerika akan terus memantau transaksi antara perusahaan China dengan perusahaan Amerika. Contoh terdekat adalah pembelian perusahaan Amerika “Maytag” oleh “Haier” perusahaan China. Proses berjalan sangat perlahan dan alot.

Suasana ini berbeda dengan suasana tahun 80-an ketika di Amerika juga terjadi kekhawatiran atas pembelian perusahaan, bahkan perusahaan yang dipandang sebagai American icon, oleh perusahaan Jepang. Alasan nasionalisme dipakai untuk mencegah perusahaan-perusahaan Jepang “menguasai” Amerika, sedang dalam hal perusahaan China, kecuali alasan nasionalisme, ada ketakutan lain yang bersifat politis. Di mata orang Amerika negara China lewat PMN mereka dapat menguasai negara dan bangsa mereka.

I. Wibowo adalah Ketua “Centre for Chinese Studies,” Jakarta.

BEIJING CONSENSUS: MENGAPA TIDAK?

“Kompas” 9 Oktober 2006, hlm. 7.

I. Wibowo

Ramai-ramai mengritik “Washington Consensus”, mengapa kita tidak saja memilih “Beijing Consensus”? Sebabnya jelas. “Washington Consensus” – sebagaimana dirumuskan oleh John Williamson – sebetulnya bukanlah konsep untuk pembangunan. Ia adalah konsep yang ditemukan oleh para bankir agar negara pengutang di Amerika Latin membayar utangnya tepat waktu. Cuma, herannya IMF maupun World Bank bersemangat memasarkan “Washington Consensus” ke seluruh dunia, seakan obat mujarab. Yang lebih mengherankan adalah bahwa konsep yang tidak dirancang untuk pembangunan, dipakai oleh IMF dan World Bank di mana-mana di seluruh dunia, termasuk Indonesia, sebagai resep pembangunan. Tentu saja kebodohan ini harus dibayar amat mahal.

Meraba-raba batu

Cina tidak pernah tergiur dengan “Washington Consensus.” Ia mencoba mencari jalan sendiri, menurut istilah Deng Xiaoping, “meraba-raba batu, menyeberangi sungai” (mozhe shitou, guo he). Cina memang tidak memberinya nama “Beijing Consensus.” Adalah Joshua Coper Ramo dari The Foreign Policy Centre, Inggris, yang menciptakan istilah itu. Nama itu baru muncul pada saat Ramo merumuskannya, pada tahun 2004. Sekali lagi, istilah ini tidak diciptakan oleh pemimpin Cina, melainkan oleh orang luar Cina yang mengagumi apa yang terjadi di Cina.

Bagaimana Cina bisa sampai kepada konsep itu, sulit dilacak karena Cina tidak mempunyai cetak biru pada awalnya. Di antara para pemimpin tertinggi waktu itu malah terjadi pertikaian, diiringi dengan gejolak sosial yang luar biasa. Masing-masing faksi menyatakan bahwa pendapatnya saja yang benar. Di dalam masyarakat muncul demonstrasi dan protes, yang kemudian meledak menjadi “Peristiwa Tian’anmen” pada tahun 1989. Pada saat itu masing-masing faksi saling tuding, dan setelah terjadi peristiwa berdarah itu pemimpin Cina bahkan pernah sampai pada kesimpulan untuk menghentikan reformasi.

Ketika Deng Xiaoping mendobrak dengan pidato-pidatonya selama perjalanannya di Cina selatan pada awal tahun 1992, dia sebenarnya juga tidak mempunyai rencana yang sudah jelas. Satu-satunya yang jelas adalah bahwa Cina harus mencapai taraf xiaokang (hidup pantas) yang diukur dengan angka USD 1000 per kapita pada tahun 2000. Jiang Zemin dan Zhu Rongji berusaha keras menerjemahkan garis besar ini menjadi kebijakan-kebijakan.

Memajukan warga negara

“Beijing Consensus” berbeda dari “Washington Consensus”: kalau yang disebut terakhir ini bertitik tolak dari kepentingan para bankir, maka yang pertama dari keprihatinan akan warganegara. Pemimpin Cina berusaha untuk memajukan warga negaranya yang masih ketinggalan dalam hal pembangunan. Hu Jintao melontarkan rumus: “tiga dekat” (san ge tiejin), dekat dengan realitas, dekat dengan rakyat dan dekat dengan kehidupan. Memang akan terjadi kegoncangan dalam proses mengejar ketinggalan ini, mungkin juga terjadi instabilitas. Tugas pemerintah adalah menahan goncangan ini dan tetap menjaga stabilitas. Termasuk di sini adalah stabilitas kekuasaan Partai Komunis Cina.

Ini tidak berarti bahwa tidak dibuka kemungkinan inisiatif dan kreativitas “dari bawah.” Pemimpin Cina telah mempelajari bagaimana partai tunggal gagal satu demi satu (KMT di Taiwan dan PRI di Mexico), dan tiba pada kesimpulan bahwa harus ada keseimbangan antara pembatasan-pembatasan dan inisiatif individu. Maka sistem pasar tidak dinafikan, tetapi kecenderungan sistem pasar yang mengarah kepada chaos harus dikendalikan secara cermat. Walaupun di Cina di banyak aspek nampak seperti negara kapitalis, tetapi masih menemukan “jejak-jejak” peran negara.

Hal ini berlaku juga bagaimana Cina menyambut globalisasi. Sudah sejak awal reformasinya Cina mengumumkan “keterbukaan” (kaifang), sebuah rumus yang mencerminkan keberanian Cina untuk memasuki globalisasi. Maka masuklah aktor-aktor global ke Cina, dari IMF dan World Bank, juga WTO, sampai semua MNC raksasa. Cina dilanda “Crazy English”, anak-anak sampai orang dewasa ingin mencapai skor 600 dalam TOEFL. Mode pakaian paling mutakhir dan arsitektur Barat di garda depan, semua mendapat sambutan hangat di Cina. Meski demikian, Cina tidak kehilangan kebudayaan dan peradaban Cina yang telah berumur ribuan tahun itu. “Washington Consensus” yang bertujuan menyeragamkan seluruh dunia dalam satu rumus, ditepis oleh Cina. Jangan terkejut kalau Cina menghasilkan rumus: sosialisme dengan ciri khas Cina (you zhongguo tese de shehuizhuyi). Atau yang lebih spektakuler: ekonomi pasar sosialis (shehuizhuyi shichang jingji).

Kombinasi baru

Dengan demikian kita dapatkan beberapa kombinasi yang belum pernah ada: pasar bebas memang, tapi masih ada intervensi negara, perdagangan bebas juga, tetapi masih ada negara, privatisasi perusahaan negara tentu saja, tapi mempertahankan beberapa yang besar, investor asing diundang, tapi jangan masuk terlalu dalam, globalisasi OK, tapi tidak total. Di bidang politik Partai Komunis Cina masih berdiri di atas semua, tapi memberi ruang bergerak bagi warga negara mendekati 100%. Dan sebagainya. Dalam “meraba-raba batu,” Cina menemukan jalannya ke seberang dengan hasil yang spektakuler.

Memang orang mencoba memaksakan “Beijing Consensus” dalam kerangka perdebatan klasik antara “kapitalisme” dan “sosialisme.” Atau, mau memasukkan dalam kerangka “Keynesianism” atau “Third Way.” Tapi orang segera menemukan bahwa usaha itu tidak mungkin dan harus mengakui “Beijing Consensus” adalah sesuatu yang sama sekali baru. Yang sudah kandas dengan kerangka lama, mengapa tidak menoleh ke “Beijing Consensus”?

I. Wibowo, Ketua “Centre for Chinese Studies,” FIB-Universitas Indonesia

China mengandalkan soft power

Kompas, 22 Oktober 2007

I. Wibowo

Konggres XVI Partai Komunis Cina sudah dibuka pada 15 Oktober 2007 dengan sebuah pidato panjang oleh Sekretaris Jendral Partai, Hu Jintao. Sungguh sebuah pidato yang panjang, yaitu dua setengah jam! Ia berbicara tentang situasi domestik maupun internasional. Seperti yang telah diramalkan orang jauh-jauh hari, Hu memang bicara tentang “masyarakat harmonis” (hexie shehui). Tema ini diluncurkan untuk pertama kali pada tahun 2002 dan terus dipakai di setiap kesempatan. Spanduk-spanduk di jalan, misalnya, pasti tidak melupakan kata “masyarkat yang harmonis.” Cina, dalam kerangka ini, berusaha untuk membangun masyarakat yang tidak hanya memperhatikan mereka yang kaya tetapi juga mereka yang kurang beruntung dan miskin.

Namun ada satu hal yang mengejutkan di bidang hubungan internasional, yaitu ketika Hu Jintao bicara tentang soft power atau kekuatan lunak. Biasanya, pembicaraan tentang hubungan internasional selalu dikaitkan dengan kekuatan keras atau hard power. Maka pembicaraan berkisar pada persenjataan dan jumlah tentara. Apakah sebuah negara sedang kuat atau sedang lemah diukur dengan indicator tersebut. Para pengamat yang berhaluan “realis” ini – demikian mereka biasa disebut – akan memperhatikan naik-turunnya anggaran belanja militer.

Soft power atau kekuatan lunak justru mengacu pada hal-hal yang sebaliknya. Konsep yang dilemparkan oleh Joseph Nye dari Universitas Harvard ini sebenarnya mau melihat sisi lain dari kekuatan Amerika Serikat. Negara ini memang memiliki senjata paling banyak dan paling canggih, namun kekuatan Amerika Serikat juga ada pada kekuatan lunaknya. Ini dibuktikan dengan betapa orang di seluruh dunia mengagumi sistem ekonomi maupun politik Amerika, juga produk-produk kebudayaannya. Nilai-nilai yang diperjuangkannya (kebebasan, demokrasi) memikat banyak orang. Nye berpendapat bahwa Amerika Serikat dapat menundukkan negara lain hanya dengan kekuatan lunak ini.

Rupa-rupanya hal ini pula yang ingin dikejar oleh China. Hu Jintao sudah beberapa kali pada beberapa kesempatan bicara tentang kekuatan lunak ini. Misalnya, dalam kesempatan sebuah konferensi para seniman dan sastrawan pada bulan November 2006, Hu membuat sebuah pernyataan yang tajam: “Pokok paling penting untuk dibahas adalah bagaimana mendefinisikan arah yang benar bagi perkembangan kebudayaan negara kita, bagaimana menciptakan sebuah kebudayaan nasional yang baru dan megah, bagaimana meningkatkan daya saing internasional dari kebudayaan negara kita, dan bagaimana memperbaiki kekuatan lunak nasional” Hu persis menyentuh inti dari kekuatan lunak, yaitu kebudayaan. Semakin sebuah kebudayaan negara memikat dan dikagumi orang, semakin besar kekuatan lunak negara tersebut.

Bagaimana perkembangan kekuatan lunak Cina di dunia saat ini? Dengan kebangkitan ekonominya yang sedemikian dahsyat, China sebenarnya telah menebarkan kekuatan lunaknya. Tidak ada negara yang tidak mengagumi China! Namun, di samping itu, kekuatan lunak China juga muncul dari semua prestasi di bidang kebudayaan, seperti film, musik, lukis, pahat, dsb. Nama-nama seperti Zhang Yimou, Chen Kaige (film), Lang Lang (piano), Fang Lijun (lukis) telah akrab di telinga para pengagum kebudayaan Cina. Di bidang olah raga begitu pula. Nama Lu Xiang menjulang sebagai satu-satunya orang non-Afrika yang bisa merebut medali emas Olimpiade dalam lari rintangan. Pada akhirnya, sejarah Cina yang sedemikian tua menjadi daya tarik yang tidak ada habisnya. Museum-museum di China selalu menjadi sasaran kunjungan setiap turis untuk mengagumi perkembangan kebudayaan China dari abad ke abad yang merentang sepanjang 5000 tahun.

Meski demikian Hu nampak masih belum puas. Pada saat ini sedang dilakukan kampanye besar-besaran untuk menyiarkan kebudayaan China, yaitu lewat “Institut Konfusius” (kongzi xueyuan). Sampai Mei 2007 telah didirikan 155 Konfusius Institut di 53 negara di lima benua. Menurut rencana, sampai tahun 2010 akan berdiri 500 Konfusius Institut di seluruh dunia. Dua bulan lalu di Indonesia juga sudah disetujui berdirinya empat Konfusius Institut di empat kota. Sama seperti yang dilakukan oleh Inggris, Prancis dan Jerman, China mendirikan Konfusius Institut ini untuk memperluas penutur bahasa Mandarin. Pemerintah China menyediakan dana amat besar untuk semua Konfusius Institut ini.

Kalau kemajuan di bidang kekuatan lunak ini terus meningkat, Cina memang dapat dikatakan telah melengkapi kekuatan keras yang dimilikinya. Kekuatan militer Cina saat ini sudah dapat dikatakan yang terbesar di Asia, dan China masih terus berusaha untuk meningkatkannya. Ini tidak berarti bahwa China telah mencapai tingkat kekuatan sebuah superpower. Yang menarik dari meningkatnya kekuatan lunak, kini China lebih mudah untuk berdiplomasi. Kekuatan keras memang sering dipandang sebagai perpanjangan dari diplomasi, tetapi kekuatan lunak ternyata merupakan kekuatan (power) yang tidak kalah pentingnya. China nampak telah belajar banyak.

Pidato Hu Jintao dalam Konggres Partai ke-17, dengan demikian, telah membuka dimensi baru dalam gerak kebangkitan China di Asia maupun di dunia pada umumnya. Amerika Serikat dikabarkan mulai risau dengan meningkatnya kekuatan lunak China ini. Negara-negara di Asia Timur, termasuk Asia Tenggara, kiranya sudah mulai terbiasa dengan soft power yang ditebarkan oleh China ini. Ketika Hu mengatakan hal itu, dia sebenarnya hanya menggarisbawahi apa yang sedang dan sudah terjadi.

I. Wibowo adalah Kepala Centre for Chinese Studies, FIB – Universitas Indonesia, dan dapat dihubungi pada i.wibowo@ui.edu

Selamat datang!

Anda telah memasuki blog "Belajar dari Cina" tempat kita akan berbagi data maupun teori tentang Cina.