Kamis, 07 Februari 2008

China mengandalkan soft power

Kompas, 22 Oktober 2007

I. Wibowo

Konggres XVI Partai Komunis Cina sudah dibuka pada 15 Oktober 2007 dengan sebuah pidato panjang oleh Sekretaris Jendral Partai, Hu Jintao. Sungguh sebuah pidato yang panjang, yaitu dua setengah jam! Ia berbicara tentang situasi domestik maupun internasional. Seperti yang telah diramalkan orang jauh-jauh hari, Hu memang bicara tentang “masyarakat harmonis” (hexie shehui). Tema ini diluncurkan untuk pertama kali pada tahun 2002 dan terus dipakai di setiap kesempatan. Spanduk-spanduk di jalan, misalnya, pasti tidak melupakan kata “masyarkat yang harmonis.” Cina, dalam kerangka ini, berusaha untuk membangun masyarakat yang tidak hanya memperhatikan mereka yang kaya tetapi juga mereka yang kurang beruntung dan miskin.

Namun ada satu hal yang mengejutkan di bidang hubungan internasional, yaitu ketika Hu Jintao bicara tentang soft power atau kekuatan lunak. Biasanya, pembicaraan tentang hubungan internasional selalu dikaitkan dengan kekuatan keras atau hard power. Maka pembicaraan berkisar pada persenjataan dan jumlah tentara. Apakah sebuah negara sedang kuat atau sedang lemah diukur dengan indicator tersebut. Para pengamat yang berhaluan “realis” ini – demikian mereka biasa disebut – akan memperhatikan naik-turunnya anggaran belanja militer.

Soft power atau kekuatan lunak justru mengacu pada hal-hal yang sebaliknya. Konsep yang dilemparkan oleh Joseph Nye dari Universitas Harvard ini sebenarnya mau melihat sisi lain dari kekuatan Amerika Serikat. Negara ini memang memiliki senjata paling banyak dan paling canggih, namun kekuatan Amerika Serikat juga ada pada kekuatan lunaknya. Ini dibuktikan dengan betapa orang di seluruh dunia mengagumi sistem ekonomi maupun politik Amerika, juga produk-produk kebudayaannya. Nilai-nilai yang diperjuangkannya (kebebasan, demokrasi) memikat banyak orang. Nye berpendapat bahwa Amerika Serikat dapat menundukkan negara lain hanya dengan kekuatan lunak ini.

Rupa-rupanya hal ini pula yang ingin dikejar oleh China. Hu Jintao sudah beberapa kali pada beberapa kesempatan bicara tentang kekuatan lunak ini. Misalnya, dalam kesempatan sebuah konferensi para seniman dan sastrawan pada bulan November 2006, Hu membuat sebuah pernyataan yang tajam: “Pokok paling penting untuk dibahas adalah bagaimana mendefinisikan arah yang benar bagi perkembangan kebudayaan negara kita, bagaimana menciptakan sebuah kebudayaan nasional yang baru dan megah, bagaimana meningkatkan daya saing internasional dari kebudayaan negara kita, dan bagaimana memperbaiki kekuatan lunak nasional” Hu persis menyentuh inti dari kekuatan lunak, yaitu kebudayaan. Semakin sebuah kebudayaan negara memikat dan dikagumi orang, semakin besar kekuatan lunak negara tersebut.

Bagaimana perkembangan kekuatan lunak Cina di dunia saat ini? Dengan kebangkitan ekonominya yang sedemikian dahsyat, China sebenarnya telah menebarkan kekuatan lunaknya. Tidak ada negara yang tidak mengagumi China! Namun, di samping itu, kekuatan lunak China juga muncul dari semua prestasi di bidang kebudayaan, seperti film, musik, lukis, pahat, dsb. Nama-nama seperti Zhang Yimou, Chen Kaige (film), Lang Lang (piano), Fang Lijun (lukis) telah akrab di telinga para pengagum kebudayaan Cina. Di bidang olah raga begitu pula. Nama Lu Xiang menjulang sebagai satu-satunya orang non-Afrika yang bisa merebut medali emas Olimpiade dalam lari rintangan. Pada akhirnya, sejarah Cina yang sedemikian tua menjadi daya tarik yang tidak ada habisnya. Museum-museum di China selalu menjadi sasaran kunjungan setiap turis untuk mengagumi perkembangan kebudayaan China dari abad ke abad yang merentang sepanjang 5000 tahun.

Meski demikian Hu nampak masih belum puas. Pada saat ini sedang dilakukan kampanye besar-besaran untuk menyiarkan kebudayaan China, yaitu lewat “Institut Konfusius” (kongzi xueyuan). Sampai Mei 2007 telah didirikan 155 Konfusius Institut di 53 negara di lima benua. Menurut rencana, sampai tahun 2010 akan berdiri 500 Konfusius Institut di seluruh dunia. Dua bulan lalu di Indonesia juga sudah disetujui berdirinya empat Konfusius Institut di empat kota. Sama seperti yang dilakukan oleh Inggris, Prancis dan Jerman, China mendirikan Konfusius Institut ini untuk memperluas penutur bahasa Mandarin. Pemerintah China menyediakan dana amat besar untuk semua Konfusius Institut ini.

Kalau kemajuan di bidang kekuatan lunak ini terus meningkat, Cina memang dapat dikatakan telah melengkapi kekuatan keras yang dimilikinya. Kekuatan militer Cina saat ini sudah dapat dikatakan yang terbesar di Asia, dan China masih terus berusaha untuk meningkatkannya. Ini tidak berarti bahwa China telah mencapai tingkat kekuatan sebuah superpower. Yang menarik dari meningkatnya kekuatan lunak, kini China lebih mudah untuk berdiplomasi. Kekuatan keras memang sering dipandang sebagai perpanjangan dari diplomasi, tetapi kekuatan lunak ternyata merupakan kekuatan (power) yang tidak kalah pentingnya. China nampak telah belajar banyak.

Pidato Hu Jintao dalam Konggres Partai ke-17, dengan demikian, telah membuka dimensi baru dalam gerak kebangkitan China di Asia maupun di dunia pada umumnya. Amerika Serikat dikabarkan mulai risau dengan meningkatnya kekuatan lunak China ini. Negara-negara di Asia Timur, termasuk Asia Tenggara, kiranya sudah mulai terbiasa dengan soft power yang ditebarkan oleh China ini. Ketika Hu mengatakan hal itu, dia sebenarnya hanya menggarisbawahi apa yang sedang dan sudah terjadi.

I. Wibowo adalah Kepala Centre for Chinese Studies, FIB – Universitas Indonesia, dan dapat dihubungi pada i.wibowo@ui.edu

Tidak ada komentar:

Selamat datang!

Anda telah memasuki blog "Belajar dari Cina" tempat kita akan berbagi data maupun teori tentang Cina.