Sabtu, 24 Oktober 2009

Cina, 60 Tahun Ke Depan

Majalah Tempo, 19 Oktober 2009


I.Wibowo

Selama 30 tahun terakhir ini, pembuat kebijakan luar-negeri Cina mengikuti petuah Deng Xiaoping yang dirumuskan dalam empat kata: tao guang yan hui. Terjemahan bebasnya: jangan pamer, jangan sok.Deng agaknya sudah melihat bahwa Cina akan bangkit dan kebangkitan Cina dapat membuat tetangga-tetangganya, dekat maupun jauh, merasa ketakutan. Taiwan yang paling pertama khawatir, lalu Jepang, lalu Korea Selatan, dan menyusul negara-negara di bagian tenggara Cina, seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.

Bahkan kecemasan ini menyeberang ke Samudra Pasifik, sampai ke daratan Amerika Serikat. Di lingkungan pengambil kebijakan Amerika muncul teori “China Threat Theory.” Memang teori ini sangat dipercayai oleh kalangan hawkish, tetapi juga sempat menular ke masyarakat luas. Sebagai satu-satunya negara adikuasa, semestinya Amerika Serikat tidak perlu risau dengan ancaman Cina.

Tidak heran bahwa pada tahun 2002 Cina mengeluarkan pernyataan bahwa kebangkitan Cina tidak akan menimbulkan ancaman. Dua kata dipakai “heping jueqi” (bangkit dengan damai). Cina benar-benar ingin menangkis pandangan bahwa kebangkitan ekonomi Cina akan menimbulkan kegoncangan pada tatanan internasional. Pada tahun 2007, pada kesempatan Konggres Partai Komunis ke-17, dikemukakan konsep hexie shejie (dunia yang harmonis). Konsep heping jueqi sendiri diperbaiki menjadi heping fazhan.

Pada saat yang sama Sekjen Partai, Hu Jintao juga melontarkan gagasan bahwa Cina harus mengembangkan soft power (ruan shi). Istilah ini sebenarnya dipakai oleh Joseph Nye untuk menjelaskan kondisi Amerika Serikat saat ini. Dengan soft power sebuah negara dapat membuat negara lain tunduk kepadanya karena adanya rasa kagum dan tertarik. Amerika Serikat “menaklukkan” dunia tidak hanya dengan senjatanya (hard power) tetapi juga dengan soft power berupa produk-produk kebudayaan yang digemari orang di seluruh dunia. Ketertundukan dan kekaguman seperti itulah yang diimpikan oleh Cina akan muncul di antara negara-negara di dunia.

Maka Cina sungguh giat untuk mengadakan langkah-langkah yang mengembangkan soft power-nya. Cina membuat siaran radio maupun TV yang setara dengan BBC ataupun CNN dan Al Jazeera. Saluran CCTV 4 (bahasa Mandarin) dan CCTV 9 (bahasa Inggris) kini dapat dijangkau di seluruh dunia. Cina juga bersemangat untuk mengirim misi kebudayaan ke seluruh dunia.

Langkah paling mengesankan adalah bantuan keuangan kepada negara-negara yang sedang berkembang di seluruh dunia. Bantuan ini diberikan dalam berbagai macam skema, yang disesuaikan dengan jenis dan tingkat kebutuhan negara tersebut. Di Afrika dan beberapa negara di Asia Tenggara, bantuan diberikan dalam bentuk bangunan, seperti rumah sakit, stadion olah raga, bendungan, dsb. Yang membuat bantuan Cina ini semakin menarik adalah bahwa bantuan itu tidak dikaitkan dengan syarat-syarat berat seperti yang dituntut oleh negara-negara donor dari Eropa atau Amerika.



Di Indonesia

Hubungan Indonesia-Cina tumbuh dan menjadi erat persis ketika Cina sedang mengembangkan soft power-nya. Pada tahun 2004, ketika pantai barat Aceh disapu badai tsunami, Cina termasuk negara pertama yang memberi bantuan kepada Indonesia. Begitu pula ketika pada tahun 2007, daerah Bantul, Yogyakarta, digoncangkan oleh gempa. Berturut-turut Pemerintah Cina memberikan bantuan kemanusiaan kepada Indonesia yang selama lima tahun terakhir terus-menerus dilanda aneka malepetaka alam.

Bantuan finansial yang paling besar diberikan oleh Pemerintah Cina kepada Pemerintah Indonesia adalah pembangunan Jembatan Suramadu. Proyek yang berjalan sejak tahun 2003 ini mengalami beberapa kali kesulitan dalam pembiayaan, tapi Pemerintah Cina tetap memberikan dukungan penuh, sehingga jembatan itu selesai pada bulan Juni 2009. Tidak diketahui persis berapa besar sumbangan dari pihak Cina, diperkirakan di kisaran US$ 800 juta. Bagi Pemerintah Cina, pembangunan jembatan ini dianggap sebagai simbol eratnya hubungan Indonesia dan Cina dan sekaligus juga bukti kepedulian Cina terhadap Indonesia.

Cina juga berusaha untuk memperkenalkan dirinya kepada sebanyak mungkin orang Indonesia. Urusan visa ke Cina dibuat sederhana dan tidak berbelit-belit sehingga banyak turis Indonesia yang berkunjung ke Cina. Khusus untuk birokrasi, Pemerintah Cina menyiapkan paket khusus. Setiap tahun Pemerintah Cina lewat Konselor Ekonomi mengundang sejumlah pejabat untuk berkunjung ke Cina. Acara ini biasanya kombinasi antara seminar dan sight-seeing. Ini belum termasuk kunjungan oleh anggota DPR, dan oleh pemimpin-pemimpin partai. Pemerintah Cina percaya akan pepatah lama yang mengatakan bai ting buru yi jian atau seratus kali mendengar tidaklah sama dengan sekali melihat! Semakin banyak orang Indonesia yang melihat kemajuan Cina, semakin pengaruh Cina dirasakan.

Respon dari masyarakat Indonesia terhadap soft power Cina juga positif. Secara perlahan-lahan masyarakat Indonesia menyukai produk kebudayaan yang datang dari Cina. Lagu-lagu Cina kini banyak dinyanyikan dalam pesta, juga banyak ditemui dalam bilik karaoke. Film-film Cina sudah lama disukai, terutama yang dari Hong Kong yang bertemakan peratarungan silat. Film Cina non-kungfu kini juga diterima baik, terutama film-film Cina yang telah memenangkan piala di gelanggang internasional. Bisa disebut di sini, Raise the Red Lantern, Farewell to My Concubine, To Live, dsb. Pada tahun 1999 kota-kota besar di Indonesia pernah dilanda “demam F4” sebuah film melodrama, yang menampilkan bintang-bintang film dari Taiwan.

Sementara itu masyarakat Indonesia memang sedang mengalami semacam “pembebasan” dalam hal segala sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan Cina. Mulai dari Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), disusul oleh Presiden Megawati, dan kemudian sekarang pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, undang-undang dan peraturan dari masa Orde Baru yang melarang eskpresi kebudayaan Cina dibatalkan. Kini banyak orang dapat bicara bahasa Mandarin dengan bebas, juga berpakaian cheong-sam. Pementasan tarian barongsai dan naga liong, misalnya, dapat ditonton di tempat-tempat umum. Pementasan ini mula-mula ditampilkan pada kesempatan tahun baru Imlek, tetapi kemudian juga di banyak kesempatan. Pembukaan restoran, peresmian toko atau mal, bahkan juga dipakai untuk kampanye selama pilkada atau pemilu.

Yang paling menarik perhatian adalah bahasa Mandarin. Selama tiga dekade bahasa ini dilarang untuk dipakai dan dipelajari. Ketika larangan itu dicabut, bahasa Mandrin seakan-akan meledak. Di mana-mana orang bicara bahasa Mandarin dan bicara bahasa Mandarin. Tempat-tempat kurus didirikan di banyak kota besar di Indonesia. Tidak lama kemudian banyak universitas mendirikan jurusan bahasa Mandarin, dan bahkan sekolah-sekolah menengah juga memasukkan bahasa Mandarin dalam kurikulum mereka. Padahal selama masa Orde Baru, bahasa Mandarin hanya dapat dipelajari di Universitas Indonesia, itupun dengan pengawasan. Di masa itu pula setiap penumpang pesawat terbang harus melaporkan kepada pabean sekiranya dia membawa barang-barang dalam bahasa Mandarin.

Pemerintah Cina – secara kebetulan – tengah melancarkan program pengajaran bahasa Mandarin ke seluruh dunia. Di banyak negara di dunia telah didirikan “Institut Konfusius” (Kongzi xueyuan) yang biasanya didirikan dalam sebuah universitas, baik yang sudah memiliki jurusan bahasa Mandarin maupun yang belum. Konon di seluruh dunia telah didirikan lebih dari 250 Institut Konfusius dan tersebar di 75 negara. Beberapa universitas di Indonesia telah menyambut kehadiran Institut Konfusius, yaitu Universitas Al-Azhar dan Universitas Brawijaya. Di samping itu Pemerintah Cina juga menyediakan jalur lain agar pengajaran bahasa Mandrin makin luas dipelajari, yaitu melalui HANBAN dan bekerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional. Lewat jalur ini sekolah-sekolah menengah juga mendapatkan guru-guru penutur asli.

Sejauh mana soft power China telah merebak di Indonesia? Pertanyaan ini sulit untuk dijawab. Untuk sementara dapat dikatakan bahwa Cina dan kebudayaannya telah diterima lagi di Indonesia. Lagu-lagu, film, makanan, pakaian, dan bahasa Mandarin disambut dengan baik oleh kalangan non-Cina. Selain itu kerja sama antara dua pemerintah juga berjalan tanpa hambatan. Kedua negara sepakat untuk mengadakan kerja sama di bidang energi (2002) dan disusul dengan kerja sama di kegiatan pertahanan (2007) Pada tahun 2005 kedua kepala negara menandatangani deklarasi “Kemitraan Strategis,” yang dapat dikatakan sebuah tanda bahwa persepsi negatif tentang Cina telah hilang.


Sukses Cina di Indonesia ini juga berulang di tempat-tempat lain di dunia. Banyak negara ingin merangkul dan dirangkul Cina. Namun, harus juga dikatakan bahwa soft power Cina masih perlu dilengkapi dengan promosi di bidang nilai-nilai. Pada akhirnya orang juga akan bertanya nilai-nilai kemanusiaan apa yang ingin ditebarkan oleh Cina, sehingga negara-negara lain sungguh kagum dan tertarik secara total. Nilai demokrasi yang diperlihatkan oleh Amerika Serikat terbukti merupakan daya tarik tersendiri sehingga soft power Amerika sulit untuk dibendung. Orang sering dibuat terkejut atas langkah-langkah Cina. Sangat mengagetkan, misalnya, ketika Cina memakai kekerasan untuk memadamkan kerusuhan di Tibet (2008) dan di Xinjiang (2009). Orang seakan-akan diingatkan bahwa ada suatu hal yang tidak bisa dikagumi di Cina. Demikian pula perlakuan Cina terhadap Dalai Lama, tokoh yang dihormati di seluruh dunia.

Soft power Cina sudah besar tetapi belum cukup besar. Supaya dunia yakin bahwa Cina memang tidak mengandalkan hard power, dunia mengharapkan bahwa Cina tidak hanya menyebarluaskan bahasanya, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan yang sudah ada akarnya dalam kebudayaannya. Soft power kiranya harus dikembangkan bukan sebagai sebuah strategi diplomasi semata, tetapi juga sebagai komitmen yang otentik. Mungkin ini PR penting untuk Cina 60 tahun ke depan?

I.Wibowo adalah staf pengajar pada Departemen Hubungan Internasional, FISIP-UI, dan Ketua “Centre for Chinese Studies,” FIB-UI.

60 Tahun RRC

60 Tahun RRC

Kompas, Kamis, 1 Oktober 2009

I Wibowo

Salah satu bangunan yang muncul di tengah kota Beijing dan menggegerkan masyarakat China pada tahun 1992 adalah gerai makanan cepat saji McDonald’s. Masyarakat Beijing terenyak atas datangnya makanan Amerika Serikat ini dan menyambutnya dengan penuh gairah, lebih bergairah ketimbang ketika dibuka di Shenzhen pada 1990.

Mereka bersemangat menyambut produk AS yang paling terkenal di seluruh dunia itu, tak peduli dengan harga yang mahal. Dalam waktu singkat, gerai makanan cepat saji yang menjadi ikon Amerika ini telah merebak di kota Beijing dan juga kota-kota lain di China.

Tiga puluh tahun kemudian tidak ada produk AS yang tidak ada di China. Makanan, minuman, pakaian, sepatu, tas, mainan, mobil, dan lainnya yang berasal dari AS menguasai pasar China. Tentu saja komputer asal AS yang terkenal. Segala jenis barang dan jasa yang berasal dari AS telah masuk dan diterima di China.

Gairah ini tidak hanya tampak di tingkat pemimpin, tetapi juga di kalangan intelektual dan rakyat jelata. Dan akhirnya adalah cita-cita pembangunan bangsa itu sendiri.

Apa cita-cita pembangunan China saat ini? Menandingi AS. China menjadikan AS sebagai sasaran dan tatapan matanya. Apa yang dilakukan oleh AS, China harus dapat melakukan. Apa yang dapat dicapai oleh AS, China harus dapat mencapainya.

Yang hebat di AS harus juga dapat dibuat di China, bahkan mungkin lebih hebat lagi. Kota New York harus dibangun juga di China dan terlaksana di Shanghai. AS dapat mengirim manusia ke ruang angkasa, China segera mengejarnya dan sudah berhasil mengirimkan ”taikonot” mereka keliling bumi.

Ketika Yao Ming direkrut menjadi pemain basket profesional (NBA) di AS, orang China tidak hentinya menceritakan peristiwa ini. Begitu pula kemenangan atlet-atlet China pada Olimpiade Beijing (2008) sebagai juara umum. Mereka bangga bahwa China dapat melewati AS.

Dalam perdagangan, China mampu menaklukkan AS sehingga negeri Paman Sam ini mengalami defisit besar. Koran-koran China pasti memuat berita yang memperlihatkan angka statistik dalam hal apa saja jika itu menyamai atau melebihi AS.

Awal 2009 ini, China boleh amat bangga bahwa untuk pertama kalinya posisi China diperhitungkan setara oleh AS. Adalah Robert Zoelick, Direktur Bank Dunia, yang pertama melontarkan gagasan bahwa krisis keuangan global saat ini hanya bisa diselesaikan oleh G-2.

Maksudnya adalah AS dan China. Gagasan ini menguat, lalu masuk China, dan membuat banyak intelektual China berbunga-bunga. Krisis keuangan global yang mulai pada September 2008 memang telah mengubah seluruh tata ekonomi dunia, termasuk hubungan China dan AS.

Mengejar AS

Mengapa Amerika Serikat?

Jika memerhatikan retorika akhir tahun 1950-an hingga 1960-an, tak terbayangkan bahwa China mengagumi AS. Bersama Stalin dan Khruschev, Mao mengkritik dan mengecam AS sebagai gembong kapitalis terbesar.

Namun, jika melacak hingga ke tahun 1930-an, pemimpin elite China (baik Chiang Kai-shek maupun Mao Zedong) sebenarnya menyimpan rasa kagum yang besar terhadap AS. Mao tercatat amat mengagumi presiden pertama Amerika, George Washington. Persahabatannya dengan Edgar Snow, wartawan Amerika, pernah mendorong dia untuk berpikir mengadakan kerja sama dengan AS untuk mengusir Jepang (He Di, 1994).

Paling jelas ketika Mao melancarkan Lompatan Jauh ke Depan pada 1959. Mao mengatakan mau mengejar AS dalam 15 tahun dan Inggris dalam 10 tahun. Padahal, program itu adalah program untuk menciptakan masyarakat komunis!

Alasan geopolitik mungkin berperan, tetapi alasan lain jelas bermain. Ketika Mao mau berjabat tangan dengan Nixon pada tahun 1972, proses normalisasi pun bergulir. Mao tidak menyaksikan normalisasi hubungan dengan AS, tetapi penggantinya, Deng Xiaoping, jelas mempunyai visi yang sama. Puncaknya adalah pada tahun 1979 ketika China dan AS setuju untuk membuka hubungan diplomatik.

Beberapa pekan kemudian Deng Xiaoping terbang ke AS, mengadakan tur ke beberapa kota. Selama di AS, Deng tak henti berdecak kagum atas kemajuan AS, terutama di bidang teknologi. Bersamaan dengan itu, seluruh masyarakat China dilanda ”demam Amerika”.

Dalam studinya tentang persepsi China terhadap AS pada akhir tahun 1980-an, David Shambaugh menemukan bahwa di lingkungan kader elite Partai Komunis China memang sudah ada rasa kagum yang kuat terhadap AS. Meski masih gencar menulis kritik terhadap ”imperialisme AS”, mereka tetap mengagumi AS. Imperialis namun dikagumi. Maka buku Shambaugh pun diberi judul Beautiful Imperialist.

Pada tahun 1997, persis ketika China dan AS terbekap aneka macam perselisihan, polling oleh Institut Pendapat Publik, Universitas Renmin, menemukan sikap positif masyarakat China terhadap AS. Bahkan, ditemukan bahwa masyarakat China mempunyai sikap yang lebih positif terhadap orang AS daripada terhadap orang Jepang, Jerman, dan Rusia.

Ketika pada tahun-tahun itu muncul buku-buku yang anti-Amerika sekalipun, kekaguman terhadap kemajuan AS tidaklah luntur. Hasil yang sama tampak dalam penelitian tahun 2005 oleh Global Times. Responden amat positif terhadap kemajuan ekonomi, kemajuan sains dan teknologi, serta kebudayaan Amerika. Hal ini menjadi kian menarik ketika dibaca dengan latar belakang persepsi yang negatif terhadap AS yang sedang melanda dunia saat ini (Kohut and Stokes, 2006).

Gaya gravitasi dari Amerika

Sejak kekalahan memalukan pada Perang Candu 1840, China sebagai bangsa sangat bertekad untuk belajar dari bangsa lain karena China merasa tidak mungkin memperbaiki diri dengan Konfusianisme.

Mula-mula China menoleh ke Eropa, mengirim banyak mahasiswa ke Eropa, terutama Perancis. Mereka mau menimba cita-cita Revolusi Prancis untuk dipakai mengubah keterpurukan bangsanya. Demonstrasi besar oleh mahasiswa pada 4 Mei 1919 menolak Konfusius dan Konfusianisme, serta memilih ”Mr Science and Mr Democracy” sebagai solusi masalah.

”Gerakan 4 Mei” ternyata tidak bertahan lama, digantikan dengan kekaguman akan Revolusi Bolshevik pada 1917.

Sekelompok besar orang China bertekad menanamkan Marxisme dan komunisme serta meniru Rusia (Uni Soviet). Mereka mendirikan partai politik dan sejak 1949 hingga tiga dekade ke depan menerapkan model Uni Soviet di China.

Namun, gerakan komunisme ini tidak memuaskan bangsa China. Kegagalan itu membuat China memikir ulang sikapnya terhadap AS, musuh besarnya. Mao dan kemudian Deng membuka jalan bagi perubahan ini. Ketika ”Reformasi dan Keterbukaan” diumumkan tahun 1978, China menempatkan Amerika yang kapitalis sebagai target untuk dicapai.

Selama tiga dekade kedua, AS telah menjadi sumber inspirasi, sedemikian rupa, sehingga China seolah-olah tidak dapat hidup tanpa AS. Kini China memandang AS sebagai penghela jalan sejarahnya ke masa depan. Banyak hal yang telah dicapai oleh AS ingin dikejar oleh China. Dan yang belum dicapai oleh China akan terus dikejar. Mungkin dalam hati orang China tebersit keinginan bahwa AS tidak boleh lenyap agar mereka tetap dapat mengalami gaya gravitasi yang muncul dari AS.

Hal ini tidak berarti bahwa terjadi penjiplakan mentah-mentah. China tidak akan, bahkan tidak mungkin, menjadi kembaran AS. Walaupun bermimpi untuk menjadi seperti AS, China telah berhasil melahirkan sendiri ”model China”. Mungkin lebih tepat untuk dikatakan bahwa AS telah menimbulkan gaya gravitasi yang luar biasa kuat sehingga China seakan-akan terus terarah ke sana meski tidak terperangkap di dalamnya.

Ketika mereka memperjuangkan demokrasi pada tahun 1989, para mahasiswa dan intelektual mendirikan replika Patung Liberty yang ada di New York. Perjuangan yang berubah menjadi drama berdarah ini mengungkapkan kerinduan terdalam sebagian warga China untuk meniru dan mengejar AS dalam hal mendirikan negara yang demokratis.

Mungkin hal ini hanya keinginan yang tertunda, yang akan terlaksana pada waktunya nanti. Pada ulang tahun ke-60 ini China tetap dapat memandang AS sebagai inspirator pembangunannya.

I Wibowo Pengajar pada Departemen Hubungan Internasional FISIP-UI; Ketua Centre for Chinese Studies FIB-UI

Senin, 13 April 2009

CINA DAN KITA

Kompas, 22 April 2009


Cina baru-baru ini mengungkapkan kemarahannya kepada Amerika Serikat (AS) sehubungan dengan laporan tahunan Pentagon tentang militer Cina. Disebutkan bahwa Cina kini menjadi “ancaman” di Asia Timur, terutama Taiwan. Bukti yang dikemukakan adalah kenaikan anggaran pertahanan Cina, yang terus naik dari tahun ke tahun (Kompas, 27 Maret 2009). Tentu saja Pemerintah Cina menolak tuduhan tersebut dengan mengajukan argumen bahwa pengeluaran sebesar itu masih pada tahap wajar untuk sebuah negara sebesar itu. Tapi AS masih membalas bahwa Cina sangat mungkin mengeluarkan anggaran yang lebih besar lagi karena Cina dianggap tidak transparan dalam hal yang satu ini.
Sebelum itu, hubungan Cina-AS sempat memanas ketika kapal-kapal Cina pada 10 Maret 2009 memergoki kapal mata-mata AS, USNS Impeccable, di Laut Cina Selatan. Cina menuduh Amerika telah memasuki wilayah perairan mereka, sementara Amerika membela diri dengan mengatakan bahwa kapalnya masih ada di wilayah internasional. Situasi juga memanas, masing-masing pihak melemparkan tuduhan dan kecaman.

Sengketa ini Laut Cina Selatan tidak sampai meluas, akan tetapi ini memperlihatkan bahwa Cina mempunyai hak yang harus diakui di Luat Cina Selatan. Amerika perlahan-lahan – suka, tidak suka – harus menerima kenyataan ini. Sehari sesudah insiden dengan Amerika Serikat, Cina memprotes Filipina yang mengesahkan undang-undang perbatasan laut, yang mencakup kepulauan Spartly (Nansha). Akibatnya, rencana pertemuan tingkat tinggi antara Presiden Gloria Macapagal-Arroyo dan Sekretaris Jendral Parlemen Cina, Li Jianguo, ditunda sampai waktu yang tak terbatas.

Cina setapak demi setapak telah memperlihatkan diri sebagai sebuah kekuatan yang harus diperhitungkan, terutama di Asia Timur (Timur Laut plus Tenggara). Proses ini sudah berlangsung sejak masa pemerintahan George W. Bush, yang memberi perhatian lebih besar pada Timur Tengah. Selama delapan tahun Cina dapat dikatakan mengembangkan baik soft power maupun hard power yang dimilikinya. Cina menjadi kekuatan yang serentak disegani dan ditakuti. Negara-negara di Asia Timur kini harus berhati-hati dalam (1) berhubungan dengan Taiwan, (2) berhubungan dengan Falun Gong, (3) berhubungan dengan Dalai Lama. Cina akan memakai himbauan, seruan, protes hingga ancaman kepada negara-negara yang melanggar tiga hal itu. Laut Cina Selatan memang sedang dipetieskan, tetapi hal ini juga tidak akan dibiarkan berlalu begitu saja kalau ada pihak-pihak yang berani mengutik-utiknya.

Big three
Sebuah artikel yang ditulis oleh Parag Kahnna di New York Times Magazine (27 Januari 2008) dengan jelas mengatakan bahwa dunia Abad XXI akan dikuasai oleh “Big Three” yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Cina. Negara-negara lain yang sering disebut “emerging markets” disebutnya sebagai “second world” yang bernasib menjadi tempat persaingan dan pertarungan dari Big Three tersebut. Lebih jauh dikatakan bahwa masing-masing kekuatan itu akan beroperasi di wilayah mereka masing, walaupun tidak terutup kemungkinan mereka juga akan saling menyusupi wilayah itu. Uni Eropa bergerak di Afrika dan Timur Tengah, Amerika di Amerika Utara dan Selatan, sementara Cina akan menancapkan kekuatannya (lunak maupun keras) di Asia Timur.

Analisis ini mirip dengan Robert Kagan, yang kecuali Amerika, Eropa dan Cina, masih memasukkan Rusia sebagai kekuatan , juga Jepang, India dan Iran. Dalam bukunya The Return of History and the End of Dreams (2008) , Kagan menghitung bahwa dunia akan dikuasai oleh negara-negara itu. Negara-negara kecil lain, tidak masuk dalam hitungan. Tapi, baik Kahnna maupun Kagan, sepakat bahwa pengaruh Amerika Serikat tidak lagi sebesar di masa lampau. Amerika bukan lagi hegemon dunia, walaupun masih berupa superpower. Di sekitar Amerika ada yang disebutnya “great powers” yang tersebar di berbagai belahan dunia. Salah satunya adalah Cina, yang dilihat menjadi pemegang kekuatan nyata, kekuatan ekonomi maupun militer.

Sangat menarik dalam koran di Cina berbahasa Inggris, People’s Daily, hal ini sedemikian ditekankan. Tulisan Liu Hongmei berjudul “The U.S. Hegemony ends, the era of global multipolarity enters” (26 Februari 2009). Penulis nampak sangat bergembira, bahkan merayakan, atas surutnya kekuatan maupun kekuasan Amerika Serikat saat ini. Bagi Cina, Amerika Serikat adalah penghalang terbesar untuk mencapai kemajuan karena kritik dan kecaman yang beraneka ragam. Sebuah buku yang saat ini sedang “meledak” di Cina berjudul Zhongguo bu gaoxing (Cina Tidak Senang). Para pembaca mendukung ketidaksenangan para pengarang terhadap semua kata maupun perbuatan Amerika Serikat. Kalau kekuatan Amerika benar berkurang dan menyusut, maka bagi para pengarang ini, kinilah saatnya giliran Cina untuk berkiprah di Asia Timur. Mereka pun mengacu kepada masa “Pax Sinica” yaitu masa keemasan zaman Dinasti Tang pada abad ketujuh, ketika pengaruh Cina membentang seluas Asia timur.

Norma baru
Secara struktural, dunia memang telah menjadi multipolar (entah tiga, entah enam). Untuk wilayah Asia Timur (timur laut maupun tenggara), Cina jelas-jelas akan menjadi hegemon regional yang akan menetapkan rezim internasional yang berlaku. Misalnya, East Asian Community yang saat ini sedang diendapkan, sangat mungkin akan dihidupkan lagi, dengan Cina sebagai pemimpinnya. Perlahan-lahan Asia Timur akan memakai mata uang Cina, renminbi, sebagai sarana transaksi internasional dengan segala implikasi politisnya. Indonesia sudah menyatakan mendukung gagasan ini. ASEAN maupun Jepang perlahan-lahan akan menjadi pemain biola kedua dalam konstelasi baru ini. Sementara itu, di Asia Tenggara Cina saat ini sudah berhasil menancapkan pengaruhnya, sehingga negara ASEAN tidak bisa berkutik ketika harus menghadapi kasus Myanmar. Keberhasilan pembangunan Cina diam-diam dijadikan acuan, bahkan norma, bagi negara-negara lain.

Indonesia saat ini dianggap sebagai pemain yang minor, atau mungkin sebagai non-player sama sekali. Dalam beberapa ulasan ilmiah tentang hubungan internasional (Kahnna maupun Kagan, misalnya), Indonesia tidak pernah disebut-sebut. Cina kelihatannya masih memperhitungkan Indonesia, dengan mengikatkan diri dalam hubungan “strategic partnership” (sejak 2005). Cina memang memerlukan Indonesia sebagai sumber bahan mentah mengingat posisi geografis Indonesia yang dekat dengan Cina. Di samping itu pengiriman dari Indonesia tidak usah melewati Selat Malaka yang berbahaya itu. Meski demikian Cina kiranya juga melihat bahwa Indonesia masih memerlukan waktu yang amat lama untuk menjadi pemain yang bisa diperhitungkan. Cina saat ini masih bisa menekan Indonesia untuk tiga hal yang disebutkan di atas (Taiwan, Dalai Lama, Falun Gong), suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada Amerika Serikat atau Uni Eropa. Beruntung, Indonesia dan Cina tidak bersinggungan di Laut Cina Selatan, walaupun Kep. Natuna nyaris menjadi bahan sengketa.

Cina sebenarnya sudah tanggap akan “ketakutan” yang mungkin timbul di antara tetangga-tetangganya. Pada tahun 2003 Cina pernah mengeluarkan sebuah pernyataan “heping jueqi (bangkit dengan damai), yang mencoba untuk menyingkirkan perasaan negatif itu. Pernyatan ini mendapat sambutan hangat dari tetangga-tetangganya dan juga seluruh dunia. Kebangkitan Cina pada bidang ekonomi tidak akan menimbulkan ancaman bagi tetangga-tetangga dan dunia. Namun heping jueqi ini dinilai oleh para petinggi militer kurang cocok dengan kondisi Cina, terutama sehubungan dengan masalah Taiwan yang belum selesai. Maka diciptakan pernyataan baru “heping fazhan” (perkembangan yang diliputi damai), dan diresmikan pada Konggres Nasional Partai Komunis Cina XVII pada 2007. Ini diiringi dengan pernyataan tentang heping shijie (dunia yang damai), keinginan Cina untuk membangun dunia yang damai. Namun sambutan dari negara-negara di luar Cina tidak se-antusias seperti saat heping jueqi dilontarkan.

Dalam menghadapi kebangkitan Cina, Indonesia kiranya memerlukan visi yang jelas. Kebangkitan Cina sebagai “hegemon regional” adalah suatu hal yang tidak terelakkan. Dalam banyak hal kita harus mulai menyesuaikan diri dengan kehendak Cina. Sejauh mana kita mau menyesuaikan diri? Dalam hal apa saja menyesuaikan diri? Sering disebut-sebut tiga strategi (counterbalancing, bandwagoning, hedging), tetapi perlu kiranya ditemukan kemungkinan keempat yang lebih cocok dengan kondisi Indonesia dan kondisi internasional.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/22/02541826/china.dan.kita

Jumat, 27 Maret 2009

"China Tak Senang" Diserbu Pembaca

Kompas, Sabtu, 28 Maret 2009 | 07:08 WIB



BEIJING, KOMPAS.com - Persaingan China dengan Barat telah mengilhami terbitnya sebuah buku yang isinya menyerang sasaran-sasaran Barat dan elite China sendiri. Nadanya berupa caci maki yang disukai sebagian pembaca. Namun, buku itu membuat pemerintah, yang mencoba mengendalikan nasionalisme, khawatir.

Buku berjudul China Tak Senang sangat laris sejak diterbitkan pada awal Maret ini. Beberapa surat kabar pemerintah telah mempersoalkan serangan-serangan pedas di buku itu kepada AS dan Barat. Serangan-serangan itu juga memercikkan keraguan pada kebijakan Beijing sendiri.

Presiden China Hu Jintao pergi ke London, Inggris, pekan depan untuk menghadiri pertemuan G-20 yang bertujuan membahas krisis ekonomi global yang sedang tidak karuan. Akan tetapi, Washington bersikap tak lebih dari seorang bos kelompok kriminal, menurut lima penulis buku itu.

”Kalau kita misalkan dunia itu seperti sebuah pasar, AS itu seperti bos Mafia di pasar, memberikan surat utang kepada setiap kedai dan kemudian membawa lari barang-barang jualan mereka,” tulis mereka.

”Bos mafia ini, AS, tidak mampu membayar kembali semua surat utang itu, yang berubah menjadi kertas tak berharga. Namun, orang tidak punya pilihan sekarang selain melindungi AS.”

Malas bekerja

Sasaran-sasaran lain adalah Presiden Perancis Nicolas Sarkozy, yang dikecam oleh Beijing karena menemui Dalai Lama; para intelektual liberal China yang dituduh menjadi kaki tangan pengkritik China, dan publik AS, yang dikecam karena hidup dari utang, tetapi malas bekerja. ”Saya rasa krisis keuangan ini memperlihatkan degenerasi masyarakat AS dari atas hingga ke bawah,” tulis seorang kontributor.

”Rakyat Amerika Serikat tidak sepenuhnya tertipu. Mereka hanya menginginkan rumah-rumah besar tanpa bekerja keras untuk itu,” tambahnya.

Buku berbahasa Cina itu juga menyerang kebijakan China sendiri, menuduh para pejabat tidak kompeten dan konservatif. Serangan buku itu pada sasaran dalam negeri mungkin membantu menjelaskan mengapa buku itu dikritik di media resmi.

”Sebenarnya, sebuah fokus kunci dari buku ini adalah masalah-masalah domestik,” kata Huang Jisu, salah seorang penulisnya, kepada Reuters.

”Krisis keuangan global telah memperlihatkan banyak kelemahan kapitalisme kontemporer dan China seharusnya aktif berpartisipasi dalam penciptaan kembali tata dunia.... Akan tetapi, itu berarti kita harus melakukan pekerjaan sendiri dengan baik dan menangani masalah domestik.”

Isi buku ini juga mencerminkan rasa tidak suka orang Cina pada kritik Barat mengenai Tibet, yang menjadi pemicu demonstrasi dan aksi boikot di berbagai kota di dunia China tahun lalu.

”Dengan Barat terkepung krisis, China harus mengambil lebih banyak prakarsa dan menghukum pemerintah-pemerintah yang mengharapkan bantuan Beijing, tetapi mengkritik China soal Tibet dan Taiwan,” kata para penulis itu. (Reuters/DI)

Rabu, 11 Februari 2009

Chinese trade Falling apart

Dec 11th 2008
From Economist.com

China produces dreadful trade figures, in a blow to the world economy

JUST how worrying are the figures, published on Wednesday December 10th, showing that China’s exports and imports plunged in November? Exports fell by 2.2% last month from a year ago; imports plummeted by an astonishing 17.9%. One analyst sums up the news as “a shock figure”.

The gloom is spread all over the place. Exports dropped across all big traded goods and all parts of the world. Exports to America fell by 6.1%; those to the ASEAN countries, which had grown by 21.5% in October, fell by 2.4%. The faster decline in imports meant that China’s monthly trade surplus reached a record $40.1 billion. Exports last fell in 2001.

Such numbers would be nasty enough for any big economy, but they are particularly shocking because China’s racing trade has been an engine of world trade, and thus global growth. During the 1990s China’s exports grew at an annual average of 12.9%; from 2000 to 2006 that growth nearly doubled to 21.1% each year, according to the World Bank. China's rapidly rising imports have also driven growth elsewhere. The chief economist of a Chinese bank calls the latest figures “horrifying”.

The rapidity of the decline is as striking as its extent. Trade growth in October was similar to preceeding months; exports grew by more than 19% from a year earlier. A sudden drop in just a month has surprised even the most pessimistic economists. Some analysts point out that a global shortage of trade finance in November may have exaggerated the decline, but the Chinese juggernaut is definitely stumbling.

The consequences for the Chinese economy, which has seen dizzying rates of growth since economic reforms began in 1978 (growth in the 1990s averaged 10.5%), could now be dire. Its growth is unusually driven by its exports, which have made it the world’s factory. According to the World Bank, 27% of world GDP in 2006 came from exports (up from 21% in 1990). The corresponding figures for China that year show it to be particularly dependent on exports: 40% of its GDP came from exports in 2006, compared with 11% for highly open America and 29% for Britain. Thus the potential for a drop in exports to drag down China’s growth is correspondingly greater.

The World Bank’s latest growth predictions were released on Tuesday. These predict that the Chinese economy will expand by 7.5% in 2009, well under its own calculation of 9.5% growth that it reckons China needs to keep unemployment stable. But even these calculations may prove to be overly optimistic. The Bank’s prediction rests in part on the expectation that China’s exports will rise by 4.2% next year. In fact many analysts expect the slump in trade to continue and possibly worsen; UBS, a Swiss bank, predicts that Chinese exports will not grow at all in 2009.

Chinese workers, who are already restive, may find the new year increasingly difficult. Labour disputes almost doubled in the first ten months of 2008 and sacked workers from closed toy factories rioted. If export growth ceases entirely, and jobs are threatened, social responses could be more severe. An estimated 130m people have moved from the countryside to the cities, many for jobs in factories that make goods for export. Zhang Ping, the country’s top planner, has given warning of the risk of social instability arising from massive unemployment.

The latest trade figures also worsen the already gloomy outlook for the rest of the world. Some were counting on China to prop up the global economy, as much of the rich world falls into recession. Merrill Lynch had expected China to contribute 60% of global growth in 2009. But the dramatic fall in imports suggest that the Chinese can not be relied on to be the consumer of last resort.

Analysts at Goldman Sachs expect several more months of shrinking exports. Speculation that China will devalue its currency is rife, but this would have little effect if world demand is simply collapsing. The experience of South Korea is instructive: its currency has fallen by a third against the dollar this year, but this did not prevent its exports from dropping by 18.3% in November, compared with a year ago. Unfortunately, this may not be enough to deter the Chinese government from trying to push down the yuan, which has appreciated significantly on a trade-weighted basis.

Fiscal stimulus is much more important; efforts to boost domestic demand would help both China and the world. Most analysts expect announcements about new measures on top of the $586 billion package already announced. Interest rates and taxes are likely to be cut further.

Minggu, 01 Februari 2009

Wen Jiabao at Davos Forum

Sunday, February 1, 2009
The China Post news staff

Chinese Prime Minister Wen Jiabao made a rare appearance this week at the World Economic Forum in Davos, Switzerland and gave the United States a polite lecture on economics.It may sound strange for a new proselyte of capitalism to tell the world's largest capitalist country how to manage its economy, but most in the audience listened and many even agreed.

What Wen said to the world's top business CEOs and government leaders was just common sense which was thrown out of the window by greedy American bankers and laissez-faire officials. "The global financial crisis was attributable to inappropriate macroeconomic policies of some economies and their unsustainable development model characterized by prolonged low savings and high consumption, and blind pursuit of profit," he said.

Although Wen did not blame the U.S. explicitly for the crisis, his reference was unmistakable. Like others in the audience China is a victim of the crisis; its gross domestic product growth shrank by 3% last year to 10% from 13% in 2007. China's fourth quarter GDP growth dropped to 6.5%, a new low in more than a decade, due to slumping exports. Despite the crisis, Wen was confident China's GDP would grow by the target 8% in 2009. The country will spend US$586 billion in 2009 and 2010 on infrastructure and social programs to create jobs and to play a constructive role in helping to revive the global economy, he said.

Wen's mild criticism of the U.S. could be taken as Beijing's response to Washington's recent accusation that it is manipulating its currency. Take note, President Obama. It's a shot across the bow.

Copyright © 1999 – 2009 The China Post.
Back to Story

Senin, 26 Januari 2009

Kerbau yang Tak Mendengus

Kompas,
Rabu, 21 Januari 2009 | 02:59 WIB

Oleh I Wibowo

Dalam sebulan penduduk China merayakan dua kali ”tahun baru”, tahun baru matahari dan tahun baru bulan. Yang pertama pada 1 Januari, yang kedua pada 26 Januari. ”Gongxi, gongxi!” Bagaimana rasanya mengucapkan ”selamat” pada dua kesempatan yang sama? Mungkin rasanya lebih ”mantap” pada kesempatan yang kedua karena memang sudah berakar dalam tradisi yang ribuan tahun.

Tetapi, mungkin sama tidak mantapnya karena tahun baru kali ini dibuka dengan perasaan galau. Tentu saja masih akan diucapkan Gongxi facai (semoga tambah kaya) pada awal Tahun Kerbau, tetapi berapa yang masih berani yakin bahwa kekayaannya bakal meningkat tahun ini?

Lihat saja bagaimana uang yang serba terbatas akan diputar. Para pemimpin China dua minggu lalu baru selesai mengadakan ”Konferensi Kerja tentang Ekonomi” di Beijing. Diputuskan pajak perusahaan akan dipotong sebesar satu persen dari yang sekarang sebesar lima persen. Ini akan menyuntikkan 120 miliar yuan (17,5 miliar dollar AS).

Selain itu, ambang pajak perorangan akan dinaikkan dari 2.000 yuan menjadi 3.000 yuan untuk menggenjot konsumsi domestik. Semua ini untuk mengiringi paket stimulus sebesar 586 miliar dollar AS yang diumumkan pada November tahun lalu. China memang memerlukan pertumbuhan sebesar 8 persen per tahun untuk menjaga agar tidak terjadi pengangguran (setiap tahun masuk 10 juta pencari kerja). Sementara itu, angka-angka ekonomi makro di China tidak terlalu menggembirakan, sama dengan banyak negara di dunia.

China memang ikut terseret dalam resesi akibat resesi di Amerika Serikat. Perusahaan memangkas buruh dan pegawainya, jumlah penganggur meningkat. Konsumen lebih suka menyimpan uangnya daripada membelanjakannnya. Bagaimana mungkin penduduk China bisa bergembira pada Tahun Kerbau yang semestinya menjanjikan kekayaan dan kegembiraan.

Sang Kerbau memang ada di situ, tetapi mungkin tidak kedengaran dengusnya. Pemerintah maupun rakyat China tahu dan sadar apa yang sedang terjadi saat ini. Perdana Menteri Wen Jiabao pada pertengahan Januari 2009 dengan jelas mengatakan bahwa krisis keuangan global saat ini merupakan ”ujian bagi bangsa”.

Membuat pusing

Bagi para petinggi Partai Komunis China, tahun 2008 sebenarnya sudah merupakan tahun penuh tantangan. Gejolak sosial makin kuat dan makin nyaring. Sepanjang tahun itu, ratusan bahkan ribuan petani dan buruh di banyak bagian China tidak takut mengadakan perlawanan atau protes atas ketidakadilan.

Pada bulan Mei terjadi gempa dahsyat di Provinsi Sichuan yang menelan ribuan nyawa, menghancurkan sebuah desa. Ini diiringi dengan protes besar-besaran di Tibet, yang mendapat sorotan tajam dari media internasional. Pada bulan September pecah kasus pencemaran susu dengan zat melamin yang berbuntut panjang, sampai ke seluruh dunia. Krisis keuangan global pada bulan yang sama hanya menambah deretan kekecewaan di antara para petinggi.

Sebuah survei nasional yang diadakan majalah Xiaokang bersama Sina.com pada tahun 2008 yang lalu menemukan, hanya satu dari lima orang di China yang merasa bahagia. Untung ada obat yang cukup kuat, yaitu Olimpiade Beijing pada musim panas, yang memberi hiburan.

Memasuki Tahun Kerbau, Partai Komunis China, sejatinya, pusing tujuh keliling melihat tumpukan masalah-masalah di atas. Sebuah negara modern, kata Habermas, didirikan atas dasar legitimasi ekonomi. Maka, kemunduran di bidang ekonomi tidak bisa tidak akan menimbulkan legitimation crisis. Ini yang membuat pusing para petinggi partai.

Sukses yang dicapai selama ini selalu didaku oleh partai sebagai bukti kehebatan partai dalam memimpin bangsa China. Ucapan Wen Jiabao di atas kiranya bukan basa-basi. Partai Komunis China harus berbuat sesuatu untuk keluar dari krisis, bahkan ke luar dengan kepala tetap tegak.

Jalan buntu

Ini sebabnya, kecuali menempuh kebijakan menyuntikkan dana sangat besar untuk stimulus ekonomi, Pemerintah China juga aktif menjalankan kebijakan poverty reduction, terutama di pedesaan. Negara memang berperan besar. Untuk meneduhkan rasa amarah dari petani dan buruh yang termarjinalisasi, partai menyerukan agar masyarakat China mengembangkan solidaritas antarindividu. Kampanye ”masyarakat yang padu” (hexie shehui) terus-menerus dikumandangkan di seluruh China. Hu Jintao, sekretaris jenderal partai dan sekaligus kepala negara, jelas tidak ingin main-main menghadapi krisis ini.

Ketika ditanya apakah China akan ikut mengatasi krisis keuangan global, kepala dan sekaligus CEO dari sovereign wealth fund China, Lou Jiwei, mengatakan dengan tegas bahwa China tidak berniat menanamkan investasinya di institusi keuangan di Barat, tidak juga berencana untuk ”menyelamatkan” dunia. Bagi China, yang nomor satu adalah menyelamatkan diri sendiri.

Memang dari tahun 1990 hingga 2008 China sebenarnya benar-benar berhasil menghindari gelombang globalisasi untuk meraih keuntungan, tanpa terkena berbagai guncangan yang berarti. Globalisasi yang digerakkan oleh motif keserakahan yang juga global, bagi China, kini dimaknai sudah masuk jalan buntu. Lebih baik China kembali ”ke dalam” dan berkonsentrasi ekonomi domestik.

Suasana sendu seperti ini, sialnya, persis bersamaan dengan perayaan sukses reformasi China. Tiga puluh tahun yang lalu, pada 30 Desember 1978, Komite Sentral memutuskan ”mereformasi dan membuka”, sebuah keputusan yang amat historis. Sepanjang waktu itu, China telah dipuji karena berhasil mengentaskan 500 juta orang dari kemiskinan.

Dari sebuah bangsa yang diejek sick man of Asia menjadi the rising China, China telah membuktikan kepada dunia bahwa reformasi itu benar-benar berhasil. Tetapi, persis pada klimaks kegembiraan ini, datanglah badai krisis finansial global yang menakutkan itu. Tiba-tiba muncul rasa waswas. Jangan-jangan ini ”saat yang menentukan” itu, yang diprediksi oleh banyak ekonom akan tiba pada suatu waktu.

Pada Tahun Kerbau 2009 China kiranya akan meneruskan reformasinya. Konsentrasinya ada pada masalah di dalam negeri, yang merentang dari ekonomi, politik, sampai sosial. China kiranya tidak berupaya bermain di panggung internasional, apalagi mengambil alih kepemimpinan AS di dunia atau di Asia Timur. Duet Hu Jintao dan Wen Jiabao kiranya cukup kuat untuk menahan terpaan badai yang sangat keras.

Dr I Wibowo, Ketua Centre for Chinese Studies, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia

Sabtu, 17 Januari 2009

China key to easing global recession

China Daily
January 17, 2009

The United Nations is counting on China as Asia's "locomotive" for global economic growth, it said in a high-level report released on Friday.

In the World Economic Situation and Prospects 2009, UN experts forecast China will achieve between 7 and 8.9 percent growth this year, with the most likely figure being 8.4 percent.

In contrast, the global economy is forecast to grow by just 1 percent, down from 2.5 percent last year.

The UN report, jointly prepared by the UN Department of Economic and Social Affairs, the UN Conference on Trade and Development and five regional commissions, said China contributed about 22 percent to the world's economic growth last year, and the figure is set to grow this year.

Commenting on the report to China Daily, Wang Tongsan, an economist with the Chinese Academy of Social Sciences, said: "It is beyond doubt that China will play a more important role in the world economy as the US and Japan experience setbacks."

The US economy is expected to slide 1 percent this year, while Japan's is forecast to drop by about 0.3 percent, he said.

So this year will see China making an "increased contribution to the world", Wang said.

The UN report also forecasts a continuing deceleration of economic activity in East Asia, with regional GDP growth expected to drop to 6 percent this year, down from 6.9 percent last year and 9 percent in 2007.

Weakened trade with Europe and the United States will curtail growth in most economies in Asia, including China, it said.

However, with $1.95 trillion in foreign exchange reserves and a balanced government budget, the UN report said that China still has room to adopt more expansionary fiscal policies.

China has already announced a $586 billion stimulus package (equivalent to 15 percent of the country's GDP) to boost its growth, the report said.

Premier Wen Jiabao told the media recently that further government spending was planned.

In contrast, the stimulus packages launched in some developed countries are too small, the report said.

"Governments are hesitant to move too quickly on such stimulus packages, fearing possible negative repercussions in the medium term," it said.

While the need for international policy coordination and cooperation is more pressing than ever, the UN said there is "no credible, institutionalized mechanism for international coordination of stimulus packages or monetary policies".

The IMF and World Bank should take the lead roles in enhancing international policy coordination, as well as in the participation of emerging and developing countries, it said.

"That is in line with the stance of the Chinese government," Zhu Baoliang, an economist with the State Information Center, said.

Source:China Daily

http://english.people.com.cn/90001/90776/90884/6575904.html

Sabtu, 10 Januari 2009

China to the rescue?

Stephen Marks (2008-12-17)

Stephen Marks looks at the rising influence of China in the global economy in the wake of the financial crisis. China’s top economic decision-makers, gathering for a key meeting in Beijing, were reported to be planning a new tax boost to the economy, as support was pledged to recession-hit firms from airlines to carmakers. But latest figures showed the recession’s impact was worse than expected. Officials began their annual three-day Central Economic Work Conference in Beijing, which sets the tone for policies for the coming year. Informed sources suggested they could cut business tax for enterprises by 1 percentage point from the current 5 percent which would amount to a 120 billion yuan ($17.5 billion) boost.

They were also said to be discussing raising the threshold of personal income tax from 2,000 yuan to 3,000 yuan a month to spur domestic consumption.

This follows the massive $586 billion stimulus package on announced on Nov 9. China needs at least 8 percent annual growth to employ the roughly 10 million people entering the job market each year.

At the same time emergency cash bailouts have been announced for China’s ailing airlines. The Financial Times reported on 10 December that China Eastern Airlines will receive a Rmb3bn ($437m) cash injection from the government, following an equal handout to China Southern Airlines with Air China, the third of China’s ‘big three’, expected to follow.

At the same time as they were promised continuing government assistance, the airlines were told to cut imports from abroad - a blow to manufacturers like Boeing and Airbus who were hoping a booming China market would help them through the recession.

Earlier, it was announced that Chery, one of China’s largest automakers, has arranged access to loans of up to Rmb10bn ($1.45bn) from the state-owned China Export Import Bank. The carmaker’s domestic sales have fallen in line with a sharp slowdown in Chinese car sales.

The news came as the China Association of Automobile Manufacturers announced a 10 per cent drop in November car sales in China, the world’s second largest market.

New figures showed China’s industrial production growing at what was said to be the weakest pace in nine years as exports slowed and the economy cooled.
.
According to the Financial Times: ‘exports fell in November for the first time in almost seven years. With demand in many of its main markets slowing sharply, Chinese exports declined 2.2 per cent from a year earlier. Imports also fell 17.9 per cent from a year earlier, according to Chinese customs figures, prompting the government to announce plans to further boost the economy.

‘The Chinese data shocked economists. The figures were far below forecasts, even in the light of sharp slumps in exports in November from both Taiwan and South Korea’.

This follows a warning from Central Bank Governor Zhou Xiaochuan that China needs to prepare for a “worst case scenario” as the global slump worsens.

Exporters of toys, clothes and furniture were reported to be cutting production or closing down, triggering a surge in labour disputes and increasing the risk of social unrest.

Nonetheless some business analysts remained optimistic about China’s business prospects as the massive stimulus package begins to kick in later next year.

Gao Xiqing, vice-chairman and President of China’s $200m sovereign wealth fund China Investment Corp, told the Financial Times that he will no longer risk investing in western financial institutions because of concerns about their viability and a lack of consistency in their governments’ policies.

And in a fascinating in-depth interview with ‘Atlantic’ magazine he reveals how he concluded years ago that financial derivatives are ‘bullshit’ and advises the West to ’be nice to the countries that lend you money’.

At the same time Lou Jiwei, the fund’s chairman and CEO, confirmed that China had no plans for further investments in Western financial institutions, nor did it have any plans to “save” the world through economic policies.

A similar message was delivered by senior Chinese officials as they lectured top US officials in Beijing for a top-level economic summit. As the Financial Times reported;

‘The US was lectured about its economic fragilities on Thursday as senior Chinese officials urged the administration to stabilise its economy, boost its savings rate and protect Chinese investments.

‘The message went to Hank Paulson, the US Treasury secretary, in Beijing for the strategic economic dialogue he helped launch to discuss long-term issues between the two countries.
...Wang Qishan, a vice-premier and leader of the Chinese delegation at the two-day talks, called on the US to take swift action to address the crisis.

“We hope the US side will take the necessary measures to stabilise the economy and financial markets as well as guarantee the safety of China’s assets and investments in the US,” he said....Although China also faces a rapidly slowing economy and rising unemployment, the tone of the comments reflected an underlying shift in power.’

Eswar Prasad, a senior fellow at the Brookings Institution, observed: “One result of the crisis is that the US no longer holds the high ground to lecture China on financial or macroeconomic policies.”

As Associated Press pointed out, ‘Beijing owns $585 billion in Treasury debt that has helped to finance U.S. budget deficits and its holdings of other U.S. assets are growing. But the weak dollar and financial turmoil have fueled Chinese anxiety about such investments.

Nonetheless US Treasury secretary Paulson stressed that continuing US engagement with China was producing results in getting the world economy through the crisis. And his team stressed that President-elect Obama’s transition team was being fully briefed.

And it seems likely that despite campaign noises hinting at protectionism and a strong line on Tibet and human rights issues, the Obama administration will also be committed to positive engagement. As Bloomberg reported;

‘With the U.S. now officially in a recession, China holds more cards than it did even a few months ago. Washington is more reliant on Beijing- the largest holder of U.S. Treasuries -- to buy more government securities to finance deficit spending...The upside of interdependence is that the two nations should be less likely now to take punitive measures against each other, says Nicholas Lardy, an economist who specializes in China at the Peterson Institute for International Economics in Washington. There’s no incentive for China to stop buying U.S. securities; it needs a safe investment for dollar reserves, and its growth depends on the health of the U.S. economy. Congress also may hesitate before demanding trade barriers against a country that’s the main source of cheap goods for budget- conscious consumers’

∗ Stephen Marks is a research associate with Fahamu’s China in Africa programme.

Source: http://www.pambazuka.org/en/category/africa_china/52762

Jumat, 09 Januari 2009

Hu Jintao's "bu zheteng" baffles foreign media

15:57, January 08, 2009


During the conference held on December 18 to commemorate the 30th anniversary of the reform and opening-up policy, after putting forward two major goals for the future, President Hu Jintao said that, "As long as we don't waver, don't slack off and don't ‘zheteng’ (折腾 in Chinese,get sidetracked), and as long as we firmly push forward reform and opening-up... we are certain to be able to successfully realize this grand blueprint and achieve the goals we are striving for."

Singapore's Lianhe Zaobao newspaper published an article on January 2 saying that, during the conference held by the Communist Party of China in commemoration of the 30th anniversary of the reform and opening-up policy, President Hu Jintao used in his speech a phrase from a northern Chinese dialect, "bu zheteng," something which has baffled the bilingual elite of Chinese and foreign media.

In demonstrating China's firm determination to walk the road of socialism, Hu used three "don'ts" in succession, saying, "As long as we don't waver, don't slack off and don't 'zheteng,' and as long as we firmly push forward reform and opening-up and walk the road of socialism with Chinese characteristics, we are certain to be able to successfully realise this grand blueprint and achieve the goals we are striving for."

According to the article, immediately after Hu used the phrase "bu zheteng", the audience at the Great Hall of the People burst out in a simultaneous laughter. In the official occasion of announcing the path to follow for a significant development, Hu, who was serious throughout his speech, suddenly used a colloquial expression, something which clearly sounded very intimate to the audience. However, the laughter also suggests that the audience understood what "zheteng" refers to and the connotation of "bu zheteng."

The author of the article believes that, since the country was founded by the Communist Party of China, the party has taken various wrong and ineffective paths, due to domestic and international factors. All previous political campaigns, the Anti-Rightist Movement and the Great Leap Forward, led to considerable damage to the nation's political and economical development. The Great Cultural Revolution, in particular, was the most harmful. Even the resolution of the reform and opening-up policy suffered a setback after 1989 and was not resumed until Deng Xiaoping's tour of the south of China in 1992. Today, all of the twists and turns as well as the mistakes made, are referred to as "bu zheteng", referring to the fact that China will not waste time in arguments about development direction and political conflicts, which are irrelevant to the development of the economy and can cause internal frictions. As well as targeting real issues, the phrase "bu zheteng" is characterized by great subtlety and precision.

Moving forward, for the international media that want to understand the thoughts of China, how can the phrase "bu zheteng" be translated?

Readers took the initiative to find all kinds of translations on the internet, such as "don't flip flop," "don't get sidetracked," "don't sway back and forth," "no dithering," as well as "no major changes."

When the above words were mentioned in casual conversations to colleagues from the English media, all agreed that none of the translations were adequate, since they do not convey the ideas of "chaos" and "self-consumption" associated with the word "zheteng."

Interestingly, during a press conference held by the State Council Information Office on December 30, when a reporter asked about "bu zheteng", the interpreter on site directly used the Chinese pinyin "bu zheteng" when referring to the phrase, drawing another round of laughter from the audience. Afterwards, this was praised by the Chinese media in articles saying that "bu zheteng" may become a proper noun in the English language.

After spending some time working on the translation of "bu zheteng", the Chinese pinyin "bu zheteng" has become its translation. It’s not the first time for Modern Chinese words to be added to the English vocabulary. Take spaceperson for example; North Americans use the word "astronaut," the former Soviet Union uses "cosmonaut," and now, since 2003, there has been a new word in space terminology, "taikonaut" (originating from Chinese pinyin "taikong," meaning outer space), which means Chinese spaceperson. As a country's national power grows, or it receives more attention, that particular country will have the opportunity to contribute to the vocabularies of foreign languages.

The article says that despite this, the official authoritative interpretation of "bu zheteng" is still absent, probably in order to leave ambiguous room for various interpretations. On the Internet, there are articles that highly praise the phrase "bu zheteng", saying that it demonstrates the wisdom of the Communist Party of China. At the same time, there are netizens that do not accept this, with some arguing that "ordinary people just want to live a trouble-free life and do not want any unnecessary trouble."

By People's Daily Online


http://english.people.com.cn/90001/90782/90873/6570469.html#

Selamat datang!

Anda telah memasuki blog "Belajar dari Cina" tempat kita akan berbagi data maupun teori tentang Cina.