Sabtu, 24 Oktober 2009

Cina, 60 Tahun Ke Depan

Majalah Tempo, 19 Oktober 2009


I.Wibowo

Selama 30 tahun terakhir ini, pembuat kebijakan luar-negeri Cina mengikuti petuah Deng Xiaoping yang dirumuskan dalam empat kata: tao guang yan hui. Terjemahan bebasnya: jangan pamer, jangan sok.Deng agaknya sudah melihat bahwa Cina akan bangkit dan kebangkitan Cina dapat membuat tetangga-tetangganya, dekat maupun jauh, merasa ketakutan. Taiwan yang paling pertama khawatir, lalu Jepang, lalu Korea Selatan, dan menyusul negara-negara di bagian tenggara Cina, seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.

Bahkan kecemasan ini menyeberang ke Samudra Pasifik, sampai ke daratan Amerika Serikat. Di lingkungan pengambil kebijakan Amerika muncul teori “China Threat Theory.” Memang teori ini sangat dipercayai oleh kalangan hawkish, tetapi juga sempat menular ke masyarakat luas. Sebagai satu-satunya negara adikuasa, semestinya Amerika Serikat tidak perlu risau dengan ancaman Cina.

Tidak heran bahwa pada tahun 2002 Cina mengeluarkan pernyataan bahwa kebangkitan Cina tidak akan menimbulkan ancaman. Dua kata dipakai “heping jueqi” (bangkit dengan damai). Cina benar-benar ingin menangkis pandangan bahwa kebangkitan ekonomi Cina akan menimbulkan kegoncangan pada tatanan internasional. Pada tahun 2007, pada kesempatan Konggres Partai Komunis ke-17, dikemukakan konsep hexie shejie (dunia yang harmonis). Konsep heping jueqi sendiri diperbaiki menjadi heping fazhan.

Pada saat yang sama Sekjen Partai, Hu Jintao juga melontarkan gagasan bahwa Cina harus mengembangkan soft power (ruan shi). Istilah ini sebenarnya dipakai oleh Joseph Nye untuk menjelaskan kondisi Amerika Serikat saat ini. Dengan soft power sebuah negara dapat membuat negara lain tunduk kepadanya karena adanya rasa kagum dan tertarik. Amerika Serikat “menaklukkan” dunia tidak hanya dengan senjatanya (hard power) tetapi juga dengan soft power berupa produk-produk kebudayaan yang digemari orang di seluruh dunia. Ketertundukan dan kekaguman seperti itulah yang diimpikan oleh Cina akan muncul di antara negara-negara di dunia.

Maka Cina sungguh giat untuk mengadakan langkah-langkah yang mengembangkan soft power-nya. Cina membuat siaran radio maupun TV yang setara dengan BBC ataupun CNN dan Al Jazeera. Saluran CCTV 4 (bahasa Mandarin) dan CCTV 9 (bahasa Inggris) kini dapat dijangkau di seluruh dunia. Cina juga bersemangat untuk mengirim misi kebudayaan ke seluruh dunia.

Langkah paling mengesankan adalah bantuan keuangan kepada negara-negara yang sedang berkembang di seluruh dunia. Bantuan ini diberikan dalam berbagai macam skema, yang disesuaikan dengan jenis dan tingkat kebutuhan negara tersebut. Di Afrika dan beberapa negara di Asia Tenggara, bantuan diberikan dalam bentuk bangunan, seperti rumah sakit, stadion olah raga, bendungan, dsb. Yang membuat bantuan Cina ini semakin menarik adalah bahwa bantuan itu tidak dikaitkan dengan syarat-syarat berat seperti yang dituntut oleh negara-negara donor dari Eropa atau Amerika.



Di Indonesia

Hubungan Indonesia-Cina tumbuh dan menjadi erat persis ketika Cina sedang mengembangkan soft power-nya. Pada tahun 2004, ketika pantai barat Aceh disapu badai tsunami, Cina termasuk negara pertama yang memberi bantuan kepada Indonesia. Begitu pula ketika pada tahun 2007, daerah Bantul, Yogyakarta, digoncangkan oleh gempa. Berturut-turut Pemerintah Cina memberikan bantuan kemanusiaan kepada Indonesia yang selama lima tahun terakhir terus-menerus dilanda aneka malepetaka alam.

Bantuan finansial yang paling besar diberikan oleh Pemerintah Cina kepada Pemerintah Indonesia adalah pembangunan Jembatan Suramadu. Proyek yang berjalan sejak tahun 2003 ini mengalami beberapa kali kesulitan dalam pembiayaan, tapi Pemerintah Cina tetap memberikan dukungan penuh, sehingga jembatan itu selesai pada bulan Juni 2009. Tidak diketahui persis berapa besar sumbangan dari pihak Cina, diperkirakan di kisaran US$ 800 juta. Bagi Pemerintah Cina, pembangunan jembatan ini dianggap sebagai simbol eratnya hubungan Indonesia dan Cina dan sekaligus juga bukti kepedulian Cina terhadap Indonesia.

Cina juga berusaha untuk memperkenalkan dirinya kepada sebanyak mungkin orang Indonesia. Urusan visa ke Cina dibuat sederhana dan tidak berbelit-belit sehingga banyak turis Indonesia yang berkunjung ke Cina. Khusus untuk birokrasi, Pemerintah Cina menyiapkan paket khusus. Setiap tahun Pemerintah Cina lewat Konselor Ekonomi mengundang sejumlah pejabat untuk berkunjung ke Cina. Acara ini biasanya kombinasi antara seminar dan sight-seeing. Ini belum termasuk kunjungan oleh anggota DPR, dan oleh pemimpin-pemimpin partai. Pemerintah Cina percaya akan pepatah lama yang mengatakan bai ting buru yi jian atau seratus kali mendengar tidaklah sama dengan sekali melihat! Semakin banyak orang Indonesia yang melihat kemajuan Cina, semakin pengaruh Cina dirasakan.

Respon dari masyarakat Indonesia terhadap soft power Cina juga positif. Secara perlahan-lahan masyarakat Indonesia menyukai produk kebudayaan yang datang dari Cina. Lagu-lagu Cina kini banyak dinyanyikan dalam pesta, juga banyak ditemui dalam bilik karaoke. Film-film Cina sudah lama disukai, terutama yang dari Hong Kong yang bertemakan peratarungan silat. Film Cina non-kungfu kini juga diterima baik, terutama film-film Cina yang telah memenangkan piala di gelanggang internasional. Bisa disebut di sini, Raise the Red Lantern, Farewell to My Concubine, To Live, dsb. Pada tahun 1999 kota-kota besar di Indonesia pernah dilanda “demam F4” sebuah film melodrama, yang menampilkan bintang-bintang film dari Taiwan.

Sementara itu masyarakat Indonesia memang sedang mengalami semacam “pembebasan” dalam hal segala sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan Cina. Mulai dari Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), disusul oleh Presiden Megawati, dan kemudian sekarang pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, undang-undang dan peraturan dari masa Orde Baru yang melarang eskpresi kebudayaan Cina dibatalkan. Kini banyak orang dapat bicara bahasa Mandarin dengan bebas, juga berpakaian cheong-sam. Pementasan tarian barongsai dan naga liong, misalnya, dapat ditonton di tempat-tempat umum. Pementasan ini mula-mula ditampilkan pada kesempatan tahun baru Imlek, tetapi kemudian juga di banyak kesempatan. Pembukaan restoran, peresmian toko atau mal, bahkan juga dipakai untuk kampanye selama pilkada atau pemilu.

Yang paling menarik perhatian adalah bahasa Mandarin. Selama tiga dekade bahasa ini dilarang untuk dipakai dan dipelajari. Ketika larangan itu dicabut, bahasa Mandrin seakan-akan meledak. Di mana-mana orang bicara bahasa Mandarin dan bicara bahasa Mandarin. Tempat-tempat kurus didirikan di banyak kota besar di Indonesia. Tidak lama kemudian banyak universitas mendirikan jurusan bahasa Mandarin, dan bahkan sekolah-sekolah menengah juga memasukkan bahasa Mandarin dalam kurikulum mereka. Padahal selama masa Orde Baru, bahasa Mandarin hanya dapat dipelajari di Universitas Indonesia, itupun dengan pengawasan. Di masa itu pula setiap penumpang pesawat terbang harus melaporkan kepada pabean sekiranya dia membawa barang-barang dalam bahasa Mandarin.

Pemerintah Cina – secara kebetulan – tengah melancarkan program pengajaran bahasa Mandarin ke seluruh dunia. Di banyak negara di dunia telah didirikan “Institut Konfusius” (Kongzi xueyuan) yang biasanya didirikan dalam sebuah universitas, baik yang sudah memiliki jurusan bahasa Mandarin maupun yang belum. Konon di seluruh dunia telah didirikan lebih dari 250 Institut Konfusius dan tersebar di 75 negara. Beberapa universitas di Indonesia telah menyambut kehadiran Institut Konfusius, yaitu Universitas Al-Azhar dan Universitas Brawijaya. Di samping itu Pemerintah Cina juga menyediakan jalur lain agar pengajaran bahasa Mandrin makin luas dipelajari, yaitu melalui HANBAN dan bekerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional. Lewat jalur ini sekolah-sekolah menengah juga mendapatkan guru-guru penutur asli.

Sejauh mana soft power China telah merebak di Indonesia? Pertanyaan ini sulit untuk dijawab. Untuk sementara dapat dikatakan bahwa Cina dan kebudayaannya telah diterima lagi di Indonesia. Lagu-lagu, film, makanan, pakaian, dan bahasa Mandarin disambut dengan baik oleh kalangan non-Cina. Selain itu kerja sama antara dua pemerintah juga berjalan tanpa hambatan. Kedua negara sepakat untuk mengadakan kerja sama di bidang energi (2002) dan disusul dengan kerja sama di kegiatan pertahanan (2007) Pada tahun 2005 kedua kepala negara menandatangani deklarasi “Kemitraan Strategis,” yang dapat dikatakan sebuah tanda bahwa persepsi negatif tentang Cina telah hilang.


Sukses Cina di Indonesia ini juga berulang di tempat-tempat lain di dunia. Banyak negara ingin merangkul dan dirangkul Cina. Namun, harus juga dikatakan bahwa soft power Cina masih perlu dilengkapi dengan promosi di bidang nilai-nilai. Pada akhirnya orang juga akan bertanya nilai-nilai kemanusiaan apa yang ingin ditebarkan oleh Cina, sehingga negara-negara lain sungguh kagum dan tertarik secara total. Nilai demokrasi yang diperlihatkan oleh Amerika Serikat terbukti merupakan daya tarik tersendiri sehingga soft power Amerika sulit untuk dibendung. Orang sering dibuat terkejut atas langkah-langkah Cina. Sangat mengagetkan, misalnya, ketika Cina memakai kekerasan untuk memadamkan kerusuhan di Tibet (2008) dan di Xinjiang (2009). Orang seakan-akan diingatkan bahwa ada suatu hal yang tidak bisa dikagumi di Cina. Demikian pula perlakuan Cina terhadap Dalai Lama, tokoh yang dihormati di seluruh dunia.

Soft power Cina sudah besar tetapi belum cukup besar. Supaya dunia yakin bahwa Cina memang tidak mengandalkan hard power, dunia mengharapkan bahwa Cina tidak hanya menyebarluaskan bahasanya, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan yang sudah ada akarnya dalam kebudayaannya. Soft power kiranya harus dikembangkan bukan sebagai sebuah strategi diplomasi semata, tetapi juga sebagai komitmen yang otentik. Mungkin ini PR penting untuk Cina 60 tahun ke depan?

I.Wibowo adalah staf pengajar pada Departemen Hubungan Internasional, FISIP-UI, dan Ketua “Centre for Chinese Studies,” FIB-UI.

60 Tahun RRC

60 Tahun RRC

Kompas, Kamis, 1 Oktober 2009

I Wibowo

Salah satu bangunan yang muncul di tengah kota Beijing dan menggegerkan masyarakat China pada tahun 1992 adalah gerai makanan cepat saji McDonald’s. Masyarakat Beijing terenyak atas datangnya makanan Amerika Serikat ini dan menyambutnya dengan penuh gairah, lebih bergairah ketimbang ketika dibuka di Shenzhen pada 1990.

Mereka bersemangat menyambut produk AS yang paling terkenal di seluruh dunia itu, tak peduli dengan harga yang mahal. Dalam waktu singkat, gerai makanan cepat saji yang menjadi ikon Amerika ini telah merebak di kota Beijing dan juga kota-kota lain di China.

Tiga puluh tahun kemudian tidak ada produk AS yang tidak ada di China. Makanan, minuman, pakaian, sepatu, tas, mainan, mobil, dan lainnya yang berasal dari AS menguasai pasar China. Tentu saja komputer asal AS yang terkenal. Segala jenis barang dan jasa yang berasal dari AS telah masuk dan diterima di China.

Gairah ini tidak hanya tampak di tingkat pemimpin, tetapi juga di kalangan intelektual dan rakyat jelata. Dan akhirnya adalah cita-cita pembangunan bangsa itu sendiri.

Apa cita-cita pembangunan China saat ini? Menandingi AS. China menjadikan AS sebagai sasaran dan tatapan matanya. Apa yang dilakukan oleh AS, China harus dapat melakukan. Apa yang dapat dicapai oleh AS, China harus dapat mencapainya.

Yang hebat di AS harus juga dapat dibuat di China, bahkan mungkin lebih hebat lagi. Kota New York harus dibangun juga di China dan terlaksana di Shanghai. AS dapat mengirim manusia ke ruang angkasa, China segera mengejarnya dan sudah berhasil mengirimkan ”taikonot” mereka keliling bumi.

Ketika Yao Ming direkrut menjadi pemain basket profesional (NBA) di AS, orang China tidak hentinya menceritakan peristiwa ini. Begitu pula kemenangan atlet-atlet China pada Olimpiade Beijing (2008) sebagai juara umum. Mereka bangga bahwa China dapat melewati AS.

Dalam perdagangan, China mampu menaklukkan AS sehingga negeri Paman Sam ini mengalami defisit besar. Koran-koran China pasti memuat berita yang memperlihatkan angka statistik dalam hal apa saja jika itu menyamai atau melebihi AS.

Awal 2009 ini, China boleh amat bangga bahwa untuk pertama kalinya posisi China diperhitungkan setara oleh AS. Adalah Robert Zoelick, Direktur Bank Dunia, yang pertama melontarkan gagasan bahwa krisis keuangan global saat ini hanya bisa diselesaikan oleh G-2.

Maksudnya adalah AS dan China. Gagasan ini menguat, lalu masuk China, dan membuat banyak intelektual China berbunga-bunga. Krisis keuangan global yang mulai pada September 2008 memang telah mengubah seluruh tata ekonomi dunia, termasuk hubungan China dan AS.

Mengejar AS

Mengapa Amerika Serikat?

Jika memerhatikan retorika akhir tahun 1950-an hingga 1960-an, tak terbayangkan bahwa China mengagumi AS. Bersama Stalin dan Khruschev, Mao mengkritik dan mengecam AS sebagai gembong kapitalis terbesar.

Namun, jika melacak hingga ke tahun 1930-an, pemimpin elite China (baik Chiang Kai-shek maupun Mao Zedong) sebenarnya menyimpan rasa kagum yang besar terhadap AS. Mao tercatat amat mengagumi presiden pertama Amerika, George Washington. Persahabatannya dengan Edgar Snow, wartawan Amerika, pernah mendorong dia untuk berpikir mengadakan kerja sama dengan AS untuk mengusir Jepang (He Di, 1994).

Paling jelas ketika Mao melancarkan Lompatan Jauh ke Depan pada 1959. Mao mengatakan mau mengejar AS dalam 15 tahun dan Inggris dalam 10 tahun. Padahal, program itu adalah program untuk menciptakan masyarakat komunis!

Alasan geopolitik mungkin berperan, tetapi alasan lain jelas bermain. Ketika Mao mau berjabat tangan dengan Nixon pada tahun 1972, proses normalisasi pun bergulir. Mao tidak menyaksikan normalisasi hubungan dengan AS, tetapi penggantinya, Deng Xiaoping, jelas mempunyai visi yang sama. Puncaknya adalah pada tahun 1979 ketika China dan AS setuju untuk membuka hubungan diplomatik.

Beberapa pekan kemudian Deng Xiaoping terbang ke AS, mengadakan tur ke beberapa kota. Selama di AS, Deng tak henti berdecak kagum atas kemajuan AS, terutama di bidang teknologi. Bersamaan dengan itu, seluruh masyarakat China dilanda ”demam Amerika”.

Dalam studinya tentang persepsi China terhadap AS pada akhir tahun 1980-an, David Shambaugh menemukan bahwa di lingkungan kader elite Partai Komunis China memang sudah ada rasa kagum yang kuat terhadap AS. Meski masih gencar menulis kritik terhadap ”imperialisme AS”, mereka tetap mengagumi AS. Imperialis namun dikagumi. Maka buku Shambaugh pun diberi judul Beautiful Imperialist.

Pada tahun 1997, persis ketika China dan AS terbekap aneka macam perselisihan, polling oleh Institut Pendapat Publik, Universitas Renmin, menemukan sikap positif masyarakat China terhadap AS. Bahkan, ditemukan bahwa masyarakat China mempunyai sikap yang lebih positif terhadap orang AS daripada terhadap orang Jepang, Jerman, dan Rusia.

Ketika pada tahun-tahun itu muncul buku-buku yang anti-Amerika sekalipun, kekaguman terhadap kemajuan AS tidaklah luntur. Hasil yang sama tampak dalam penelitian tahun 2005 oleh Global Times. Responden amat positif terhadap kemajuan ekonomi, kemajuan sains dan teknologi, serta kebudayaan Amerika. Hal ini menjadi kian menarik ketika dibaca dengan latar belakang persepsi yang negatif terhadap AS yang sedang melanda dunia saat ini (Kohut and Stokes, 2006).

Gaya gravitasi dari Amerika

Sejak kekalahan memalukan pada Perang Candu 1840, China sebagai bangsa sangat bertekad untuk belajar dari bangsa lain karena China merasa tidak mungkin memperbaiki diri dengan Konfusianisme.

Mula-mula China menoleh ke Eropa, mengirim banyak mahasiswa ke Eropa, terutama Perancis. Mereka mau menimba cita-cita Revolusi Prancis untuk dipakai mengubah keterpurukan bangsanya. Demonstrasi besar oleh mahasiswa pada 4 Mei 1919 menolak Konfusius dan Konfusianisme, serta memilih ”Mr Science and Mr Democracy” sebagai solusi masalah.

”Gerakan 4 Mei” ternyata tidak bertahan lama, digantikan dengan kekaguman akan Revolusi Bolshevik pada 1917.

Sekelompok besar orang China bertekad menanamkan Marxisme dan komunisme serta meniru Rusia (Uni Soviet). Mereka mendirikan partai politik dan sejak 1949 hingga tiga dekade ke depan menerapkan model Uni Soviet di China.

Namun, gerakan komunisme ini tidak memuaskan bangsa China. Kegagalan itu membuat China memikir ulang sikapnya terhadap AS, musuh besarnya. Mao dan kemudian Deng membuka jalan bagi perubahan ini. Ketika ”Reformasi dan Keterbukaan” diumumkan tahun 1978, China menempatkan Amerika yang kapitalis sebagai target untuk dicapai.

Selama tiga dekade kedua, AS telah menjadi sumber inspirasi, sedemikian rupa, sehingga China seolah-olah tidak dapat hidup tanpa AS. Kini China memandang AS sebagai penghela jalan sejarahnya ke masa depan. Banyak hal yang telah dicapai oleh AS ingin dikejar oleh China. Dan yang belum dicapai oleh China akan terus dikejar. Mungkin dalam hati orang China tebersit keinginan bahwa AS tidak boleh lenyap agar mereka tetap dapat mengalami gaya gravitasi yang muncul dari AS.

Hal ini tidak berarti bahwa terjadi penjiplakan mentah-mentah. China tidak akan, bahkan tidak mungkin, menjadi kembaran AS. Walaupun bermimpi untuk menjadi seperti AS, China telah berhasil melahirkan sendiri ”model China”. Mungkin lebih tepat untuk dikatakan bahwa AS telah menimbulkan gaya gravitasi yang luar biasa kuat sehingga China seakan-akan terus terarah ke sana meski tidak terperangkap di dalamnya.

Ketika mereka memperjuangkan demokrasi pada tahun 1989, para mahasiswa dan intelektual mendirikan replika Patung Liberty yang ada di New York. Perjuangan yang berubah menjadi drama berdarah ini mengungkapkan kerinduan terdalam sebagian warga China untuk meniru dan mengejar AS dalam hal mendirikan negara yang demokratis.

Mungkin hal ini hanya keinginan yang tertunda, yang akan terlaksana pada waktunya nanti. Pada ulang tahun ke-60 ini China tetap dapat memandang AS sebagai inspirator pembangunannya.

I Wibowo Pengajar pada Departemen Hubungan Internasional FISIP-UI; Ketua Centre for Chinese Studies FIB-UI

Selamat datang!

Anda telah memasuki blog "Belajar dari Cina" tempat kita akan berbagi data maupun teori tentang Cina.