Jumat, 08 Februari 2008

CINA SEBAGAI KIBLAT KEBUDAYAAN DI ASIA TIMUR


I. Wibowo

Centre for Chinese Studies, FIB, Unversitas Indonesia

Sebetulnya, dua kali Cina “mengalami kebangkitan” dan pada kedua kesempatan itu Cina menimbulkan kegoncangan. Yang pertama pada tahun 1949, ketika Cina di bawah pimpinan Mao Zedong berhasil memperoleh kemerdekaannya dan mengumumkan diri sebagai negara komunis. Seluruh dunia, termasuk Asia, goncang dengan munculnya Cina yang kuat. Amerika Serikat perlu mengerahkan kekuatan bersenjatanya untuk mengepung Cina dan menjalankan containment policy. Dari tahun 1950-an hingga tahun 1990-an dunia harus hidup dalam suasana ketakutan akan Cina sebagai negara komunis yang ganas.

Pada tahun 1990-an, seiring dengan berakhirnya Perang Dingin, dan kemajuan pesat perekonomian Cina, muncul juga kegoncangan di seluruh dunia. Kali ini bukan karena Cina mengancam dengan ideologi komunismenya, melainkan dengan kekuatan ekonominya yang dahsyat. Seluruh dunia goncang karena banjir ekspor produk dari Cina yang murah, yang menghancurkan industri domestik banyak negara. Amerika Serikat kali ini tidak mampu berbuat banyak kecuali berteriak-teriak keras, mengritik Cina. Begitu juga banyak negara lain.

Kebangkitan Cina yang kedua ini berbeda dari kebangkitan yang pertama karena Cina tidak hanya bangkit di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang-bidang lain. Pada saat ini, di samping produk ekspornya yang murah, Cina juga dikenal lewat prestasi olah-raganya yang mencapai tingkat dunia. Yao Ming, dan disusul oleh Yi Jianlian, telah berhasil menembus klub elit bola basket Amerika Serikat, NBA. Hanya di bidang sepak bola Cina belum bisa bicara banyak. Film-film Cina dihargai di festival-festival internasional, bahkan memenangkan berbagai hadiah yang amat prestisius. Begitu pula banyak pemain musik (a.l. Liu Siqing, biola, Lang Lang, piano) yang mendapat sambutan meriah di aneka gedung kesenian di seluruh dunia. Pelukis-pelukis Cina (a.l. Fang Lijun) juga telah menghiasi banyak pameran di galeri-galeri terkenal di dunia dan diburu oleh para kolektor lukisan. Lewat karyanya Gunung Sukma (灵山), pengarang Gao Xingjian, memenangkan hadiah Nobel Kesusasteraan 2000. Pada tahun 2003 Cina berhasil melontarkan satelit yang membawa manusia yang mengorbit di luar planet bumi, negara ketiga di dunia yang bisa melakukan hal ini (sesudah Rusia dan Amerika Serikat).

Catatan singkat di atas disampaikan untuk sekedar menggambarkan kebangkitan Cina yang lebih luas. Semakin Cina mampu mengembangkan kebudayaannya, semakin besar pula power yang dimiliki. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Joseph Nye yang membuat analisis kekuatan yang dimiliki oleh Amerika Serikat. Negara ini menjadi superpower tidak hanya karena kekuatan kerasnya (hard power), tetapi juga kekuatan lunaknya (soft power). Apa yang terjadi di Asia Timur di masa depan tidak dapat dilepaskan dari kebangkitan Cina dalam hal soft power ini. Kalau Cina terus menanjak seperti sekarang, di segala bidang, dapat dibayangkan bahwa Cina akan menjadi kekuatan yang luar-biasa. Hal ini yang harus diperhitungkan sejak sekarang.

Dalam makalah ini akan diperlihatkan bagaimana Cina telah mengembangkan faktor kebudayaan yang dipakainya untuk mengembangkan soft power. Sesudah itu akan dibuat beberapa assessment dan akan dilanjutkan dengan memperhitungkan implikasi yang muncul dari situ.

MENGEMBANGKAN KEBUDAYAAN

Cina saat ini dengan sadar mengembangkan kebudayaan (culture) dalam rangka usahanya untuk menyebarkannya ke seluruh dunia. Menurut Direktur Informasi, Zhao Qizheng (2006), Cina saat ini mengalami “defisit kultural” yang serius, artinya Cina tidak mempunyai cukup kekuatan di pasar kebudayaan dunia. Harus segera dilakukan usaha untuk membalikkan situasi ini, katanya. “Cina tidak akan memnjadi kekuatan kebudayaan sampai Cina menguasai pangsa pasar kebudayaan di pasar kebudayaan dunia. Hanya jika Cina mampu menjadi adidaya kultural, maka Aina akan menjadi sebuah kekuatan adidaya di dunia.” (Xu, 2007). Hal yang serupa dikatakan oleh Liu Changle (2005), seorang direktur eksekutif sebuah stasiun TV. Dia melihat meskipun penduduk Cina merupakan 20% penduduk dunia, tetapi 80% media dunia dikuasai oleh media berbahasa Inggris. “Media non-Barat, termasuk media Cina, tersingkir dari arus utama dunia, dan kami ada di posisi yang lemah.” (Liu, 2005).

Kesadaran ini segera mendorong Pemerintah Cina untuk menyusun sebuah rencana strategis pengembangn kebudayaan untuk mendorong ekspor kebudayaan Cina dan memajukan kebudayaan Cina di luar-negeri. (Xinhua News Network, 2006). Rencana ini didasarkan pertimbangan bahwa kebudayaan memainkan peran menentukan dalam pertarungan internasional, terutama untuk mengukur kekuatan kompetitif sebuah negara secara komprehensif. “Kekuatan kebudayaan makin menjadi tolok ukur untuk mengukur kekuatan nasional secara menyeluruh. Di panggung internasional, Cina tidak hanya memerlukan kekuatan di bidang ekonomi, sains, teknologi, dan pertahanan, tetapi juga kekuatan kebudayaan yang tangguh di gelanggang persaingan internasional.” (Xinhua News Network, 2006). Ditekankan bahwa Cina harus secara nyata meningkatkan saluran-saluran untuk terjadinya tukar-menukar kebudayaan, menyebarluaskan media berbahasa Cina di luar negeri, serta menaikkan daya saing serta dampak dari produk-produk kebudayaan Cina.

Dalam kesempatan sebuah konferensi para seniman dan sastrawan pada bulan November 2006, Hu Jintao, Kepala Negara dan sekaligus juga Sekretaris Jendral Partai Komunis Cina, membuat sebuah pernyataan yang tajam: “Pokok paling penting untuk dibahas adalah bagaimana mendefinisikan arah yang benar bagi perkembangan kebudayaan negara kita, bagaimana menciptakan sebuah kebudayaan nasional yang baru dan megah, bagaimana meningkatkan daya saing internasional dari kebudayaan negara kita, dan bagaimana memperbaiki kekuatan lunak nasional” Pandangan ini sekali lagi dikemukakan dalam kesempatan Konggres Partai Komunis Cina ke-17, Oktober 2007.

Data-data yang berhasil dikumpulkan menunjukkan betapa Cina telah benar-benar melaksanakan rencananya itu. Data dari UNESCO, misalnya, memperlihatkan produk kebudayaan Cina telah berkembang cepat dalam kurun waktu sepuluh tahun. Pada tahun 1994 Cina hanya menguasai pangsa pasar 8,3% dari produk kebudayaan Amerika Serikat, dan pada 2003 angkat itu telah meningkat menjadi 30,8%. Dari data itu juga nampak bahwa produk kultural Cina menduduki peringkat-peringkat tinggi. Cina adalah nomor satu sebagai eksportir media audi-visual, nomor 2 dalam kesenian visual, nomor 7 dalam ekspor buku dan barang cetakan lainya. Cina mengekspor lebih banyak daripada mengekspor, sehingga Cina menjadi negara peringkat atas yang neraca perdagangannya positif di bidang produk kultural. Data UNESCO itu memang memperlihatkan Cina termasuk eksportir besar dalam hal perdagangan barang kebudayaan.

Produk kebudayaan yang menarik untuk disimak adalah televisi. CCTV (China Central Television) dapat dikatakan memiliki pemirsa paling besar di dunia. Ia merupakan stasiun TV yang mempunyai jaringan paling luas dan ditonton oleh 95,9% penduduk Cina. Di tingkat internasional CCTV dipancarkan melalui satelit selama 24 jam dan 7 hari per minggu, dan dapat disaksikan di lebih 100 negara di dunia, dengan pemirsa sebanyak 65 juta orang pada akhir tahun 2006. CCTV 4 yang didirikan pada tahun 1992 merupakan saluran internasional pertama, dan sasaran utamanya adalah orang-orang Cina diperantauan dan mereka yang paham bahasa Cina. Bahasa yang dipakai adalah Mandarin dan Cantonese, diselingi dengan bahasa Inggris. Konon penontonnya berjumlah 15 juta di seluruh dunia. CCTV 9 merupakan saluran internasional berbahasa Inggris yang mulai pada September 2000. Sasaran pendengarnya adalah mereka yang tidak bisa berbahasa Mandarin. Tercatat 50 juta pelanggan di seluruh dunia. Pada tahun 2004 CCTV memulai siaran dalam bahasa Prancis dan Spanyol, keduanya berhasil merebut pemirsa sejumlah 2 juta orang. (China Radio and TV Yearbook, 2006). Meskipun sangat mahal mengoperasikan siaran lewat satelit selama 24 jam, Cina tidak memungut bayaran untuk siaran-siarannya.

Di samping itu, para pemirsa internasional juga menapatkan akses ke CCTV dan juga program TV lokal Cina (stasiun TV Shanghai, stasiun TV Hunan, stasiun TV Yunnan, dsb. ), lewat layanan domestik mereka masing-masing. Hal ini bisa terjadi lewat penerima TV satelit atau lewat jaringan TV satelit, ataupun perusahaan TV kabel. Di kota-kota besar di dunia, seperti Washington, DC, New York City, Los Angeles, San Francisco (AS), Sydney (Australia), London (Inggris), tempat tinggal orang Cina imigran yang besar, CCTV dapat diperoleh lewat stasiun TV lokal. Raksasa media di Barat berebut pangsa pasar di Cina. Hal ini dimanfaatkan oleh Cina dengan menjalin kerja sama dengan Time Warner, News Group (AS), Sky TV (Inggris) dan sebagai tukarnya menyediakan TV dalam bahasa Cina ke dalam jaringan mereka. Meski demikian, Pemerintah Cina tetap menerapkan kendali ketat dan sensor atas media Barat yang masuk ke pasar kebudayaan di Cina.

Bidang pendidikan pada umumnya dipakai sebagai wahana penyebaran nilai-nilai. Negara-negara Barat menyebarkan nilai-nilai modern lewat beasiswa untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi mereka. Sejak seratus tahun ratusan ribu mahasiswa dari seluruh dunia datang ke Eropa dan Amerika Serikat untuk menuntut ilmu di sana. Cina pernah mengalami masa seperti ini pada abad ketujuh ketika banyak mahasiswa, terutama dari Korea dan Jepang, datang ke kota Zhang’an untuk mempelajari kebudayaan Cina. Saat ini Cina juga didatangi lagi oleh mahasiswa-mahasiswa dari seluruh penjuru dunia. Empat universitas yang selalu menjadi tujuan mahasiswa adalah Universitas Beijing, Universitas Tsinghua (keduanya di Beijing), Universitas Fudan dan Universitas Jiaotong Shanghai (keduanya di Shanghai).

Pemerintah Cina ikut mengambil inisiatif untuk menarik mahasiswa asing datang ke Cina. Mereka mengadakan berbagai seminar untuk menarik mahasiswa. Misalnya pada tahun 1999 diselenggarakan seminar di Jepang, Seminar Memperkenalkan Studi di Cina” (留学说明会) Seminar yang serupa diadakan di Korea pada tahun 2000. Sementara itu Pemerintah Cina juga menawarkan beasiswa kepada mahasiswa asing yang ingin belajar di Cina. Pada Desember 2006 , misalnya, Menteri Pendidikan menyediakan 11.000 beasiswa kepada mahasiswa asing yang ingin belajar pada tahun 2007. Pemerintah daerah, universitas daerah, juga perusahaan-perusahaan, menawarkan dukungan finansial kepada mahasiswa asing. Pada tahun 2006 tercatat 162.695 mahasiswa asing, kenaikan tiga kali lipat dibandingkan tahun 2000 yang Cuma mencatat 52.150 mahasiswa. (Education Yearbook of China, 2001-2006)

Sebuah usaha untuk menyebarkan kebudayaan Cina secara lebih aktif ditempuh oleh Pemerintah Cina dengan mendirikan sekolah bahasa Mandarin. Hal ini sudah dimulai pada tahun 2002. Pada tahun 2004 Pemerintah Cina memperkenalkan sebuah rencana yang ambisius, yaitu mendirikan 500 Institut Konfusius (孔子学院) di seluruh dunia pada tahun 2010. Sampai Mei 2007, jumlah Institut Konfusius telah mencapai 155 dan tersebar di 53 negara di seluruh dunia. Ini berarti satu Institut Konfusius setiap empat hari! Institut Konfusius didanai oleh negara dengan tujuan untuk mempromosikan bahasa Mandarin karena lewat bahasa diharapkan banyak orang di seluruh dunia tidak hanya belajar bahasa tetapi juga adat-kebiasaan serta alam pikiran Cina. Di Indonesia kini sudah ditandatangani empat Institut Konfusius di Pulau Jawa.

Yang kini semakin disadari adalah menyebarnya “model pembangunan” yang ditempuh Cina. Seiring dengan kemajuan ekonomi Cina yang spektakuler, orang juga memperhatikan model pembangunan yang sedang ditempuh oleh Cina. Bagaimana mungkin Cina bisa maju padahal Cina tidak menerapkan prinsip pasar bebas secara penuh, dan sekaligus juga tidak menerapkan demokrasi? Pertanyaan ini semakin bergema kuat, dan menjadi tantangan serius bagi model pembangunan yang dipromosikan oleh negara-negara Barat. Kapitalisme atau pasar bebas ternyata tidak usah diiringi dengan demokrasi, bahkan kombinasi setengah pasar bebas dengan setengah otoriter bisa menghasilkan “keajiban ekonomi.” Seorang peneliti di London, Joshua Cooper Ramo, memperkenalkan istilah “Beijing Consensus” untuk dipakai menjelaskan rahasia kemajuan pembangunan yang terjadi pada Cina saat ini.

Pemerintah Cina sendiri tidak mau menanggapi munculnya “Beijing Consensus,” bahkan agak menjauhkan diri. Meski demikian, “Beijing Consensus” telah terlanjur menjadi bahan diskusi dan perdebatan di berbagai kalangan intelektual. Negara-negara di Afrika dan Amerika Latin dengan antusias menyambut model pembangunan ini. (Zhang, 2006) Mereka diyakinkan bahwa untuk menjalankan pembangunan tidak perlu mengikuti “Washington Consensus,” sebuah istilah yang menggambarkan model pembangunan yang didasarkan atas tiga pilar, yaitu privatisasi, deregulasi, dan perdagangan bebas. Selama ini mereka menyaksikan betapa besar biaya yang harus dibayar ketika menerapkan “Washington Consensus.” Baik di Afrika maupun di Amerika Latin, ekonomi mereka semakin terpuruk setelah menerapkan tiga pilar itu. “Beijing Consensus” dipandang sebagai sebuah alternatif yang nyata, bahkan dapat dipandang sebagai sebuah cara keluar dari cengkeraman negara-negara kaya.

Dengan ini Cina kini telah menjadi sebuah “kiblat” bagi negara-negara sedang berkembang, bahkan juga negara-negara maju. Di Asia Timur (termasuk Asia Tenggara) posisi Cina sebagai kiblat juga makin dirasakan. Dalam sebuah jajak-pendapat yang diadakan oleh Chicago Council on Global Affairs yang bekerja sama dengan Lowy Institute, orang Korea Selatan ditanya mengenai perasaan mereka terhadap Cina. Untuk itu dipakai skala termometer untuk mengukur panas yaitu dari 0-100. Orang Korea ternyata memberikan angka 57 (orang Australia memberi angka 61 untuk pertanyaan yang sama). Kalau mengukur dengan jumlah mahasiswa yang belajar di Cina, statistik menunjukkan pada tahun 2006 tercatat 74,33 persen mahasiswa asing di Cina berasal dari Asia, dan di antaranya 50 persen berasal dari Korea Selatan. (Education Yearbook of China, 2007) Sementara itu Cina saat ini juga menjadi sumber bantuan keuangan bagi banyak negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dengan ini negara-negara penerima bantuan terikat dengan rasa “hutang budi,” yang besar. Pepatah Indonesia mengatakan: Hutang budi dibawa sampai mati!

Pada akhirnya catatan tentang orang keturunan etnis Cina (sebutan resmi “huaren” 华人). Terutama di Asia Tenggara, tetapi juga di Asia Timur (Taiwan, Jepang) orang keturunan etnis Cina merupakan komunitas yang besar. Dalam uraian di atas sebenarnya perlu ditanyakan apakah produk-produk kebudayaan tersebut dikonsumsi oleh orang keturunan etnis Cina. Pemerintah Cina tentu tidak berharap bahwa produk kebudayaannya hanya dikonsumsi oleh keturunan etnis Cina. Meski demikian, kalau memang jumlah mereka cukup besar, tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka menjadi konsumen terbesar dari produk kebudayaan dari Daratan Cina. Masih perlu penelitian yang teliti dan mendalam untuk hal ini. Sambil menunggu hasil penelitian tersebut, sudah dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa kelompok ini – dengan atau tanpa produk kebudayaan dari Cina – akan berperan penting dalam hubungan dengan Cina. Kedekatan kebudayaan (cultural affinity), walaupun bukan jaminan pasti, tetap menjadi faktor penting dalam membangun hubungan yang dekat dengan pihak di Daratan Cina.

Indonesia yang mempunyai sejarah kelam di bidang hubungan dengan keturunan etnis Cina ini, perlu memikirkan dalam-dalam mengenai hal ini. Baru sepuluh tahun yang lalu Indonesia mengalami tragedi besar ketika harta-milik orang keturunan etnis Cina dijarah dan dibakar. Sementara ini telah dicatat banyak kemajuan besar, baik di tingkat atas maupun di tingkat bawah. Kalau kecenderungan ini bisa dipertahankan, bahkan dikembangkan, Indonesia sebenarnya mempunyai “asset” yang luar biasa untuk mengadakan hubungan dengan Cina. Cultural affinity yang mereka miliki dapat dimanfaatkan sebaik mungkin untuk membinan hubungan dengan Cina, baik pemimpin politik, pelaku bisnis, maupun civil society pada umumnya.

BIBLIOGRAFI

Liu, Changle.

2005. “Have Chinese Media’s Voices Heard in the World.” Speech at the Advanced Forum of the Chinese Media Development. Di akses dari

http://academic.mediachina.net/academic_zjlt_lw_view.jsp?id=4528

Nye, Joseph

2004 Soft Power. The Means to Success in World Politics (New York: Public Affairs)

Wibowo, I.

2007 “China’s Soft Power and the Neo-Liberal Agenda in ASEAN,”makalah untuk seminar, “The Rise of China and Its Soft Power,” diselenggarakan oleh S.Rajaratnam School of Internasional Studies, Nanyang Technological University, Singapore, 18-19 October 2007.

Xu, Suqin.

2007 “Rejuvenation of Chinese Culture and Enhance Our Soft Power,” dlm. Jinyang Netowork, Agustus 22, 2007, diakses dari http://www.ycwb.com/myjjb/2007-08/22/content_1592212.htm

Zhao, Qizheng.

2006. "How China Becomes a Major World Power: Four Major Elements." Wenhui Daily (March 15, 2006) diakses dari
http://www.zsr.cc/ExpertHome/ExpertAttention/200603/12959.html

Zhang, Weiwei,

2006 “The Allure of the Chinese Model,” International Herald Tribune (November 1, 2006)

3 komentar:

wawan setyadi mengatakan...

Dengan semua itu, hantu "over-capacity" yang gentayangan di (seluruh) dunia apa masih bisa dikalahkan China? Bagaimana atau sampai kapan China bisa bertahan?

Jennie S. Bev mengatakan...

Hallo Mo I. Wibowo, salam kenal ya. Saya Jennie S. Bev temannya Mo Mutiara Andalas di Berkeley dan Mo Doni di Boston. Lokasi saya di dekat Mo Andalas.

Keep writing and thanks for your dedication in UI. It was my alma mater too. Salam buat Mo Ismartono kalau beliau masih mengajar di sana.

Best wishes,
Jennie S. Bev
http://www.jennieforindonesia.com
http://www.peacefulindonesia.com/petition/

sultonamin mengatakan...

Dan Tahun ini pak, China membuktikan bahwa Sepak bola Asia bisa disejajarkan dengan sepak bola Eropa.

Selamat datang!

Anda telah memasuki blog "Belajar dari Cina" tempat kita akan berbagi data maupun teori tentang Cina.