I. Wibowo
Centre for Chinese Studies, FIB - Universitas Indonesia
Studi-studi tentang China saat ini didominasi oleh dua kelompok besar, wartawan dan ilmuwan. Namun yang selama 20 tahun terakhir ini sangat menonjol adalah laporan yang dibuat oleh wartawan dengan nuansa jurnalistik yang amat kental. Beberapa buku yang amat berpengaruh, misalnya China. Alive in the Bitter Sea oleh Fox Butterfield (1982) China Wakes oleh Nicholas Kristof (1994) , China Inc. oleh Ted C. Fishman (2005). (Mereka semua adalah wartawan koran The New York Times). Ada banyak buku lain tentang China yang bersifat jurnalistik.
Seperti kita semua ketahui, tulisan jurnalistik bertujuan menyapa pendengar umum, bukan hanya akademisi. Tulisan ini tidak perlu menjelaskan kerangka teori dan metodologi. Ini tidak berarti bahwa tulisan jurnalistik boleh “mengarang” tanpa didukung fakta. Yang ingin mereka capai adalah menyampaikan berita kepada publik, tentu dengan bahasa yang memikat. Buku-buku yang disebutkan di atas adalah contoh-contoh terbaik dari sebuah tulisan jurnalistik.
Ada kekurangan dalam hal buku-buku jurnalistik, yaitu pertanggungjawaban ilmiah. Misalnya, untuk mendeskripsikan kemiskinan di desa di China hanya dipaparkan tiga keluarga yang miskin, yang diuraikan dengan amat menarik. Pembaca kiranya diandaikan sudah cukup puas dengan pemaparan tiga kasus itu. Atau, contoh lain uraian tentang China sebagai “negara tengah” yang berambisi menguasai negara-negara lain. Sebagai bukti dipakai teks-teks dari abad kedua Masehi, atau bahkan lama sebelumnya.
Bukannya saya bermaksud melecehkan buku-buku tulisan oleh para wartawan, namun jelas pula bahwa ada kebutuhan nyata akan analisis yang menerapkan definisi yang ketat, kerangka teori yang jelas, serta didasarkan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan. Buku yang ditulis oleh akademisi menuntut akurasi seperti itu. Tuntutan seperti ini mutlak diperlukan untuk meyakinkan sesama akademisi, dan tentu saja untuk meyakinkan pembaca pada umumnya.
Masalahnya, buku jurnalistik pada umumnya lebih laris terjual daripada buku-buku akademis. Orang lebih suka membaca buku-buku jurnalistik karena bahasanya yang menarik ketimbang buku-buku akademis yang ditulis dengan bahasa yang kering dan membosankan. Dari sudut bisnis hal ini dipandang sebagai soal selera konsumen semata. Dari sudut ilmu pengetahuan, kemerosotan dibidang penulisan yang berciri akademis dapat menjadi sebuah malapetaka.
Di Eropa, Jepang dan Amerika Serikat pemisahan tajam seperti ini telah lama diterima. Buku-buku akademis mendapat prestige yang lebih tinggi. Karenanya di sana ada lebih banyak buku-buku yang menganalisis China secara akademis daripada yang mengandalkan laporan jurnalistik. Jurnal-jurnal yang khusus diperuntukkan kajian tentang China ada banyak, yang paling bergengsi di antaranya adalah The China Quarterly. Kecuali itu ada banyak seminar ilmiah yang sungguh memperdebatkan kualitas ilmiah dari sebuah makalah atau buku. Buku jurnalistik, betapapun larisnya dia, tidak mendapat tempat dalam seminar-seminar semacam itu.
Ketika tuntutan akademis semakin tinggi, perkembangan studi tentang China di Barat selama kurang-lebih 15 tahun terakhir ini mengalami pergeseran yang amat berarti. Ini terjadi seiring dengan terbukanya China bagi peneliti-peneliti dari luar. Ketika China masih tertutup, negeri ini sedemikian memukau para peneliti sehingga sering melihat China sebagai sebuah negara yang unik. Semakin tertutup, semakin unik. Kini kebalikannya yang terjadi, China tidak lagi unik, telah menjadi “sama seperti yang lain.”
Akibat dari keadaan ini sangat mendalam. Kalau China sudah sama seperti negara-negara atau bangsa lain, maka China kehilangan status spesial dan para peneliti dapat menerapkan paradigma ilmu yang berlaku untuk di seluruh dunia. Kecenderungan ini semakin menguat pada saat ini. Kini China diteliti oleh aneka macam ahli dari berbagai macam disiplin ilmu sosial: sosiologi, ekonomi, psikologi, ilmu politik, hubungan internasional, dsb. Sebutan “sinologi” atau “sinolog” pun segera kehilangan arti, begitu pula sebutan “area studies.” Setiap orang di seluruh dunia kini dapat melihat dan meneliti China dengan latar belakang ilmu apapun yang ada padanya.
Bahasa Mandarin yang dulu merupakan momok besar, kini bukan kendala lagi. Bukan hanya karena ada begitu banyak kursus bahasa Mandarin di segala sudut dunia, tetapi juga karena tersedia begitu banyak bahan dalam bahasa Inggris. Kecuali itu, kerja sama dengan peneliti-peneliti China juga memungkinkan orang yang tidak tahu bahasa Mandarin pun akan dapat memperoleh data yang diperlukannya. Banyak peneliti China dari luar China yang tidak bisa berbahasa Mandarin!
Dengan demikian telah lewat jaman ketika para sinolog masih memegang monopoli pengetahuan tentang China. Tidak ada lagi kelompok orang yang bisa meng-klaim monopoli pengetahuan tentang China, bahkan tidak juga para ahli di dalam China sendiri. Studi tentang China sudah menjadi ajang studi yang terbuka, yang diletakkan dalam kerangka paradigma ilmu yang sekarang ada, dan merupakan hasil kerja keras ilmiah yang rigorous oleh banyak ahli di bidangnya. Ia juga mesti tahan terhadap setiap gugatan dan kritik yang berbasis rasionalitas.
Dengan ini sekaligus juga dihindarkan satu bahaya besar, yaitu orientalisme. Tentu ini bahaya yang dapat menimpa para peneliti di luar China. Sering kali mereka sedemikian mudah menggantungkan diri pada hasil penelitian “Barat” sehingga mereka lupa bahwa mereka memakai kategori-kategori “Barat” untuk memandang China. Peneliti di luar China (Indonesia!) perlu mengembangkan sikap kritis dalam memakai pendekatan maupun metodologi yang lahir di “Barat,” kalau perlu mengembangkan pendekatan dan metodologi sendiri.
Dalam rangka dialog kebudayaan kiranya ada beberapa implikasi yang bisa ditarik. Pertama, para peneliti – dari China maupun Indonesia – dapat mengadakan tukar-menukar hasil penelitian mereka. Peneliti dari China dapat membandingkan dengan penelitian dari para peneliti dari luar China. Dalam hubungan ini, kedua, kedua belah pihak harus mempunyai tingkat kemampuan dan ketrampilan mereka dalam mengadakan penelitian sesuai dengan tuntutan tolok-ukur ilmiah. Dialog tidak akan terjadi jika tidak ada kesetaraan.
Jakarta, 13 Agustus 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar