Jumat, 10 Oktober 2008

BELAJAR DARI CHINA (LAGI)

Kompas, 10 Oktober 2008

Oleh I Wibowo

Gonjang-ganjing susu dari China telah merembet ke seluruh dunia. Globalisasi bukan hanya di sektor keuangan, tetapi juga susu! Susu dari China—entah apa pun mereknya—telah berputar ke seluruh dunia, baik ke negara kaya maupun miskin.

Bukan hanya susu, juga semua produk yang dicampur dengan susu dari China, roti, kue, es krim. Globalisasi susu tidak kalah menakutkan dibanding globalisasi keuangan! Badan kesehatan PBB, WHO, terpaksa ikut turun tangan.

Konon susu tercemar itu sudah dideteksi sejak lama di China, ada yang mengatakan sejak Maret 2008. Perusahaan pun sudah mulai menarik beberapa produknya. Namun, baru bulan September orang di China mulai panik. Mungkin setelah terbukti ada bayi yang mati karena minum susu beracun dan banyak lagi yang gagal ginjal.

Salah satu tafsiran yang mengemuka adalah pemberitaan tentang susu ini sengaja dikeluarkan sesudah Olimpiade Beijing agar tidak menimbulkan kekacauan dalam persiapan pesta olahraga itu. Ada juga yang mengatakan, perusahaan tidak mau rugi sehingga menunda-nunda sampai akhirnya tidak dapat ditunda lagi dan meletus pada bulan September. Apa yang sebenarnya terjadi?

Kegagalan regulator

Berbagai ulasan yang muncul mengatakan, di China tidak ada sistem pengawasan yang serius. Negara tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Pegawai pemerintah yang bertanggung jawab atas makanan, ada sedikitnya 10 organ pemerintah yang mengurus soal keselamatan makanan di seluruh China. Mereka dituduh lalai dan tidak menjalankan tugas. Pemerintah China juga mengambil tindakan memecat sejumlah pejabat. Namun, rakyat tidak puas dan marah, kendati Perdana Menteri Wen Jiabao telah meminta maaf.

Jadi, yang dipersalahkan adalah regulator. Apa pekerjaan para pejabat itu? Para pejabat itu seharusnya memeriksa setiap produk, bahkan memeriksa dengan amat ketat. Dalam hubungan ini, yang dipersalahkan juga media di China yang tidak bebas. Memang media massa di China kini tidak lagi di bawah pengawasan ketat seperti pada masa Mao, tetapi tidak sebebas di Indonesia. Maka media yang di bawah negara juga kena getahnya. Seandainya negara tidak mengendalikan media, berita susu tercemar pasti sudah diketahui lebih awal dan tak menimbulkan korban yang mengerikan itu.

Pada saat bersamaan juga terjadi kegagalan regulator di belahan bumi lain, di AS. Krisis subprime mortgage sudah diketahui sejak Agustus 2007, beberapa bank sudah bangkrut sejak Januari 2008. Pertanyaan sama: mengapa Pemerintah Federal AS tidak berbuat apa-apa, menunggu sampai Lehman Brothers ambruk?

Media AS yang terkenal bebas mengapa terlambat mengangkat masalah ini? Tetapi yang menarik, solusinya juga sama, negara harus ambil tindakan. Selain menyiapkan dana talangan 700 miliar dollar AS, Pemerintah Federal juga berjanji akan menerapkan pengawasan yang lebih ketat pada bank-bank, terutama bank investasi.

”Self-regulating market”

Baik China maupun AS sebetulnya menghadapi persoalan yang mirip: terlalu percaya akan self-regulating market. Setelah lama dicengkeram negara, China pada dasarnya masih pada tahap bersukaria merayakan kebebasannya. Salah satu eskpresinya adalah self-regulating market. Prinsip ini dipeluk dan dipuja oleh pelaku pasar maupun pemerintah. Pasar yang mampu mengatur dirinya akan menjalankan tugasnya dalam hal produksi, distribusi, maupun konsumsi. Negara tidak perlu campur tangan.

Diyakini, pasar dapat menimbulkan kontrol sendiri atas produknya. Albert Hirschman, misalnya, mengatakan ada tiga sikap yang dapat diambil konsumen, exit, voice, loyalty (1971) Para pengusaha amat waspada jika ada banyak konsumennya exit. Begitu pula setiap voice (kritik atau surat pembaca) akan diperhatikan. Tetapi, masalahnya ada pada loyalty, mayoritas konsumen yang menunggu sampai terjadi perbaikan. Mereka menonjolkan keutamaan sabar untuk menghadapi kemerosotan sebuah produk kesayangannya. Sebagian besar konsumen yang bersikap seperti inilah yang membuat informasi tidak mengalir lancar. Mereka tetap membeli barang itu dan tidak ikut mengkritik.

Begitu terjadi musibah, segalanya sudah terlambat. Beruntunglah orang sudah exit sejak awal, mungkin juga mereka yang voice. Informasi tidak lancar karena berbagai kendala. Salah satunya adalah kebudayaan. Biro konsultasi Access Asia di kota Shanghai mengatakan, perusahaan Selandia Baru, Fonterra, yang menjadi rekanan Pabrik Sanlu, sebetulnya sudah tahu cukup awal, tetapi mereka tidak mau membukanya kepada masyarakat. Mereka khawatir membuat ”rekan lokalnya kehilangan muka”.

Kebudayaan ”takut kehilangan muka” telah menimbulkan distorsi dalam hal informasi dan dalam hal ini mekanisme pasar tidak mungkin mengubah karakter kebudayaan bangsa China.

Pemerintah China memang mempunyai seperangkat besar regulasi, tetapi saat ini Pemerintah China sedang bersemangat untuk menerapkan small government (yang amat mungkin dipelajari dari AS). Pasar diberi kebebasan luas untuk beroperasi. Persis sama dengan yang terjadi di AS terkait financial market. Setiap campur tangan Pemerintah, juga demi alasan kesehatan, selalu dicurigai sebagai ”intervensi negara” yang harus ditolak. Akibatnya pejabat negara lebih suka membiarkan pasar bergerak sesuka hatinya.

Belajar dari China lagi

Jelas, pasar tidak mungkin berjalan tanpa regulasi dari negara. Benar kata seorang profesor dari Institut Teknologi Beijing, Hu Xingdou, ”Selama ini tidak ada usaha untuk meletakkan ekonomi pasar pada sebuah landasan moral.”

Prof Hu meminta pemerintah untuk mengubah cara berpikir dan mengubah sistem (ekonomi) daripada menghukumi orang-orang. Pemerintah bahkan harus ikut campur tangan guna meyakinkan masyarakat maupun pelaku pasar untuk berpegang pada moral, tidak hanya mengejar keuntungan.

I Wibowo Ketua Centre for Chinese Studies FIB Universitas Indonesia

Source : Kompas, October 10, 2008

Selamat datang!

Anda telah memasuki blog "Belajar dari Cina" tempat kita akan berbagi data maupun teori tentang Cina.