Rabu, 27 Februari 2008

Wawancara dengan KOMPAS

Kompas, 10 Februari 2008

Oleh Ilham Khoiri

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.02.10.03352888&channel=2&mn=21&idx=21

Masyarakat keturunan China yang berdatangan ke Nusantara sejak
berabad-abad silam adalah bagian penting dari sejarah bangsa
Indonesia. Namun, sejak zaman kolonial, kelompok etnis ini kerap
menjadi sasaran prasangka, diskriminasi, bahkan kekerasan. Baru lima
tahun terakhir bertiup angin segar kebebasan.

Menurut Dr I Wibowo Wibisono (56), Kepala Centre for Chinese Studies,
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, proses
pembebasan terjadi akibat desakan Reformasi, dan terutama dipicu
Tragedi Mei 1998. Proses itu, secara kebetulan, bersamaan dengan
kebangkitan Republik Rakyat China (RRC) sebagai kekuatan ekonomi di
kawasan Asia dan dunia.

Ditemui di rumahnya di kawasan Kramat, Jakarta Pusat, Selasa (29/1)
siang, Romo Wibowo " begitu ia disapa" terlihat santai. Ia menyebut
kondisi kelompok masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia yang
membaik ini sebagai proses "liberalisasi."

Kondisi sekarang relatif lebih bebas setelah sejumlah peraturan yang
mengekang mereka tidak diberlakukan lagi, seperti Instruksi Presiden
(Inpres) Nomor 14 Tahun 1967, yang melarang pertunjukan seni budaya
China di depan umum. Istilah pribumi dan nonpribumi sudah dihilangkan.
Tahun Baru Imlek ditetapkan sebagai salah satu hari raya dan hari
libur nasional dan dapat dirayakan secara terbuka dengan pentas
seni-budaya China yang meriah, seperti 7 Februari lalu.

Lima tahun terakhir tumbuh berbagai organisasi orang Tionghoa. Ada
yang berbasis klan, asosiasi atas dasar provinsi asal, serta muncul
banyak yayasan sosial. Bahasa Mandarin terbuka dipelajari siapa pun,
sejajar dengan bahasa asing lain, seperti bahasa Inggris.

Reformasi dan Tragedi Mei

Reformasi menyusul Tragedi Mei 1998 adalah sejarah besar yang mengubah
konstelasi politik di negeri ini. Setelah Soeharto lengser, media
massa langsung menyoroti Tragedi Mei yang sebagian korbannya adalah
masyarakat keturunan Tionghoa. Masyarakat langsung turut bersimpati.
"Itu seperti blessing in disguise," ujar Wibowo.

Peristiwa pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa memicu
kesadaran tentang kekerasan terhadap perempuan dan kemudian menguakkan
berbagai fakta mengenai peristiwa serupa di Tanah Air, khususnya di
berbagai wilayah yang ditetapkan sebagai daerah operasi militer.

Peristiwa pemerkosaan yang terjadi bersamaan dengan kerusuhan Mei itu
sangat mudah dikaitkan isu rasisme meski banyak pihak menolaknya.
Namun, apa pun latar belakangnya, peristiwa itu bergema ke seluruh
dunia, di New York, Los Angeles, London, dan Hongkong, dan menyebabkan
Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Masalah Kekerasan
terhadap Perempuan, Radikha Coomaraswamy, berangkat ke Indonesia untuk
melakukan investigasi dan melaporkan peristiwa itu dalam sidang PBB.

"Seandainya Tragedi Mei tidak terjadi, mungkin proses liberalisasi itu
akan lambat sekali," Wibowo menambahkan, "Persoalan China akan dapat
prioritas belakangan. Yang diprioritaskan tentu perkara politik,
konflik agama, dan Timor Timur."

Setelah itu?

Presiden Habibie dipaksa mengakui dan meminta maaf atas Tragedi Mei
1998. Presiden Gus Dur melakukan inisiatif luar biasa. Begitu
terpilih, dia pergi ke China, lalu mencabut Inpres tahun 1967 yang
mengekang ekspresi masyarakat China. Presiden Megawati menetapkan
Imlek sebagai hari raya nasional.

Bagaimana masyarakat Tionghoa menyikapi Tragedi Mei?

Kalau menggunakan teori ahli politik ekonomi AS, Albert Hirschman, ada
tiga respons yang paling dimungkinkan, yaitu exit, voice, loyalty.
Kelompok pertama, exit, pergi keluar, ke Singapura, Hongkong, atau
Thailand.

Kelompok kedua adalah kumpulan voice. Mereka melakukan protes, antara
lain dengan menulis di koran, internet, atau bicara di radio dan
televisi. Sebagian mendirikan organisasi dan lewat institusi itu
menuntut keadilan. Ada yang mendirikan Partai Tionghoa Reformasi,
organisasi nonpemerintah, dan organisasi massa seperti Perhimpunan
Indonesia-Tionghoa (Inti).

Kelompok besar lain, yaitu loyalty, diam, menunggu, apakah ada
perubahan atau tidak. Kalau lebih buruk, mungkin akan lari juga. Kalau
tidak, ya ditahan-tahan. Mereka ini mencakup kelompok pengusaha,
pedagang, dan orang biasa.

Jumlah orang Tionghoa di Indonesia lebih kurang tiga juta. Kelompok
yang exit sekitar 10.000 orang, voice sekitar satu juta. Dua juta
lainnya termasuk loyalty. Selama ini yang menonjol kelompok voicesaja,
seperti Edi Lembong atau Ester Yusuf.

"The rise of China"

Liberalisasi masyarakat Tionghoa di Indonesia, menurut Wibowo, sedikit
banyak juga dipengaruhi faktor internasional, yaitu kebangkitan
ekonomi-politik RRC pada akhir tahun 1990-an, the rise of China. China
punya peran dan pengaruh politik yang semakin besar di Asia dan dunia.

Olimpiade akan diselenggarakan di Beijing tahun ini. China menawarkan
Free Trade Agreement (FTA) dengan ASEAN tahun 2006. Jika ingin bergaul
di dunia internasional, terutama di bidang perdagangan, Indonesia
harus punya hubungan baik dengan China, yang sama-sama menjadi anggota
World Trade Organization (WTO).

Apakah orang Tionghoa di sini bisa dikaitkan dengan RRC?

Pemerintah China mengatakan, orang-orang berdarah China yang bukan
warga negara RRC disebut Huaren. Sementara orang China yang jadi warga
negara China disebut Hoakiao.

Pemerintah China tidak mengurusi warga keturunan China di negara lain,
orang Huaren itu, karena memang dianggap bukan warga negara RRC. Harap
dicatat, saat Tragedi Mei 1998, Kedutaan Besar China di Jakarta tidak
mengambil komentar apa pun. Pemerintah China menganut kebijakan
non-intervensi.

Diskriminasi

Liberalisasi kelompok etnis Tionghoa menunjukkan terjadinya perubahan
penting jika dihadapkan dengan diskriminasi pada masa Orde Baru.

Politik asimilasi yang diterapkan Pemerintah Orde Baru menimbulkan
trauma bagi sebagian orang Tionghoa. Banyak yang terpaksa mengganti
nama dengan nama "Indonesia." Mereka tak boleh tinggal di tingkat
kabupaten ke bawah sehingga terpaksa menetap di kota-kota saja.

Banyak lapangan pekerjaan ditutup untuk kelompok China, seperti tak
boleh jadi pegawai negeri, jadi tentara, atau menteri. Mereka akhirnya
mengembangkan perdagangan, dan banyak yang menjadi kapitalis. Padahal,
dalam tradisi Konfusian, strata masyarakat China yang nomor satu
justru sarjana, petani, perajin, baru pedagang.

Diskriminasi Orde Baru terlacak dari pemakaian kata "Tjina" untuk
menyebut masyarakat keturunan China. Wibowo mengungkapkan dokumen
tertulis hasil kesimpulan Seminar Pertama Angkatan Darat Republik
Indonesia di Bandung, bulan Agustus tahun 1966.

Catatan itu menyatakan, "...untuk menghilangkan rasa inferior terhadap
bangsa kita sendiri serta menghilangkan rasa superior pada bangsa
Tjina, maka kami memutuskan untuk kembali memakai penjebutan Republik
Rakyat Tjina dan warganegara Tjina dari Republik Rakyat Tiongkok dan
warga negaranya..."

Seberapa kadar diskriminasi itu sekarang?

Harus pakai skala. Kalau skalanya 1-10, skala diskriminasi pada Orde
Baru mencapai 10. Sekarang mungkin tinggal empat. Tetapi, masih ada
ganjalan, misalnya soal SBKRI (Surat Keterangan Bukti Kewarganegaraan
Republik Indonesia) yang sudah dicabut, tetapi dalam praktiknya masih
berlaku di mana-mana.

Diskriminasi pada akar rumput masih terjadi. Itu tak terelakkan. Yang
penting, state-nya tak lagi diskriminatif, tidak mendukung rasisme.
Bahwa di dalam masyarakat masih terjadi diskriminasi, ya memang butuh
pencerahan lama. Namun, diskriminasi juga terjadi antar-anggota
masyarakat dari etnis yang sama, termasuk etnis Tionghoa, atas dasar
kelas sosial karena faktanya masyarakat Tionghoa itu tidak tunggal.

Di AS pun sampai sekarang kulit hitam masih diperlakukan
diskriminatif. Juga di Eropa. Bagaimanapun, kodrat manusia itu rasis.
Butuh pencerahan dan pendidikan agar tak rasis.

Apakah proses integrasi di sini sudah maksimal?

Sebagai perbandingan, sekarang kelompok etnis China di Malaysia tidak
mau memakai Bahasa Melayu pada etnis Melayu. Kebijakan politik
pemerintah di sana adalah segregasi. Di sini integrasi dalam bahasa
sudah terjadi. Semua orang, termasuk orang Tionghoa, sama-sama
menggunakan bahasa setempat, mau bahasa Jawa, Betawi, Surabayan,
Semarangan, apa saja.

Dalam perkawinan memang belum terlalu lebur. Di Amerika, yang
kesadaran akan kesetaraan sudah begitu tinggi, orang kulit hitam tetap
kawin dengan kulit hitam, orang kulit putih dengan kulit putih.
Mungkin hanya 10-20 persen orang hitam yang mau dengan orang putih.
Itu pun biasanya yang laki-laki kulit hitam, yang perempuan putih. Di
Eropa juga sama.

Apa yang mengkhawatirkan dari proses liberalisasi?

Kalau orang Tionghoa menjadi eksklusif lagi, itu akan berbahaya karena
menimbulkan sekat-sekat. Tetapi, kemungkinan itu kecil. (Jimmy S
Harianto/ Maria Hartiningsih)

Jumat, 08 Februari 2008

CINA SEBAGAI KIBLAT KEBUDAYAAN DI ASIA TIMUR


I. Wibowo

Centre for Chinese Studies, FIB, Unversitas Indonesia

Sebetulnya, dua kali Cina “mengalami kebangkitan” dan pada kedua kesempatan itu Cina menimbulkan kegoncangan. Yang pertama pada tahun 1949, ketika Cina di bawah pimpinan Mao Zedong berhasil memperoleh kemerdekaannya dan mengumumkan diri sebagai negara komunis. Seluruh dunia, termasuk Asia, goncang dengan munculnya Cina yang kuat. Amerika Serikat perlu mengerahkan kekuatan bersenjatanya untuk mengepung Cina dan menjalankan containment policy. Dari tahun 1950-an hingga tahun 1990-an dunia harus hidup dalam suasana ketakutan akan Cina sebagai negara komunis yang ganas.

Pada tahun 1990-an, seiring dengan berakhirnya Perang Dingin, dan kemajuan pesat perekonomian Cina, muncul juga kegoncangan di seluruh dunia. Kali ini bukan karena Cina mengancam dengan ideologi komunismenya, melainkan dengan kekuatan ekonominya yang dahsyat. Seluruh dunia goncang karena banjir ekspor produk dari Cina yang murah, yang menghancurkan industri domestik banyak negara. Amerika Serikat kali ini tidak mampu berbuat banyak kecuali berteriak-teriak keras, mengritik Cina. Begitu juga banyak negara lain.

Kebangkitan Cina yang kedua ini berbeda dari kebangkitan yang pertama karena Cina tidak hanya bangkit di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang-bidang lain. Pada saat ini, di samping produk ekspornya yang murah, Cina juga dikenal lewat prestasi olah-raganya yang mencapai tingkat dunia. Yao Ming, dan disusul oleh Yi Jianlian, telah berhasil menembus klub elit bola basket Amerika Serikat, NBA. Hanya di bidang sepak bola Cina belum bisa bicara banyak. Film-film Cina dihargai di festival-festival internasional, bahkan memenangkan berbagai hadiah yang amat prestisius. Begitu pula banyak pemain musik (a.l. Liu Siqing, biola, Lang Lang, piano) yang mendapat sambutan meriah di aneka gedung kesenian di seluruh dunia. Pelukis-pelukis Cina (a.l. Fang Lijun) juga telah menghiasi banyak pameran di galeri-galeri terkenal di dunia dan diburu oleh para kolektor lukisan. Lewat karyanya Gunung Sukma (灵山), pengarang Gao Xingjian, memenangkan hadiah Nobel Kesusasteraan 2000. Pada tahun 2003 Cina berhasil melontarkan satelit yang membawa manusia yang mengorbit di luar planet bumi, negara ketiga di dunia yang bisa melakukan hal ini (sesudah Rusia dan Amerika Serikat).

Catatan singkat di atas disampaikan untuk sekedar menggambarkan kebangkitan Cina yang lebih luas. Semakin Cina mampu mengembangkan kebudayaannya, semakin besar pula power yang dimiliki. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Joseph Nye yang membuat analisis kekuatan yang dimiliki oleh Amerika Serikat. Negara ini menjadi superpower tidak hanya karena kekuatan kerasnya (hard power), tetapi juga kekuatan lunaknya (soft power). Apa yang terjadi di Asia Timur di masa depan tidak dapat dilepaskan dari kebangkitan Cina dalam hal soft power ini. Kalau Cina terus menanjak seperti sekarang, di segala bidang, dapat dibayangkan bahwa Cina akan menjadi kekuatan yang luar-biasa. Hal ini yang harus diperhitungkan sejak sekarang.

Dalam makalah ini akan diperlihatkan bagaimana Cina telah mengembangkan faktor kebudayaan yang dipakainya untuk mengembangkan soft power. Sesudah itu akan dibuat beberapa assessment dan akan dilanjutkan dengan memperhitungkan implikasi yang muncul dari situ.

MENGEMBANGKAN KEBUDAYAAN

Cina saat ini dengan sadar mengembangkan kebudayaan (culture) dalam rangka usahanya untuk menyebarkannya ke seluruh dunia. Menurut Direktur Informasi, Zhao Qizheng (2006), Cina saat ini mengalami “defisit kultural” yang serius, artinya Cina tidak mempunyai cukup kekuatan di pasar kebudayaan dunia. Harus segera dilakukan usaha untuk membalikkan situasi ini, katanya. “Cina tidak akan memnjadi kekuatan kebudayaan sampai Cina menguasai pangsa pasar kebudayaan di pasar kebudayaan dunia. Hanya jika Cina mampu menjadi adidaya kultural, maka Aina akan menjadi sebuah kekuatan adidaya di dunia.” (Xu, 2007). Hal yang serupa dikatakan oleh Liu Changle (2005), seorang direktur eksekutif sebuah stasiun TV. Dia melihat meskipun penduduk Cina merupakan 20% penduduk dunia, tetapi 80% media dunia dikuasai oleh media berbahasa Inggris. “Media non-Barat, termasuk media Cina, tersingkir dari arus utama dunia, dan kami ada di posisi yang lemah.” (Liu, 2005).

Kesadaran ini segera mendorong Pemerintah Cina untuk menyusun sebuah rencana strategis pengembangn kebudayaan untuk mendorong ekspor kebudayaan Cina dan memajukan kebudayaan Cina di luar-negeri. (Xinhua News Network, 2006). Rencana ini didasarkan pertimbangan bahwa kebudayaan memainkan peran menentukan dalam pertarungan internasional, terutama untuk mengukur kekuatan kompetitif sebuah negara secara komprehensif. “Kekuatan kebudayaan makin menjadi tolok ukur untuk mengukur kekuatan nasional secara menyeluruh. Di panggung internasional, Cina tidak hanya memerlukan kekuatan di bidang ekonomi, sains, teknologi, dan pertahanan, tetapi juga kekuatan kebudayaan yang tangguh di gelanggang persaingan internasional.” (Xinhua News Network, 2006). Ditekankan bahwa Cina harus secara nyata meningkatkan saluran-saluran untuk terjadinya tukar-menukar kebudayaan, menyebarluaskan media berbahasa Cina di luar negeri, serta menaikkan daya saing serta dampak dari produk-produk kebudayaan Cina.

Dalam kesempatan sebuah konferensi para seniman dan sastrawan pada bulan November 2006, Hu Jintao, Kepala Negara dan sekaligus juga Sekretaris Jendral Partai Komunis Cina, membuat sebuah pernyataan yang tajam: “Pokok paling penting untuk dibahas adalah bagaimana mendefinisikan arah yang benar bagi perkembangan kebudayaan negara kita, bagaimana menciptakan sebuah kebudayaan nasional yang baru dan megah, bagaimana meningkatkan daya saing internasional dari kebudayaan negara kita, dan bagaimana memperbaiki kekuatan lunak nasional” Pandangan ini sekali lagi dikemukakan dalam kesempatan Konggres Partai Komunis Cina ke-17, Oktober 2007.

Data-data yang berhasil dikumpulkan menunjukkan betapa Cina telah benar-benar melaksanakan rencananya itu. Data dari UNESCO, misalnya, memperlihatkan produk kebudayaan Cina telah berkembang cepat dalam kurun waktu sepuluh tahun. Pada tahun 1994 Cina hanya menguasai pangsa pasar 8,3% dari produk kebudayaan Amerika Serikat, dan pada 2003 angkat itu telah meningkat menjadi 30,8%. Dari data itu juga nampak bahwa produk kultural Cina menduduki peringkat-peringkat tinggi. Cina adalah nomor satu sebagai eksportir media audi-visual, nomor 2 dalam kesenian visual, nomor 7 dalam ekspor buku dan barang cetakan lainya. Cina mengekspor lebih banyak daripada mengekspor, sehingga Cina menjadi negara peringkat atas yang neraca perdagangannya positif di bidang produk kultural. Data UNESCO itu memang memperlihatkan Cina termasuk eksportir besar dalam hal perdagangan barang kebudayaan.

Produk kebudayaan yang menarik untuk disimak adalah televisi. CCTV (China Central Television) dapat dikatakan memiliki pemirsa paling besar di dunia. Ia merupakan stasiun TV yang mempunyai jaringan paling luas dan ditonton oleh 95,9% penduduk Cina. Di tingkat internasional CCTV dipancarkan melalui satelit selama 24 jam dan 7 hari per minggu, dan dapat disaksikan di lebih 100 negara di dunia, dengan pemirsa sebanyak 65 juta orang pada akhir tahun 2006. CCTV 4 yang didirikan pada tahun 1992 merupakan saluran internasional pertama, dan sasaran utamanya adalah orang-orang Cina diperantauan dan mereka yang paham bahasa Cina. Bahasa yang dipakai adalah Mandarin dan Cantonese, diselingi dengan bahasa Inggris. Konon penontonnya berjumlah 15 juta di seluruh dunia. CCTV 9 merupakan saluran internasional berbahasa Inggris yang mulai pada September 2000. Sasaran pendengarnya adalah mereka yang tidak bisa berbahasa Mandarin. Tercatat 50 juta pelanggan di seluruh dunia. Pada tahun 2004 CCTV memulai siaran dalam bahasa Prancis dan Spanyol, keduanya berhasil merebut pemirsa sejumlah 2 juta orang. (China Radio and TV Yearbook, 2006). Meskipun sangat mahal mengoperasikan siaran lewat satelit selama 24 jam, Cina tidak memungut bayaran untuk siaran-siarannya.

Di samping itu, para pemirsa internasional juga menapatkan akses ke CCTV dan juga program TV lokal Cina (stasiun TV Shanghai, stasiun TV Hunan, stasiun TV Yunnan, dsb. ), lewat layanan domestik mereka masing-masing. Hal ini bisa terjadi lewat penerima TV satelit atau lewat jaringan TV satelit, ataupun perusahaan TV kabel. Di kota-kota besar di dunia, seperti Washington, DC, New York City, Los Angeles, San Francisco (AS), Sydney (Australia), London (Inggris), tempat tinggal orang Cina imigran yang besar, CCTV dapat diperoleh lewat stasiun TV lokal. Raksasa media di Barat berebut pangsa pasar di Cina. Hal ini dimanfaatkan oleh Cina dengan menjalin kerja sama dengan Time Warner, News Group (AS), Sky TV (Inggris) dan sebagai tukarnya menyediakan TV dalam bahasa Cina ke dalam jaringan mereka. Meski demikian, Pemerintah Cina tetap menerapkan kendali ketat dan sensor atas media Barat yang masuk ke pasar kebudayaan di Cina.

Bidang pendidikan pada umumnya dipakai sebagai wahana penyebaran nilai-nilai. Negara-negara Barat menyebarkan nilai-nilai modern lewat beasiswa untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi mereka. Sejak seratus tahun ratusan ribu mahasiswa dari seluruh dunia datang ke Eropa dan Amerika Serikat untuk menuntut ilmu di sana. Cina pernah mengalami masa seperti ini pada abad ketujuh ketika banyak mahasiswa, terutama dari Korea dan Jepang, datang ke kota Zhang’an untuk mempelajari kebudayaan Cina. Saat ini Cina juga didatangi lagi oleh mahasiswa-mahasiswa dari seluruh penjuru dunia. Empat universitas yang selalu menjadi tujuan mahasiswa adalah Universitas Beijing, Universitas Tsinghua (keduanya di Beijing), Universitas Fudan dan Universitas Jiaotong Shanghai (keduanya di Shanghai).

Pemerintah Cina ikut mengambil inisiatif untuk menarik mahasiswa asing datang ke Cina. Mereka mengadakan berbagai seminar untuk menarik mahasiswa. Misalnya pada tahun 1999 diselenggarakan seminar di Jepang, Seminar Memperkenalkan Studi di Cina” (留学说明会) Seminar yang serupa diadakan di Korea pada tahun 2000. Sementara itu Pemerintah Cina juga menawarkan beasiswa kepada mahasiswa asing yang ingin belajar di Cina. Pada Desember 2006 , misalnya, Menteri Pendidikan menyediakan 11.000 beasiswa kepada mahasiswa asing yang ingin belajar pada tahun 2007. Pemerintah daerah, universitas daerah, juga perusahaan-perusahaan, menawarkan dukungan finansial kepada mahasiswa asing. Pada tahun 2006 tercatat 162.695 mahasiswa asing, kenaikan tiga kali lipat dibandingkan tahun 2000 yang Cuma mencatat 52.150 mahasiswa. (Education Yearbook of China, 2001-2006)

Sebuah usaha untuk menyebarkan kebudayaan Cina secara lebih aktif ditempuh oleh Pemerintah Cina dengan mendirikan sekolah bahasa Mandarin. Hal ini sudah dimulai pada tahun 2002. Pada tahun 2004 Pemerintah Cina memperkenalkan sebuah rencana yang ambisius, yaitu mendirikan 500 Institut Konfusius (孔子学院) di seluruh dunia pada tahun 2010. Sampai Mei 2007, jumlah Institut Konfusius telah mencapai 155 dan tersebar di 53 negara di seluruh dunia. Ini berarti satu Institut Konfusius setiap empat hari! Institut Konfusius didanai oleh negara dengan tujuan untuk mempromosikan bahasa Mandarin karena lewat bahasa diharapkan banyak orang di seluruh dunia tidak hanya belajar bahasa tetapi juga adat-kebiasaan serta alam pikiran Cina. Di Indonesia kini sudah ditandatangani empat Institut Konfusius di Pulau Jawa.

Yang kini semakin disadari adalah menyebarnya “model pembangunan” yang ditempuh Cina. Seiring dengan kemajuan ekonomi Cina yang spektakuler, orang juga memperhatikan model pembangunan yang sedang ditempuh oleh Cina. Bagaimana mungkin Cina bisa maju padahal Cina tidak menerapkan prinsip pasar bebas secara penuh, dan sekaligus juga tidak menerapkan demokrasi? Pertanyaan ini semakin bergema kuat, dan menjadi tantangan serius bagi model pembangunan yang dipromosikan oleh negara-negara Barat. Kapitalisme atau pasar bebas ternyata tidak usah diiringi dengan demokrasi, bahkan kombinasi setengah pasar bebas dengan setengah otoriter bisa menghasilkan “keajiban ekonomi.” Seorang peneliti di London, Joshua Cooper Ramo, memperkenalkan istilah “Beijing Consensus” untuk dipakai menjelaskan rahasia kemajuan pembangunan yang terjadi pada Cina saat ini.

Pemerintah Cina sendiri tidak mau menanggapi munculnya “Beijing Consensus,” bahkan agak menjauhkan diri. Meski demikian, “Beijing Consensus” telah terlanjur menjadi bahan diskusi dan perdebatan di berbagai kalangan intelektual. Negara-negara di Afrika dan Amerika Latin dengan antusias menyambut model pembangunan ini. (Zhang, 2006) Mereka diyakinkan bahwa untuk menjalankan pembangunan tidak perlu mengikuti “Washington Consensus,” sebuah istilah yang menggambarkan model pembangunan yang didasarkan atas tiga pilar, yaitu privatisasi, deregulasi, dan perdagangan bebas. Selama ini mereka menyaksikan betapa besar biaya yang harus dibayar ketika menerapkan “Washington Consensus.” Baik di Afrika maupun di Amerika Latin, ekonomi mereka semakin terpuruk setelah menerapkan tiga pilar itu. “Beijing Consensus” dipandang sebagai sebuah alternatif yang nyata, bahkan dapat dipandang sebagai sebuah cara keluar dari cengkeraman negara-negara kaya.

Dengan ini Cina kini telah menjadi sebuah “kiblat” bagi negara-negara sedang berkembang, bahkan juga negara-negara maju. Di Asia Timur (termasuk Asia Tenggara) posisi Cina sebagai kiblat juga makin dirasakan. Dalam sebuah jajak-pendapat yang diadakan oleh Chicago Council on Global Affairs yang bekerja sama dengan Lowy Institute, orang Korea Selatan ditanya mengenai perasaan mereka terhadap Cina. Untuk itu dipakai skala termometer untuk mengukur panas yaitu dari 0-100. Orang Korea ternyata memberikan angka 57 (orang Australia memberi angka 61 untuk pertanyaan yang sama). Kalau mengukur dengan jumlah mahasiswa yang belajar di Cina, statistik menunjukkan pada tahun 2006 tercatat 74,33 persen mahasiswa asing di Cina berasal dari Asia, dan di antaranya 50 persen berasal dari Korea Selatan. (Education Yearbook of China, 2007) Sementara itu Cina saat ini juga menjadi sumber bantuan keuangan bagi banyak negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dengan ini negara-negara penerima bantuan terikat dengan rasa “hutang budi,” yang besar. Pepatah Indonesia mengatakan: Hutang budi dibawa sampai mati!

Pada akhirnya catatan tentang orang keturunan etnis Cina (sebutan resmi “huaren” 华人). Terutama di Asia Tenggara, tetapi juga di Asia Timur (Taiwan, Jepang) orang keturunan etnis Cina merupakan komunitas yang besar. Dalam uraian di atas sebenarnya perlu ditanyakan apakah produk-produk kebudayaan tersebut dikonsumsi oleh orang keturunan etnis Cina. Pemerintah Cina tentu tidak berharap bahwa produk kebudayaannya hanya dikonsumsi oleh keturunan etnis Cina. Meski demikian, kalau memang jumlah mereka cukup besar, tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka menjadi konsumen terbesar dari produk kebudayaan dari Daratan Cina. Masih perlu penelitian yang teliti dan mendalam untuk hal ini. Sambil menunggu hasil penelitian tersebut, sudah dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa kelompok ini – dengan atau tanpa produk kebudayaan dari Cina – akan berperan penting dalam hubungan dengan Cina. Kedekatan kebudayaan (cultural affinity), walaupun bukan jaminan pasti, tetap menjadi faktor penting dalam membangun hubungan yang dekat dengan pihak di Daratan Cina.

Indonesia yang mempunyai sejarah kelam di bidang hubungan dengan keturunan etnis Cina ini, perlu memikirkan dalam-dalam mengenai hal ini. Baru sepuluh tahun yang lalu Indonesia mengalami tragedi besar ketika harta-milik orang keturunan etnis Cina dijarah dan dibakar. Sementara ini telah dicatat banyak kemajuan besar, baik di tingkat atas maupun di tingkat bawah. Kalau kecenderungan ini bisa dipertahankan, bahkan dikembangkan, Indonesia sebenarnya mempunyai “asset” yang luar biasa untuk mengadakan hubungan dengan Cina. Cultural affinity yang mereka miliki dapat dimanfaatkan sebaik mungkin untuk membinan hubungan dengan Cina, baik pemimpin politik, pelaku bisnis, maupun civil society pada umumnya.

BIBLIOGRAFI

Liu, Changle.

2005. “Have Chinese Media’s Voices Heard in the World.” Speech at the Advanced Forum of the Chinese Media Development. Di akses dari

http://academic.mediachina.net/academic_zjlt_lw_view.jsp?id=4528

Nye, Joseph

2004 Soft Power. The Means to Success in World Politics (New York: Public Affairs)

Wibowo, I.

2007 “China’s Soft Power and the Neo-Liberal Agenda in ASEAN,”makalah untuk seminar, “The Rise of China and Its Soft Power,” diselenggarakan oleh S.Rajaratnam School of Internasional Studies, Nanyang Technological University, Singapore, 18-19 October 2007.

Xu, Suqin.

2007 “Rejuvenation of Chinese Culture and Enhance Our Soft Power,” dlm. Jinyang Netowork, Agustus 22, 2007, diakses dari http://www.ycwb.com/myjjb/2007-08/22/content_1592212.htm

Zhao, Qizheng.

2006. "How China Becomes a Major World Power: Four Major Elements." Wenhui Daily (March 15, 2006) diakses dari
http://www.zsr.cc/ExpertHome/ExpertAttention/200603/12959.html

Zhang, Weiwei,

2006 “The Allure of the Chinese Model,” International Herald Tribune (November 1, 2006)

Kamis, 07 Februari 2008

INVESTASI CHINA

Kompas, 11 September, 2005, hlm. 6

I. Wibowo

Money can buy everything,” kata sebuah pepatah. Tidak demikian yang terjadi pada perusahaan minyak China, CNOOC. Mereka telah menyediakan uang sebesar US$ 18,5 milyar, jauh lebih besar daripada saingan mereka, tapi perusahaan itu pada 2 Agustus 2005 terpaksa mengumumkan pengunduran diri. Gara-garanya Konggres Amerika memberi tahu kepada Presiden George Walter Bush untuk mewaspadai pembelian ini karena pembelian ini dapat mengancam national energy security. Sebelumnya di media Amerika ramai dipergunjingkan soal ancaman ini.

Peristiwa ini tentu saja mengagetkan banyak orang. Bukankah CNOOC mengikuti prosedur jual-beli yang ada? Sesuai dengan prinsip pasar bebas, mestinya tidak ada masalah sejauh transaksi itu sungguh “rasional.” Namun sekali lagi, muncul faktor “ancaman” terhadap keamanan bangsa. Dengan kata lain, nasionalisme mengalahkan bisnis, politik mengatasi ekonomi. Siapa bilang nasionalisme sudah mati?

Konggres Amerika melihat dua hal. Pertama, CNOOC memang sebuah perusahaan asing, yang berasal dari China. UNOCAL memang bukan perusahaan minyak terbesar di Amerika, tetapi dikuasainya UNOCAL oleh perusahaan asing dapat menimbulkan ancaman pada keamanan enerji mereka. Kedua, CNOOC dalam pandangan anggota Konggres bukan perusahaan biasa, bukan perusahaan swasta. Perusahaan ini adalah perusahaan milik negara. Mereka tahu betul bahwa campur tangan negara sangat besar di situ. Tapi “negara” yang dimaksud di sini adalah negara yang dikuasai total oleh Partai Komunis China, sebuah partai tunggal yang tidak demokratis. Yang terakhir inilah merupakan isu paling mencengkam di kalangan anggota Konggres.

***

Di Cina dibedakan antara “perusahaan milik negara” (guoyou qiye), “perusahaan milik kolektif” (jiti qiye), “perusahaan milik individu” (geti qiye) dan “kategori ekonomi lainnya” (qita jingji leixing qiye). Perusahaan milik negara bisa berada di tingkat pusat, provinsi, kabupaten atau kecamatan. Pada umumnya tersebar di wilayah perkotaan. Tidak ada angka statistik yang akurat tentang berapa jumlah perusahaan milik negara, tapi diperkirakan berjumlah di sekitar 100.000. Ada sekitar 2000-3000 perusahaan milik negara yang ada di bawah pemerintah pusat, dan ini perusahaan milik negara yang sangat besar.

Di masa lampau PMN (seterusnya: PMN) memang seratus persen merupakan usaha milik negara, sesuai dengan prinsip-prinsip komunisme. Akibat diperkenalkannya sistem pasar, PMN mengalami goncangan besar karena dipaksa harus menghadapi kompetisi dari perusahaan swasta, baik swasta dalam-negeri maupun swasta luar-negeri. Beberapa PMN, terutama yang berukuran kecil dan menengah, mengalami kebangkrutan.

Reformasi PMN telah dimulai sejak tahun 1979. Pertama, manajemen PMN diubah dengan menerapkan “sistem tanggung-jawab.” Manajer memikul tanggung jawab, tapi sekaligus juga memiliki kebebasan yang tidak dimiliki oleh manajer di masa Mao dulu. Yang kedua, mereka dapat mencari modal di pasar modal. Tapi pada kenyataannya saham mayoritas tetap dikuasai oleh Pemerintah.

Manajer di PMN Cina bekerja seperti manajer-manajer lain di dunia. Bedanya, selain bertanggung jawab kepada rapat pemegang saham secara eksternal, secara internal ia juga bertanggung jawab kepada “orang dalam” (insiders). Dilaporkan meskipun dalam struktur kepengurusan terdapat Board of Directors dan juga Supervisory Board, mereka tidak efektif karena seorang manajer tidak bisa lepas dari berbagai macam kantor pemerintah dan organisasi Partai. (Jie Tang dan Anthony Ward, The Changing Face of Chinese Management, London: Routledge, 2003, hlm. 55)

Yang kedua, diperkenalkan strategi zhua da, fang xiao: yang besar dipertahankan, yang kecil dilepaskan. Peter Nolan mengamati bahwa Pemerintah China menetapkan 120 kelompok perusahaan untuk dijadikan “Tim Nasional”, yaitu perusahaan-perusahaan yang dianggap “mempunyai nilai strategis.” Perusahaan-perusahaan itu bergerak di berbagai sektor: listrik (8), batu bara (3), otomotif (6), elektronika (10), besi dan baja (8), mesin (14), kimia (7), material untuk konstruksi (5), transportasi (5), ruang angkasa (6), obat-obatan (5). Semua PMN ini mendapat berbagai macam fasilitas negara, termasuk mendapat proteksi dengan tarif impor yang tinggi. Fasilitas paling menentukan adalah kemudahan untuk mendapat kredit dari bank-bank (yang juga milik pemerintah).

***

Sikap hati-hati dari Konggres Amerika ini tentu saja menuai kritik. Bagaimana mungkin sebuah negara yang selalu mengkhotbahkan pasar bebas, malah melanggarnya sendiri. Namun mereka tetap bergeming. Pada saat ini dan seterusnya, Pemerintah Amerika akan terus memantau transaksi antara perusahaan China dengan perusahaan Amerika. Contoh terdekat adalah pembelian perusahaan Amerika “Maytag” oleh “Haier” perusahaan China. Proses berjalan sangat perlahan dan alot.

Suasana ini berbeda dengan suasana tahun 80-an ketika di Amerika juga terjadi kekhawatiran atas pembelian perusahaan, bahkan perusahaan yang dipandang sebagai American icon, oleh perusahaan Jepang. Alasan nasionalisme dipakai untuk mencegah perusahaan-perusahaan Jepang “menguasai” Amerika, sedang dalam hal perusahaan China, kecuali alasan nasionalisme, ada ketakutan lain yang bersifat politis. Di mata orang Amerika negara China lewat PMN mereka dapat menguasai negara dan bangsa mereka.

I. Wibowo adalah Ketua “Centre for Chinese Studies,” Jakarta.

BEIJING CONSENSUS: MENGAPA TIDAK?

“Kompas” 9 Oktober 2006, hlm. 7.

I. Wibowo

Ramai-ramai mengritik “Washington Consensus”, mengapa kita tidak saja memilih “Beijing Consensus”? Sebabnya jelas. “Washington Consensus” – sebagaimana dirumuskan oleh John Williamson – sebetulnya bukanlah konsep untuk pembangunan. Ia adalah konsep yang ditemukan oleh para bankir agar negara pengutang di Amerika Latin membayar utangnya tepat waktu. Cuma, herannya IMF maupun World Bank bersemangat memasarkan “Washington Consensus” ke seluruh dunia, seakan obat mujarab. Yang lebih mengherankan adalah bahwa konsep yang tidak dirancang untuk pembangunan, dipakai oleh IMF dan World Bank di mana-mana di seluruh dunia, termasuk Indonesia, sebagai resep pembangunan. Tentu saja kebodohan ini harus dibayar amat mahal.

Meraba-raba batu

Cina tidak pernah tergiur dengan “Washington Consensus.” Ia mencoba mencari jalan sendiri, menurut istilah Deng Xiaoping, “meraba-raba batu, menyeberangi sungai” (mozhe shitou, guo he). Cina memang tidak memberinya nama “Beijing Consensus.” Adalah Joshua Coper Ramo dari The Foreign Policy Centre, Inggris, yang menciptakan istilah itu. Nama itu baru muncul pada saat Ramo merumuskannya, pada tahun 2004. Sekali lagi, istilah ini tidak diciptakan oleh pemimpin Cina, melainkan oleh orang luar Cina yang mengagumi apa yang terjadi di Cina.

Bagaimana Cina bisa sampai kepada konsep itu, sulit dilacak karena Cina tidak mempunyai cetak biru pada awalnya. Di antara para pemimpin tertinggi waktu itu malah terjadi pertikaian, diiringi dengan gejolak sosial yang luar biasa. Masing-masing faksi menyatakan bahwa pendapatnya saja yang benar. Di dalam masyarakat muncul demonstrasi dan protes, yang kemudian meledak menjadi “Peristiwa Tian’anmen” pada tahun 1989. Pada saat itu masing-masing faksi saling tuding, dan setelah terjadi peristiwa berdarah itu pemimpin Cina bahkan pernah sampai pada kesimpulan untuk menghentikan reformasi.

Ketika Deng Xiaoping mendobrak dengan pidato-pidatonya selama perjalanannya di Cina selatan pada awal tahun 1992, dia sebenarnya juga tidak mempunyai rencana yang sudah jelas. Satu-satunya yang jelas adalah bahwa Cina harus mencapai taraf xiaokang (hidup pantas) yang diukur dengan angka USD 1000 per kapita pada tahun 2000. Jiang Zemin dan Zhu Rongji berusaha keras menerjemahkan garis besar ini menjadi kebijakan-kebijakan.

Memajukan warga negara

“Beijing Consensus” berbeda dari “Washington Consensus”: kalau yang disebut terakhir ini bertitik tolak dari kepentingan para bankir, maka yang pertama dari keprihatinan akan warganegara. Pemimpin Cina berusaha untuk memajukan warga negaranya yang masih ketinggalan dalam hal pembangunan. Hu Jintao melontarkan rumus: “tiga dekat” (san ge tiejin), dekat dengan realitas, dekat dengan rakyat dan dekat dengan kehidupan. Memang akan terjadi kegoncangan dalam proses mengejar ketinggalan ini, mungkin juga terjadi instabilitas. Tugas pemerintah adalah menahan goncangan ini dan tetap menjaga stabilitas. Termasuk di sini adalah stabilitas kekuasaan Partai Komunis Cina.

Ini tidak berarti bahwa tidak dibuka kemungkinan inisiatif dan kreativitas “dari bawah.” Pemimpin Cina telah mempelajari bagaimana partai tunggal gagal satu demi satu (KMT di Taiwan dan PRI di Mexico), dan tiba pada kesimpulan bahwa harus ada keseimbangan antara pembatasan-pembatasan dan inisiatif individu. Maka sistem pasar tidak dinafikan, tetapi kecenderungan sistem pasar yang mengarah kepada chaos harus dikendalikan secara cermat. Walaupun di Cina di banyak aspek nampak seperti negara kapitalis, tetapi masih menemukan “jejak-jejak” peran negara.

Hal ini berlaku juga bagaimana Cina menyambut globalisasi. Sudah sejak awal reformasinya Cina mengumumkan “keterbukaan” (kaifang), sebuah rumus yang mencerminkan keberanian Cina untuk memasuki globalisasi. Maka masuklah aktor-aktor global ke Cina, dari IMF dan World Bank, juga WTO, sampai semua MNC raksasa. Cina dilanda “Crazy English”, anak-anak sampai orang dewasa ingin mencapai skor 600 dalam TOEFL. Mode pakaian paling mutakhir dan arsitektur Barat di garda depan, semua mendapat sambutan hangat di Cina. Meski demikian, Cina tidak kehilangan kebudayaan dan peradaban Cina yang telah berumur ribuan tahun itu. “Washington Consensus” yang bertujuan menyeragamkan seluruh dunia dalam satu rumus, ditepis oleh Cina. Jangan terkejut kalau Cina menghasilkan rumus: sosialisme dengan ciri khas Cina (you zhongguo tese de shehuizhuyi). Atau yang lebih spektakuler: ekonomi pasar sosialis (shehuizhuyi shichang jingji).

Kombinasi baru

Dengan demikian kita dapatkan beberapa kombinasi yang belum pernah ada: pasar bebas memang, tapi masih ada intervensi negara, perdagangan bebas juga, tetapi masih ada negara, privatisasi perusahaan negara tentu saja, tapi mempertahankan beberapa yang besar, investor asing diundang, tapi jangan masuk terlalu dalam, globalisasi OK, tapi tidak total. Di bidang politik Partai Komunis Cina masih berdiri di atas semua, tapi memberi ruang bergerak bagi warga negara mendekati 100%. Dan sebagainya. Dalam “meraba-raba batu,” Cina menemukan jalannya ke seberang dengan hasil yang spektakuler.

Memang orang mencoba memaksakan “Beijing Consensus” dalam kerangka perdebatan klasik antara “kapitalisme” dan “sosialisme.” Atau, mau memasukkan dalam kerangka “Keynesianism” atau “Third Way.” Tapi orang segera menemukan bahwa usaha itu tidak mungkin dan harus mengakui “Beijing Consensus” adalah sesuatu yang sama sekali baru. Yang sudah kandas dengan kerangka lama, mengapa tidak menoleh ke “Beijing Consensus”?

I. Wibowo, Ketua “Centre for Chinese Studies,” FIB-Universitas Indonesia

China mengandalkan soft power

Kompas, 22 Oktober 2007

I. Wibowo

Konggres XVI Partai Komunis Cina sudah dibuka pada 15 Oktober 2007 dengan sebuah pidato panjang oleh Sekretaris Jendral Partai, Hu Jintao. Sungguh sebuah pidato yang panjang, yaitu dua setengah jam! Ia berbicara tentang situasi domestik maupun internasional. Seperti yang telah diramalkan orang jauh-jauh hari, Hu memang bicara tentang “masyarakat harmonis” (hexie shehui). Tema ini diluncurkan untuk pertama kali pada tahun 2002 dan terus dipakai di setiap kesempatan. Spanduk-spanduk di jalan, misalnya, pasti tidak melupakan kata “masyarkat yang harmonis.” Cina, dalam kerangka ini, berusaha untuk membangun masyarakat yang tidak hanya memperhatikan mereka yang kaya tetapi juga mereka yang kurang beruntung dan miskin.

Namun ada satu hal yang mengejutkan di bidang hubungan internasional, yaitu ketika Hu Jintao bicara tentang soft power atau kekuatan lunak. Biasanya, pembicaraan tentang hubungan internasional selalu dikaitkan dengan kekuatan keras atau hard power. Maka pembicaraan berkisar pada persenjataan dan jumlah tentara. Apakah sebuah negara sedang kuat atau sedang lemah diukur dengan indicator tersebut. Para pengamat yang berhaluan “realis” ini – demikian mereka biasa disebut – akan memperhatikan naik-turunnya anggaran belanja militer.

Soft power atau kekuatan lunak justru mengacu pada hal-hal yang sebaliknya. Konsep yang dilemparkan oleh Joseph Nye dari Universitas Harvard ini sebenarnya mau melihat sisi lain dari kekuatan Amerika Serikat. Negara ini memang memiliki senjata paling banyak dan paling canggih, namun kekuatan Amerika Serikat juga ada pada kekuatan lunaknya. Ini dibuktikan dengan betapa orang di seluruh dunia mengagumi sistem ekonomi maupun politik Amerika, juga produk-produk kebudayaannya. Nilai-nilai yang diperjuangkannya (kebebasan, demokrasi) memikat banyak orang. Nye berpendapat bahwa Amerika Serikat dapat menundukkan negara lain hanya dengan kekuatan lunak ini.

Rupa-rupanya hal ini pula yang ingin dikejar oleh China. Hu Jintao sudah beberapa kali pada beberapa kesempatan bicara tentang kekuatan lunak ini. Misalnya, dalam kesempatan sebuah konferensi para seniman dan sastrawan pada bulan November 2006, Hu membuat sebuah pernyataan yang tajam: “Pokok paling penting untuk dibahas adalah bagaimana mendefinisikan arah yang benar bagi perkembangan kebudayaan negara kita, bagaimana menciptakan sebuah kebudayaan nasional yang baru dan megah, bagaimana meningkatkan daya saing internasional dari kebudayaan negara kita, dan bagaimana memperbaiki kekuatan lunak nasional” Hu persis menyentuh inti dari kekuatan lunak, yaitu kebudayaan. Semakin sebuah kebudayaan negara memikat dan dikagumi orang, semakin besar kekuatan lunak negara tersebut.

Bagaimana perkembangan kekuatan lunak Cina di dunia saat ini? Dengan kebangkitan ekonominya yang sedemikian dahsyat, China sebenarnya telah menebarkan kekuatan lunaknya. Tidak ada negara yang tidak mengagumi China! Namun, di samping itu, kekuatan lunak China juga muncul dari semua prestasi di bidang kebudayaan, seperti film, musik, lukis, pahat, dsb. Nama-nama seperti Zhang Yimou, Chen Kaige (film), Lang Lang (piano), Fang Lijun (lukis) telah akrab di telinga para pengagum kebudayaan Cina. Di bidang olah raga begitu pula. Nama Lu Xiang menjulang sebagai satu-satunya orang non-Afrika yang bisa merebut medali emas Olimpiade dalam lari rintangan. Pada akhirnya, sejarah Cina yang sedemikian tua menjadi daya tarik yang tidak ada habisnya. Museum-museum di China selalu menjadi sasaran kunjungan setiap turis untuk mengagumi perkembangan kebudayaan China dari abad ke abad yang merentang sepanjang 5000 tahun.

Meski demikian Hu nampak masih belum puas. Pada saat ini sedang dilakukan kampanye besar-besaran untuk menyiarkan kebudayaan China, yaitu lewat “Institut Konfusius” (kongzi xueyuan). Sampai Mei 2007 telah didirikan 155 Konfusius Institut di 53 negara di lima benua. Menurut rencana, sampai tahun 2010 akan berdiri 500 Konfusius Institut di seluruh dunia. Dua bulan lalu di Indonesia juga sudah disetujui berdirinya empat Konfusius Institut di empat kota. Sama seperti yang dilakukan oleh Inggris, Prancis dan Jerman, China mendirikan Konfusius Institut ini untuk memperluas penutur bahasa Mandarin. Pemerintah China menyediakan dana amat besar untuk semua Konfusius Institut ini.

Kalau kemajuan di bidang kekuatan lunak ini terus meningkat, Cina memang dapat dikatakan telah melengkapi kekuatan keras yang dimilikinya. Kekuatan militer Cina saat ini sudah dapat dikatakan yang terbesar di Asia, dan China masih terus berusaha untuk meningkatkannya. Ini tidak berarti bahwa China telah mencapai tingkat kekuatan sebuah superpower. Yang menarik dari meningkatnya kekuatan lunak, kini China lebih mudah untuk berdiplomasi. Kekuatan keras memang sering dipandang sebagai perpanjangan dari diplomasi, tetapi kekuatan lunak ternyata merupakan kekuatan (power) yang tidak kalah pentingnya. China nampak telah belajar banyak.

Pidato Hu Jintao dalam Konggres Partai ke-17, dengan demikian, telah membuka dimensi baru dalam gerak kebangkitan China di Asia maupun di dunia pada umumnya. Amerika Serikat dikabarkan mulai risau dengan meningkatnya kekuatan lunak China ini. Negara-negara di Asia Timur, termasuk Asia Tenggara, kiranya sudah mulai terbiasa dengan soft power yang ditebarkan oleh China ini. Ketika Hu mengatakan hal itu, dia sebenarnya hanya menggarisbawahi apa yang sedang dan sudah terjadi.

I. Wibowo adalah Kepala Centre for Chinese Studies, FIB – Universitas Indonesia, dan dapat dihubungi pada i.wibowo@ui.edu

CHINA SEBAGAI BAGIAN KAJIAN AKADEMIS


I. Wibowo

Centre for Chinese Studies, FIB - Universitas Indonesia

Studi-studi tentang China saat ini didominasi oleh dua kelompok besar, wartawan dan ilmuwan. Namun yang selama 20 tahun terakhir ini sangat menonjol adalah laporan yang dibuat oleh wartawan dengan nuansa jurnalistik yang amat kental. Beberapa buku yang amat berpengaruh, misalnya China. Alive in the Bitter Sea oleh Fox Butterfield (1982) China Wakes oleh Nicholas Kristof (1994) , China Inc. oleh Ted C. Fishman (2005). (Mereka semua adalah wartawan koran The New York Times). Ada banyak buku lain tentang China yang bersifat jurnalistik.

Seperti kita semua ketahui, tulisan jurnalistik bertujuan menyapa pendengar umum, bukan hanya akademisi. Tulisan ini tidak perlu menjelaskan kerangka teori dan metodologi. Ini tidak berarti bahwa tulisan jurnalistik boleh “mengarang” tanpa didukung fakta. Yang ingin mereka capai adalah menyampaikan berita kepada publik, tentu dengan bahasa yang memikat. Buku-buku yang disebutkan di atas adalah contoh-contoh terbaik dari sebuah tulisan jurnalistik.

Ada kekurangan dalam hal buku-buku jurnalistik, yaitu pertanggungjawaban ilmiah. Misalnya, untuk mendeskripsikan kemiskinan di desa di China hanya dipaparkan tiga keluarga yang miskin, yang diuraikan dengan amat menarik. Pembaca kiranya diandaikan sudah cukup puas dengan pemaparan tiga kasus itu. Atau, contoh lain uraian tentang China sebagai “negara tengah” yang berambisi menguasai negara-negara lain. Sebagai bukti dipakai teks-teks dari abad kedua Masehi, atau bahkan lama sebelumnya.

Bukannya saya bermaksud melecehkan buku-buku tulisan oleh para wartawan, namun jelas pula bahwa ada kebutuhan nyata akan analisis yang menerapkan definisi yang ketat, kerangka teori yang jelas, serta didasarkan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan. Buku yang ditulis oleh akademisi menuntut akurasi seperti itu. Tuntutan seperti ini mutlak diperlukan untuk meyakinkan sesama akademisi, dan tentu saja untuk meyakinkan pembaca pada umumnya.

Masalahnya, buku jurnalistik pada umumnya lebih laris terjual daripada buku-buku akademis. Orang lebih suka membaca buku-buku jurnalistik karena bahasanya yang menarik ketimbang buku-buku akademis yang ditulis dengan bahasa yang kering dan membosankan. Dari sudut bisnis hal ini dipandang sebagai soal selera konsumen semata. Dari sudut ilmu pengetahuan, kemerosotan dibidang penulisan yang berciri akademis dapat menjadi sebuah malapetaka.

Di Eropa, Jepang dan Amerika Serikat pemisahan tajam seperti ini telah lama diterima. Buku-buku akademis mendapat prestige yang lebih tinggi. Karenanya di sana ada lebih banyak buku-buku yang menganalisis China secara akademis daripada yang mengandalkan laporan jurnalistik. Jurnal-jurnal yang khusus diperuntukkan kajian tentang China ada banyak, yang paling bergengsi di antaranya adalah The China Quarterly. Kecuali itu ada banyak seminar ilmiah yang sungguh memperdebatkan kualitas ilmiah dari sebuah makalah atau buku. Buku jurnalistik, betapapun larisnya dia, tidak mendapat tempat dalam seminar-seminar semacam itu.

Ketika tuntutan akademis semakin tinggi, perkembangan studi tentang China di Barat selama kurang-lebih 15 tahun terakhir ini mengalami pergeseran yang amat berarti. Ini terjadi seiring dengan terbukanya China bagi peneliti-peneliti dari luar. Ketika China masih tertutup, negeri ini sedemikian memukau para peneliti sehingga sering melihat China sebagai sebuah negara yang unik. Semakin tertutup, semakin unik. Kini kebalikannya yang terjadi, China tidak lagi unik, telah menjadi “sama seperti yang lain.”

Akibat dari keadaan ini sangat mendalam. Kalau China sudah sama seperti negara-negara atau bangsa lain, maka China kehilangan status spesial dan para peneliti dapat menerapkan paradigma ilmu yang berlaku untuk di seluruh dunia. Kecenderungan ini semakin menguat pada saat ini. Kini China diteliti oleh aneka macam ahli dari berbagai macam disiplin ilmu sosial: sosiologi, ekonomi, psikologi, ilmu politik, hubungan internasional, dsb. Sebutan “sinologi” atau “sinolog” pun segera kehilangan arti, begitu pula sebutan “area studies.” Setiap orang di seluruh dunia kini dapat melihat dan meneliti China dengan latar belakang ilmu apapun yang ada padanya.

Bahasa Mandarin yang dulu merupakan momok besar, kini bukan kendala lagi. Bukan hanya karena ada begitu banyak kursus bahasa Mandarin di segala sudut dunia, tetapi juga karena tersedia begitu banyak bahan dalam bahasa Inggris. Kecuali itu, kerja sama dengan peneliti-peneliti China juga memungkinkan orang yang tidak tahu bahasa Mandarin pun akan dapat memperoleh data yang diperlukannya. Banyak peneliti China dari luar China yang tidak bisa berbahasa Mandarin!

Dengan demikian telah lewat jaman ketika para sinolog masih memegang monopoli pengetahuan tentang China. Tidak ada lagi kelompok orang yang bisa meng-klaim monopoli pengetahuan tentang China, bahkan tidak juga para ahli di dalam China sendiri. Studi tentang China sudah menjadi ajang studi yang terbuka, yang diletakkan dalam kerangka paradigma ilmu yang sekarang ada, dan merupakan hasil kerja keras ilmiah yang rigorous oleh banyak ahli di bidangnya. Ia juga mesti tahan terhadap setiap gugatan dan kritik yang berbasis rasionalitas.

Dengan ini sekaligus juga dihindarkan satu bahaya besar, yaitu orientalisme. Tentu ini bahaya yang dapat menimpa para peneliti di luar China. Sering kali mereka sedemikian mudah menggantungkan diri pada hasil penelitian “Barat” sehingga mereka lupa bahwa mereka memakai kategori-kategori “Barat” untuk memandang China. Peneliti di luar China (Indonesia!) perlu mengembangkan sikap kritis dalam memakai pendekatan maupun metodologi yang lahir di “Barat,” kalau perlu mengembangkan pendekatan dan metodologi sendiri.

Dalam rangka dialog kebudayaan kiranya ada beberapa implikasi yang bisa ditarik. Pertama, para peneliti – dari China maupun Indonesia – dapat mengadakan tukar-menukar hasil penelitian mereka. Peneliti dari China dapat membandingkan dengan penelitian dari para peneliti dari luar China. Dalam hubungan ini, kedua, kedua belah pihak harus mempunyai tingkat kemampuan dan ketrampilan mereka dalam mengadakan penelitian sesuai dengan tuntutan tolok-ukur ilmiah. Dialog tidak akan terjadi jika tidak ada kesetaraan.

Jakarta, 13 Agustus 2005

Selamat datang!

Anda telah memasuki blog "Belajar dari Cina" tempat kita akan berbagi data maupun teori tentang Cina.