Minggu, 25 Mei 2008

Tibet dan Empat Dilema China

Kompas, Rabu, 23 April 2008

Oleh I Wibowo

Saat ini, China sedang gencar-gencarnya mengembangkan soft power, dan pesta olahraga akbar Olimpiade, yang diharapkan menjadi momentum penting yang akan membuat China semakin terpandang dan dihormati. Inilah kesempatan emas setelah 100 tahun China dapat memamerkan ”kedigdayaan”-nya kepada seluruh dunia.

Dalam Kongres Ke-17 Partai Komunis China bulan Oktober 2007, keinginan membangun soft power itu ditegaskan oleh Hu Jintao. Namun, China tiba-tiba harus berhadapan dengan Tibet, yang sejak 10 Maret 2008 terus bergolak dan mencapai titik didih yang menakutkan.

Dilema sulit

Meledaknya kerusuhan anti-China di Tibet menyebabkan China terjebak dalam dilema-dilema sulit.

Dilema pertama, di satu pihak, China harus mampu memperlihatkan sikap positif, lebih baik lagi, sikap suka berdamai. Persoalan Tibet hanya bisa diselesaikan lewat dialog dan perundingan, dan hal tersebut sudah disadari oleh Pemerintah China.

Namun, di lain pihak, kalau cara ini dilakukan dengan Tibet, China harus juga melakukannya dengan gerakan kemerdekaan Xinjiang, maupun dengan Taiwan, bahkan gerakan-gerakan lain yang sampai kini masih ”tidur”. Hal ini dengan sendirinya akan membangkitkan semangat mereka untuk juga merundingkan ulang status mereka.

Dilema kedua, berhubungan dengan yang pertama. Seandainya Pemerintah China bersedia duduk berunding dengan gerakan-gerakan kemerdekaan itu, mayoritas rakyat China tidak akan mendukungnya. Selama pembangunan ekonomi yang mencengangkan dunia, Pemerintah China secara efektif memakai kartu nasionalisme untuk menggerakkan rakyatnya untuk membangun negara.

Saat ini, rakyat China pada dasarnya sedang bermimpi akan mengembalikan ”kebesaran dan kejayaan China” (fuqiang zhongguo) sedemikian rupa sehingga rakyat China rela bekerja keras, siang-malam, berkorban demi kebesaran negara.

Propaganda ”pendidikan patriotisme” (aiguozhuyi jiaoyu) telah sangat berhasil, tidak hanya di kota-kota, tetapi juga di desa-desa. Maka, rakyat China pasti akan marah dan murka kepada pemerintahnya jika menolerir gerakan yang ”menghina” bangsa China dan ”memecah belah ibu pertiwi”.

Komplikasi ideologis

Dilema ketiga berhubungan dengan ideologi komunisme. Berdamai dengan Dalai Lama, yang adalah pemimpin tertinggi agama Buddhisme Tibet, sekalipun ini dapat diterima dari sudut strategi politik, akan menimbulkan komplikasi ideologis.

Sejak Partai Komunis China berkuasa di Daratan China pada 1949, Pemerintah China selalu bersikap antiagama. Berbagai strategi telah disusun untuk mencegah berkembangnya agama kendati ada kelonggaran akhir-akhir ini.

Secara efektif, Pemerintah China berhasil menanamkan keyakinan di kalangan rakyat China bahwa agama adalah ”takhayul feodal” (fengjian mixin), yang akan lenyap seiring dengan kemajuan ekonomi dan teknologi. Sangat sulit bagi Pemerintah China berunding dengan pemimpin agama apa pun, termasuk dengan Dalai Lama, karena hal ini bertentangan dengan keyakinan ideologis resmi saat ini.

Dilema keempat, Pemerintah China sadar bahwa ia memerlukan dunia internasional, terutama dalam membangun citra sebagai negara yang ramah dan bersahabat. Ini sangat tampak dalam pengumuman setiap pejabat China bahwa China tidak akan menjadi ancaman dan akan ikut membangun dunia yang damai dan bebas dari konflik. Di mana saja, mereka menjual slogan ”dunia yang harmonis” (hexie shijie) yang sebelumnya dirumuskan sebagai ”bangkit dengan damai” (heping jueqi).

Jika China terus memakai kekerasan di Tibet, dunia akan kehilangan kepercayaan terhadap kata-kata itu. China akan tampak sebagai unsatisfied power sehingga timbul gambaran China ”ancaman” bagi dunia. Baiklah dicatat bahwa saat ini sedang beredar China Threat Theory yang merugikan dirinya. Kalau tetangga-tetangga terdekatnya melihat China sebagai naga yang memperlihatkan taringnya, China pasti akan mengalami pengucilan lagi, seperti pada masa Perang Dingin.

Ujian besar

Tibet benar-benar menjadi sebuah ujian besar bagi China. Pemerintah China sudah didorong oleh banyak pemimpin dunia untuk mengadakan perundingan dengan Dalai Lama. Namun, menurut catatan, China telah gagal menghindarkan pemakaian kekerasan. Tentara Pembebasan Rakyat telah dikerahkan masuk ke Tibet dan terlibat dalam konflik dengan demonstran sehingga terjadi penembakan dan jatuh korban.

Sementara itu, Pemerintah China terus-menerus mengecam dan mengutuk pengikut-pengikut Dalai Lama dengan kata-kata yang makin pedas, bahkan menuduh Dalai Lama—seorang tokoh agama yang sangat dihormati di dunia—sebagai dalang semua kekerasan itu.

Sementara itu, dikabarkan bahwa di kalangan rakyat, api nasionalisme sudah berkobar besar. Mereka marah kepada orang Tibet dan mendukung pemakaian kekerasan terhadap Tibet. Dalam situs-situs di China terpampang caci maki terhadap orang Tibet. Mereka mengecam semua gerakan demonstrasi yang muncul di London, Paris, dan San Francisco.

Sebagai balasan, muncul seruan boikot terhadap Carrefour di seluruh China karena aksi demonstrasi di Paris itu dan juga karena Presiden Prancis berencana tidak hadir dalam upacara pembukaan Olimpiade. Seruan boikot ini bahkan juga sampai ke Indonesia lewat SMS!

Pemerintah China benar-benar terperangkap dalam dilema, dengan risiko gagal mengembangkan soft power. Di dunia yang makin mengglobal ini, setiap gerak-gerik negara akan dipantau oleh ratusan juta manusia, yang tidak semuanya bersimpati dengan nilai-nilai perjuangan China.

Tayangan media massa internasional dan nasional mempunyai peran penting. Amerika Serikat yang telah menggenggam soft power yang sedemikian tinggi saja bisa dikritik dan dikecam, apalagi negara yang tengah membangun soft power-nya.

I Wibowo Ketua Centre for Chinese Studies FIB Universitas Indonesia

China and the Global Civil Society

Jakarta Post, 15 May 2008


When the demonstrations by the monks of Tibet erupted on March 10, 2008, leading to the violent repression by the Chinese military, why were there no comments from state leaders around the world? Every single leader held their tongues tight. The French president could be considered an exception.

In East and Southeast Asia there was even greater silence, no statement by state leaders either on the repression itself or on the coming Olympics in Beijing. As China was taking control in Tibet, there was less and less voice of concern from the world leaders.

The silence of the state leaders around the world was alarming. Nevertheless, it did not stop global civil society from expressing concerns. Their voice came out in coincidence with the rally of the Olympic torch first in London, then in Paris, San Francisco and many other major cities.

Of course they knew the Tibet issue could not be linked with the Olympics, but this was the best stage for them to attract the attention of the world. In Indonesia, a similar demonstration, albeit of a much smaller scale, was reported. The mass media -- printed and electronic -- played an important part both in spreading the news from various cities where the demonstrations took place. The world saw the protests around the world, and the unfortunate violence of some protesters.

This phenomenon is very much in line with the action of global civil society to protest the ministerial conference of the World Trade Organization (WTO) in Seattle in late 1999. The big turnout changed the nature of the demonstration, such that it was eventually called "the Battle of Seattle".

The global civil society -- a network of various NGOs around the world -- so far has been active in voicing concern every time the IMF, the World Bank and the WTO hold meetings any place in the world. These people come from all corners of the world, ignoring their differences of race and religions, being united to the cause that was neglected by the states.

Our world has indeed displayed a strange configuration where states collude with other states to undermine the interest of their people. The states in the world are now kowtowing China, perhaps out of reverence, but most of the time out of fear of retaliation by the mighty China.

The same is true with the attitude of the states towards the IMF, the World Bank and the WTO; state leaders shut their mouths in face of the plight of their people. The term "constituent", for these leaders is no longer relevant, perhaps already moribund.

In both cases, the state (leaders) act independently, simply protecting their private interest at the expense of the interests of the people.

Can the state control global civil society? Hardly possible. Democracy grows hand in hand with global civil society; the more democratic one country become, the stronger the civil society.

In Europe and in the United States, where democracy has taken deep root, the civil society was more active and expressive than in Indonesia or other countries in Asia. Indonesia is the home of thousands of NGOs, local and international, and it is understandable that protests also erupted.

The Indonesian state could only protect the torch from being extinguished, and wisely enough, it carried out the march of the torch in a closed stadium in Senayan. The global civil society cannot be prevented from voicing their concern for human dignity.

James Mann, in his book The China Fantasy (2007), tries to show that, at the moment, there is a clear trend where state leaders avoid criticizing China. "Over the past 15 years, the discussion about China in the United States and in many other countries have settled into a familiar pattern.

"Whenever someone voices alarm about events or developments in China, that person is offered a soothing response that urges a more 'enlightened' understanding."

Mann, however, should not be too pessimistic because the global civil society will be taking the responsibility over to speak up on concerns about the plight of their fellow human beings.

Just as global civil society stands up against the IMF, the World Bank and the WTO, so do they speak for all sorts of social problems existing in countries around the world. Tibet is one, and Darfur is another.

China, actually, is not alone. So many countries, including Indonesia, are under daily close scrutiny by various groups of NGOs with headquarters spread all over the world.

It is high time for China to live in peace with the global civil society, along with the state actors and the global business actors. This is not impossible as civil society in China is also growing fast.

The writer is head of the Centre for Chinese Studies at the Department of Cultural Sciences, University of Indonesia. He can be reached at iww@indo.net.id

Selamat datang!

Anda telah memasuki blog "Belajar dari Cina" tempat kita akan berbagi data maupun teori tentang Cina.