Senin, 13 April 2009

CINA DAN KITA

Kompas, 22 April 2009


Cina baru-baru ini mengungkapkan kemarahannya kepada Amerika Serikat (AS) sehubungan dengan laporan tahunan Pentagon tentang militer Cina. Disebutkan bahwa Cina kini menjadi “ancaman” di Asia Timur, terutama Taiwan. Bukti yang dikemukakan adalah kenaikan anggaran pertahanan Cina, yang terus naik dari tahun ke tahun (Kompas, 27 Maret 2009). Tentu saja Pemerintah Cina menolak tuduhan tersebut dengan mengajukan argumen bahwa pengeluaran sebesar itu masih pada tahap wajar untuk sebuah negara sebesar itu. Tapi AS masih membalas bahwa Cina sangat mungkin mengeluarkan anggaran yang lebih besar lagi karena Cina dianggap tidak transparan dalam hal yang satu ini.
Sebelum itu, hubungan Cina-AS sempat memanas ketika kapal-kapal Cina pada 10 Maret 2009 memergoki kapal mata-mata AS, USNS Impeccable, di Laut Cina Selatan. Cina menuduh Amerika telah memasuki wilayah perairan mereka, sementara Amerika membela diri dengan mengatakan bahwa kapalnya masih ada di wilayah internasional. Situasi juga memanas, masing-masing pihak melemparkan tuduhan dan kecaman.

Sengketa ini Laut Cina Selatan tidak sampai meluas, akan tetapi ini memperlihatkan bahwa Cina mempunyai hak yang harus diakui di Luat Cina Selatan. Amerika perlahan-lahan – suka, tidak suka – harus menerima kenyataan ini. Sehari sesudah insiden dengan Amerika Serikat, Cina memprotes Filipina yang mengesahkan undang-undang perbatasan laut, yang mencakup kepulauan Spartly (Nansha). Akibatnya, rencana pertemuan tingkat tinggi antara Presiden Gloria Macapagal-Arroyo dan Sekretaris Jendral Parlemen Cina, Li Jianguo, ditunda sampai waktu yang tak terbatas.

Cina setapak demi setapak telah memperlihatkan diri sebagai sebuah kekuatan yang harus diperhitungkan, terutama di Asia Timur (Timur Laut plus Tenggara). Proses ini sudah berlangsung sejak masa pemerintahan George W. Bush, yang memberi perhatian lebih besar pada Timur Tengah. Selama delapan tahun Cina dapat dikatakan mengembangkan baik soft power maupun hard power yang dimilikinya. Cina menjadi kekuatan yang serentak disegani dan ditakuti. Negara-negara di Asia Timur kini harus berhati-hati dalam (1) berhubungan dengan Taiwan, (2) berhubungan dengan Falun Gong, (3) berhubungan dengan Dalai Lama. Cina akan memakai himbauan, seruan, protes hingga ancaman kepada negara-negara yang melanggar tiga hal itu. Laut Cina Selatan memang sedang dipetieskan, tetapi hal ini juga tidak akan dibiarkan berlalu begitu saja kalau ada pihak-pihak yang berani mengutik-utiknya.

Big three
Sebuah artikel yang ditulis oleh Parag Kahnna di New York Times Magazine (27 Januari 2008) dengan jelas mengatakan bahwa dunia Abad XXI akan dikuasai oleh “Big Three” yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Cina. Negara-negara lain yang sering disebut “emerging markets” disebutnya sebagai “second world” yang bernasib menjadi tempat persaingan dan pertarungan dari Big Three tersebut. Lebih jauh dikatakan bahwa masing-masing kekuatan itu akan beroperasi di wilayah mereka masing, walaupun tidak terutup kemungkinan mereka juga akan saling menyusupi wilayah itu. Uni Eropa bergerak di Afrika dan Timur Tengah, Amerika di Amerika Utara dan Selatan, sementara Cina akan menancapkan kekuatannya (lunak maupun keras) di Asia Timur.

Analisis ini mirip dengan Robert Kagan, yang kecuali Amerika, Eropa dan Cina, masih memasukkan Rusia sebagai kekuatan , juga Jepang, India dan Iran. Dalam bukunya The Return of History and the End of Dreams (2008) , Kagan menghitung bahwa dunia akan dikuasai oleh negara-negara itu. Negara-negara kecil lain, tidak masuk dalam hitungan. Tapi, baik Kahnna maupun Kagan, sepakat bahwa pengaruh Amerika Serikat tidak lagi sebesar di masa lampau. Amerika bukan lagi hegemon dunia, walaupun masih berupa superpower. Di sekitar Amerika ada yang disebutnya “great powers” yang tersebar di berbagai belahan dunia. Salah satunya adalah Cina, yang dilihat menjadi pemegang kekuatan nyata, kekuatan ekonomi maupun militer.

Sangat menarik dalam koran di Cina berbahasa Inggris, People’s Daily, hal ini sedemikian ditekankan. Tulisan Liu Hongmei berjudul “The U.S. Hegemony ends, the era of global multipolarity enters” (26 Februari 2009). Penulis nampak sangat bergembira, bahkan merayakan, atas surutnya kekuatan maupun kekuasan Amerika Serikat saat ini. Bagi Cina, Amerika Serikat adalah penghalang terbesar untuk mencapai kemajuan karena kritik dan kecaman yang beraneka ragam. Sebuah buku yang saat ini sedang “meledak” di Cina berjudul Zhongguo bu gaoxing (Cina Tidak Senang). Para pembaca mendukung ketidaksenangan para pengarang terhadap semua kata maupun perbuatan Amerika Serikat. Kalau kekuatan Amerika benar berkurang dan menyusut, maka bagi para pengarang ini, kinilah saatnya giliran Cina untuk berkiprah di Asia Timur. Mereka pun mengacu kepada masa “Pax Sinica” yaitu masa keemasan zaman Dinasti Tang pada abad ketujuh, ketika pengaruh Cina membentang seluas Asia timur.

Norma baru
Secara struktural, dunia memang telah menjadi multipolar (entah tiga, entah enam). Untuk wilayah Asia Timur (timur laut maupun tenggara), Cina jelas-jelas akan menjadi hegemon regional yang akan menetapkan rezim internasional yang berlaku. Misalnya, East Asian Community yang saat ini sedang diendapkan, sangat mungkin akan dihidupkan lagi, dengan Cina sebagai pemimpinnya. Perlahan-lahan Asia Timur akan memakai mata uang Cina, renminbi, sebagai sarana transaksi internasional dengan segala implikasi politisnya. Indonesia sudah menyatakan mendukung gagasan ini. ASEAN maupun Jepang perlahan-lahan akan menjadi pemain biola kedua dalam konstelasi baru ini. Sementara itu, di Asia Tenggara Cina saat ini sudah berhasil menancapkan pengaruhnya, sehingga negara ASEAN tidak bisa berkutik ketika harus menghadapi kasus Myanmar. Keberhasilan pembangunan Cina diam-diam dijadikan acuan, bahkan norma, bagi negara-negara lain.

Indonesia saat ini dianggap sebagai pemain yang minor, atau mungkin sebagai non-player sama sekali. Dalam beberapa ulasan ilmiah tentang hubungan internasional (Kahnna maupun Kagan, misalnya), Indonesia tidak pernah disebut-sebut. Cina kelihatannya masih memperhitungkan Indonesia, dengan mengikatkan diri dalam hubungan “strategic partnership” (sejak 2005). Cina memang memerlukan Indonesia sebagai sumber bahan mentah mengingat posisi geografis Indonesia yang dekat dengan Cina. Di samping itu pengiriman dari Indonesia tidak usah melewati Selat Malaka yang berbahaya itu. Meski demikian Cina kiranya juga melihat bahwa Indonesia masih memerlukan waktu yang amat lama untuk menjadi pemain yang bisa diperhitungkan. Cina saat ini masih bisa menekan Indonesia untuk tiga hal yang disebutkan di atas (Taiwan, Dalai Lama, Falun Gong), suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada Amerika Serikat atau Uni Eropa. Beruntung, Indonesia dan Cina tidak bersinggungan di Laut Cina Selatan, walaupun Kep. Natuna nyaris menjadi bahan sengketa.

Cina sebenarnya sudah tanggap akan “ketakutan” yang mungkin timbul di antara tetangga-tetangganya. Pada tahun 2003 Cina pernah mengeluarkan sebuah pernyataan “heping jueqi (bangkit dengan damai), yang mencoba untuk menyingkirkan perasaan negatif itu. Pernyatan ini mendapat sambutan hangat dari tetangga-tetangganya dan juga seluruh dunia. Kebangkitan Cina pada bidang ekonomi tidak akan menimbulkan ancaman bagi tetangga-tetangga dan dunia. Namun heping jueqi ini dinilai oleh para petinggi militer kurang cocok dengan kondisi Cina, terutama sehubungan dengan masalah Taiwan yang belum selesai. Maka diciptakan pernyataan baru “heping fazhan” (perkembangan yang diliputi damai), dan diresmikan pada Konggres Nasional Partai Komunis Cina XVII pada 2007. Ini diiringi dengan pernyataan tentang heping shijie (dunia yang damai), keinginan Cina untuk membangun dunia yang damai. Namun sambutan dari negara-negara di luar Cina tidak se-antusias seperti saat heping jueqi dilontarkan.

Dalam menghadapi kebangkitan Cina, Indonesia kiranya memerlukan visi yang jelas. Kebangkitan Cina sebagai “hegemon regional” adalah suatu hal yang tidak terelakkan. Dalam banyak hal kita harus mulai menyesuaikan diri dengan kehendak Cina. Sejauh mana kita mau menyesuaikan diri? Dalam hal apa saja menyesuaikan diri? Sering disebut-sebut tiga strategi (counterbalancing, bandwagoning, hedging), tetapi perlu kiranya ditemukan kemungkinan keempat yang lebih cocok dengan kondisi Indonesia dan kondisi internasional.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/22/02541826/china.dan.kita

1 komentar:

s-kancabhumi mengatakan...

Kok lama sekali tidak diperbarui konten blog ini, Romo?

Selamat datang!

Anda telah memasuki blog "Belajar dari Cina" tempat kita akan berbagi data maupun teori tentang Cina.