Senin, 26 Januari 2009

Kerbau yang Tak Mendengus

Kompas,
Rabu, 21 Januari 2009 | 02:59 WIB

Oleh I Wibowo

Dalam sebulan penduduk China merayakan dua kali ”tahun baru”, tahun baru matahari dan tahun baru bulan. Yang pertama pada 1 Januari, yang kedua pada 26 Januari. ”Gongxi, gongxi!” Bagaimana rasanya mengucapkan ”selamat” pada dua kesempatan yang sama? Mungkin rasanya lebih ”mantap” pada kesempatan yang kedua karena memang sudah berakar dalam tradisi yang ribuan tahun.

Tetapi, mungkin sama tidak mantapnya karena tahun baru kali ini dibuka dengan perasaan galau. Tentu saja masih akan diucapkan Gongxi facai (semoga tambah kaya) pada awal Tahun Kerbau, tetapi berapa yang masih berani yakin bahwa kekayaannya bakal meningkat tahun ini?

Lihat saja bagaimana uang yang serba terbatas akan diputar. Para pemimpin China dua minggu lalu baru selesai mengadakan ”Konferensi Kerja tentang Ekonomi” di Beijing. Diputuskan pajak perusahaan akan dipotong sebesar satu persen dari yang sekarang sebesar lima persen. Ini akan menyuntikkan 120 miliar yuan (17,5 miliar dollar AS).

Selain itu, ambang pajak perorangan akan dinaikkan dari 2.000 yuan menjadi 3.000 yuan untuk menggenjot konsumsi domestik. Semua ini untuk mengiringi paket stimulus sebesar 586 miliar dollar AS yang diumumkan pada November tahun lalu. China memang memerlukan pertumbuhan sebesar 8 persen per tahun untuk menjaga agar tidak terjadi pengangguran (setiap tahun masuk 10 juta pencari kerja). Sementara itu, angka-angka ekonomi makro di China tidak terlalu menggembirakan, sama dengan banyak negara di dunia.

China memang ikut terseret dalam resesi akibat resesi di Amerika Serikat. Perusahaan memangkas buruh dan pegawainya, jumlah penganggur meningkat. Konsumen lebih suka menyimpan uangnya daripada membelanjakannnya. Bagaimana mungkin penduduk China bisa bergembira pada Tahun Kerbau yang semestinya menjanjikan kekayaan dan kegembiraan.

Sang Kerbau memang ada di situ, tetapi mungkin tidak kedengaran dengusnya. Pemerintah maupun rakyat China tahu dan sadar apa yang sedang terjadi saat ini. Perdana Menteri Wen Jiabao pada pertengahan Januari 2009 dengan jelas mengatakan bahwa krisis keuangan global saat ini merupakan ”ujian bagi bangsa”.

Membuat pusing

Bagi para petinggi Partai Komunis China, tahun 2008 sebenarnya sudah merupakan tahun penuh tantangan. Gejolak sosial makin kuat dan makin nyaring. Sepanjang tahun itu, ratusan bahkan ribuan petani dan buruh di banyak bagian China tidak takut mengadakan perlawanan atau protes atas ketidakadilan.

Pada bulan Mei terjadi gempa dahsyat di Provinsi Sichuan yang menelan ribuan nyawa, menghancurkan sebuah desa. Ini diiringi dengan protes besar-besaran di Tibet, yang mendapat sorotan tajam dari media internasional. Pada bulan September pecah kasus pencemaran susu dengan zat melamin yang berbuntut panjang, sampai ke seluruh dunia. Krisis keuangan global pada bulan yang sama hanya menambah deretan kekecewaan di antara para petinggi.

Sebuah survei nasional yang diadakan majalah Xiaokang bersama Sina.com pada tahun 2008 yang lalu menemukan, hanya satu dari lima orang di China yang merasa bahagia. Untung ada obat yang cukup kuat, yaitu Olimpiade Beijing pada musim panas, yang memberi hiburan.

Memasuki Tahun Kerbau, Partai Komunis China, sejatinya, pusing tujuh keliling melihat tumpukan masalah-masalah di atas. Sebuah negara modern, kata Habermas, didirikan atas dasar legitimasi ekonomi. Maka, kemunduran di bidang ekonomi tidak bisa tidak akan menimbulkan legitimation crisis. Ini yang membuat pusing para petinggi partai.

Sukses yang dicapai selama ini selalu didaku oleh partai sebagai bukti kehebatan partai dalam memimpin bangsa China. Ucapan Wen Jiabao di atas kiranya bukan basa-basi. Partai Komunis China harus berbuat sesuatu untuk keluar dari krisis, bahkan ke luar dengan kepala tetap tegak.

Jalan buntu

Ini sebabnya, kecuali menempuh kebijakan menyuntikkan dana sangat besar untuk stimulus ekonomi, Pemerintah China juga aktif menjalankan kebijakan poverty reduction, terutama di pedesaan. Negara memang berperan besar. Untuk meneduhkan rasa amarah dari petani dan buruh yang termarjinalisasi, partai menyerukan agar masyarakat China mengembangkan solidaritas antarindividu. Kampanye ”masyarakat yang padu” (hexie shehui) terus-menerus dikumandangkan di seluruh China. Hu Jintao, sekretaris jenderal partai dan sekaligus kepala negara, jelas tidak ingin main-main menghadapi krisis ini.

Ketika ditanya apakah China akan ikut mengatasi krisis keuangan global, kepala dan sekaligus CEO dari sovereign wealth fund China, Lou Jiwei, mengatakan dengan tegas bahwa China tidak berniat menanamkan investasinya di institusi keuangan di Barat, tidak juga berencana untuk ”menyelamatkan” dunia. Bagi China, yang nomor satu adalah menyelamatkan diri sendiri.

Memang dari tahun 1990 hingga 2008 China sebenarnya benar-benar berhasil menghindari gelombang globalisasi untuk meraih keuntungan, tanpa terkena berbagai guncangan yang berarti. Globalisasi yang digerakkan oleh motif keserakahan yang juga global, bagi China, kini dimaknai sudah masuk jalan buntu. Lebih baik China kembali ”ke dalam” dan berkonsentrasi ekonomi domestik.

Suasana sendu seperti ini, sialnya, persis bersamaan dengan perayaan sukses reformasi China. Tiga puluh tahun yang lalu, pada 30 Desember 1978, Komite Sentral memutuskan ”mereformasi dan membuka”, sebuah keputusan yang amat historis. Sepanjang waktu itu, China telah dipuji karena berhasil mengentaskan 500 juta orang dari kemiskinan.

Dari sebuah bangsa yang diejek sick man of Asia menjadi the rising China, China telah membuktikan kepada dunia bahwa reformasi itu benar-benar berhasil. Tetapi, persis pada klimaks kegembiraan ini, datanglah badai krisis finansial global yang menakutkan itu. Tiba-tiba muncul rasa waswas. Jangan-jangan ini ”saat yang menentukan” itu, yang diprediksi oleh banyak ekonom akan tiba pada suatu waktu.

Pada Tahun Kerbau 2009 China kiranya akan meneruskan reformasinya. Konsentrasinya ada pada masalah di dalam negeri, yang merentang dari ekonomi, politik, sampai sosial. China kiranya tidak berupaya bermain di panggung internasional, apalagi mengambil alih kepemimpinan AS di dunia atau di Asia Timur. Duet Hu Jintao dan Wen Jiabao kiranya cukup kuat untuk menahan terpaan badai yang sangat keras.

Dr I Wibowo, Ketua Centre for Chinese Studies, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Selamat datang!

Anda telah memasuki blog "Belajar dari Cina" tempat kita akan berbagi data maupun teori tentang Cina.