Empat belas tahun lalu saya meninggalkan Shenzhen, dan baru minggu lalu kembali ke sana. Saya hanya terkesima: kota itu sekarang berpenduduk 12 juta, dengan pendapatan rata-rata US$ 3000. Fasilitas kota ini terbilang aduhai. Dalam empat belas tahun itu Shenzhen membangun kereta api bawah tanah, membangun gedung konser yang anggun, mendirikan perpustakaan umum yang megah, tentu saja gedung dan jalan yang serba mulus. Kota itu bersih, tidak ada sampah, tidak ada baliho iklan yang berceceran di mana-mana dan mencemari pemandangan. Jangan lupa dua taman kebudayaan yang luas, "Window of the World" (taman kebudayaan dunia) dan "Zhongguo minyu wenhua cun" (taman kebudayaan Cina)
Shenzhen memang pantas dipakai sebagai ujung tombak reformasi Cina karena mulai dari Shenzhen kapitalisme masuk Cina. Sekaligus juga Shenzhen merupakan model pembangunan Cina yang berciri "state-led". Dan tentu saja Shenzhen adalah eksperimen sukses Cina mengadakan "zona ekonomi khusus." Kalau Shanghai sering dianggap sebagai "icon" keberhasilan pembangunan Cina, Shenzhen benar-benar adalah "legenda" model pembangunan Cina karena, berbeda dari Shanghai yang punya sejarah gemilang di tahun 1930-an, Shenzhen mulai dari sebuah desa nelayan berpenduduk 3000 orang. Tidak salah kalau KBRI di Cina mengadakan seminar “30 tahun reformasi Cina” di kota yang amat historis itu.
Sumberdaya manusia
Selama diskusi untuk menguak keberhasilan Cina, orang cenderung untuk menunjuk kepada keberanian Deng Xiaoping untuk memasukkan sistem pasar dan dengan demikian memasukkan kapitalisme. Tanggal yang biasa ditunjuk adalah 30 Desember 1978, ketika Sidang Pleno III Komite Sentral Partai berakhir dan mengesahkan rencana “reformasi dan keterbukaan”. Sejak saat itu orang menyaksikan akselerasi perubahan dari sistem ekonomi komando ke sistem ekonomi pasar. Tidak heran kalau orang segera menyatakan bahwa keberhasilan reformasi Cina karena Cina menjalankan sistem kapitalisme! Seolah-olah kapitalisme menyelamatkan Cina!
Yang banyak orang lupa adalah bahwa reformasi Cina tidaklah mulai dari nol. Antara 1949-1978 (30 tahun), Cina telah mengadakan pembangunan fisik yang mengagumkan. Meskipun mengikuti model Uni Soviet, industri berat maupun ringan di Cina telah terjadi. Peleburan bijih besi ataupun produksi baja telah ada di Cina sejak tahun 1960-an. Minyak telah disuling di Cina juga sejak tahun 1960-an. Di bidang industri manufaktur, Cina telah menghasilkan sendiri bahan pakaian yang cukup untuk 700 juta penduduknya. Infrastruktur yang hancur lebur selama perang juga dibangun pada masa 30 tahun itu, terutama kereta api.
Namun yang lebih penting adalah pendidikan. Pemerintah komunis di mana-mana mempunyai komitmen yang sangat kuat untuk meningkatkan pendidikan warganegaranya. Hal ini terjadi juga di Cina. Walaupun terjadi perdebatan sengit tentang hakekat pendidikan (elitisme!), pendidikan tidak pernah ditelantarkan di Cina. Wajib belajar telah diterapkan sejak tahun 1950-an. Maka tingkat “buta huruf” (illiteracy) di Cina pada masa Mao sangat rendah, kurang dari 7%. Untuk mendukung usaha ini, Pemerintah Cina pada waktu itu giat memperkenalkan aksara yang sudah disederhanakan, dalam arti mengurangi jumlah guratan dibanding yang dipakai pada masa kekaisaran.
Kecuali pendidikan, Pemerintah Mao mampu meningkatkan kualitas hidup, life expectancy meningkat dari 35 tahun (sebelum 1949) sampai ke 70 tahun (1978). Ini berkat sistem kesejahteraan sosial yang diterapkan di Cina – juga sejak 1950-an – yang menyediakan secara amat murah pelayanan kesehatan, perumahan, listrik, air. Buruh bekerja delapan jam per hari, enam hari seminggu. Selama setahun buruh berhak mendapatkan seminggu libur dan tetap digaji, di samping tiga minggu untuk kunjungan keluarga! Di pedesaan sistem irigasi sudah berjalan, pabrik-pabrik kecil sudah tersebar di komune-komune.
Dari sudut sumber daya manusia, Cina pada awal reformasi sudah memiliki modal yang amat besar. Ketika reformasi dimulai 30 tahun yang lalu, Cina dapat memobilisasi semua ini. Misalnya, perusahaan-perusahaan tidak menghadapi kendala dalam hal kemampuan baca dan berhitung dari mereka yang melamar kerja. Ketika universitas-universitas membuka pintu lagi pada 1979, tidak banyak pemuda-pemuda Cina yang terhambat dalam proses belajarnya karena buta huruf. Para lulusan universitas ini, pada gilirannya, dapat mengisi kebutuhan produksi ketika investor-investor asing masuk ke Cina. Seandainya Cina pada masa Mao tidak peduli dengan pendidikan (terutama dasar dan menengah), pada masa awal reformasi, pertumbuhan ekonomi Cina pasti mengalami bottle neck yang tak terkirakan.
Pertumbuhan ekonomi Cina pada masa Mao (1952-1978) sebenarnya cukup bagus, sekitar 6 persen (Barry Naughton, 1995). Masalah utama yang dihadapi di Cina pada awal masa reformasi adalah bahwa tenaga produktif di Cina terkekang oleh sistem ekonomi komando. Lulusan universitas, misalnya, tidak bebas mencari pekerjaan tetapi ditempatkan oleh negara, dan sangat sering tidak sesuai dengan bakat maupun keinginan si mahasiswa. Dibubarkannya sistem ekonomi komando, dalam arti sesungguhnya “membebaskan” tenaga produktif itu. Terjadilah semacam “ledakan” enerji yang dengan tepat disalurkan, sehingga proses produksi di Cina mengalami percepatan luar biasa. Dengan dibebaskannya tenaga produktif itu, pertumbuhan ekonomi dipercepat, malah seakan-akan menjadi tidak terkendali.
Bukan sumberdaya alam
Cina pada hakekatnya adalah negara yang miskin sumberdaya alam, sebagian besar wilayahnya berupa padang gurun yang tandus. Dibandingkan dengan Indonesia yang sedemikian kaya sumberdaya alam di darat maupun di laut, Cina sungguh-sungguh miskin. Dubes RI di Cina, Sudradjat, dengan tepat menunjuk kepada keberhasilan Cina di bidang pendidikan sebagai kunci terpenting reformasi Cina, terutama pada tahap awalnya. Cina memiliki sumberdaya manusia yang berkualitas untuk mengatasi keterbatasan sumberdaya alam. Ketika reformasi memasuki tahap yang lebih tinggi, Cina dapat dengan lebih mudah mengembangkan sumberdaya manusia itu. Akan halnya kekurangan sumberdaya alam, Cina dapat menutupnya dengan memperolehnya (impor) dari negara-negara lain. Yang terjadi di Indonesia, justru kebalikannya. Kekayaan alam dieksploitasi sampai habis, sementara pengembangan sumberdaya manusia diabaikan. Barangkali ini dapat menjelaskan mengapa reformasi Indonesia selama 30 tahun (selama Orde Baru) tidak sustainable, dan ketika reformasi kedua setelah 1998 diadakan juga memperlihatkan kecenderungan yang sama.
1 komentar:
Indonesia begitu lemah dalam mendorong perubahan selain karena burknya tata kelola pemerintahan, juga karena lemahnya kepemimpinan nasional. Tdk ada figur kuat seperti Mao atau Deng yang bisa menjembatani berbagai kepentingan pada tubuh negara (PKC), yang juga mengkonsolidasikan kekuatan2 politik yang ada untuk mendorong sebuah pembaruan.Akibatnya tidak ada kesinambungan dan konsistensi kebijakan antar generasi pemerintahan.Energi bangsa lebih banyak terkuras untuk politik kekuasaan daripada menyusun suatu peta jalan untuk pembaruan Indonesia ke depan.Negara ini pun sesungguhnya tidak kekurangan orang2 pintar untuk turut bekerja demi kemajuan bangsanya. Hanya saja sejauh mana kemauan & kemampuan untuk mengaomodasi & memobilisasi potensi yang 'tersembunyi' tersebut. Tentunya ini juga memuat konsekuensi politis spt sy sbt sblmnya: bgmn mengerahkan kekuasaan sbg 'energy of conduct' utk mendorong pembaruan di Indonesia. Salam, Nanda Akbar
Posting Komentar